Selasa, 22 Juli 2014

Untukmu Seluruh Nafas Ini

Hari ini, aku melihat cinta...
***
"Ibu di Marabahan? Kalau iya, ulun ke sana," demikian pesan singkat yang kukirim pada Bu Ninin.
"Iya, di Marabahan." Jawaban itu kuterima agak lama setelah pesan yang kukirim.
Bu Ninin selalu senang jika aku mengunjunginya. Ia juga sudah tahu, hanya ada dua hal yang membuatku mengunjunginya, sedang bahagia, atau sedang menderita. Dan biasanya yang kedua. Kali ini, seperti biasanya, yang kedua.
Entahlah, ingatanku sudah kabur tentang sejak kapan aku akrab dengan Bu Ninin. Yang pasti, ia sudah seperti ibu sendiri. Meski kadang menjengkelkan, aku tahu ia menyayangiku layaknya anak sendiri. Ke rumahnya, aku seperti ke sebuah surga kecil. Di sana ada Pak Bambang, suami Bu Ninin, yang sudah kuanggap ayah sendiri. Ada Fawwaz dan Aqila yang kuanggap layaknya adik sendiri.
Berangkatlah aku sore tadi dari Banjarmasin ke Marabahan. Sempat mampir ke rumah untuk shalat ashar dan menyimpan buku-buku yang baru kubeli.
Aku sudah beberapa bulan tidak lagi ke Marabahan. Ke sana biasanya untuk menukar buku-buku jualan yang tersisa di koperasi SMAN 1 Marabahan sekaligus mengambil uang dari buku-buku yang laku terjual. Tapi karena sekarang aku sudah berhenti jualan buku, ke Marabahan pun tidak sesering dulu lagi. Harus ada keperluan lain selain hanya berkunjung jika aku ke Marabahan. Kali ini keperluan lain itu adalah mengantarkan 10 eksemplar buku Episode Luka yang baru terbit untuk minta dijualkan.
Ternyata, jalan dari Sungai Gampa sampai ke kota Marabahan rusak parah. Banyak lobang di sana-sini. Lobang-lobang itu biasanya diuruk batu. Dan akibatnya, debu tebal menggumpal sepanjang bahu jalan. Beruntung aku memakai masker, masker pemberian seseorang yang kupikir cukup peduli denganku.
Sekitar pukul lima sore, aku tiba di rumah Bu Ninin, di surga kecil itu. Kami mengobrol. Menjelang berbuka, kami (aku, Bu Ninin, Pak Bambang, Aqila, dan Fawwaz) menuju salah satu warung yang paling terkenal di Marabahan. Sialnya, saat kami tiba warung itu penuh, kebanyakan oleh siswa-siswi SMP murid Pak Bambang sendiri. Kami menuju warung lain, tapi ternyata warung itu tutup. Akhirnya, kami ke warung di pinggir jalan yang cukup sederhana. Aku tentu tak masalah, sebab aku memang menyukai tempat-tempat yang sederhana.
Nah, di warung inilah, aku melihat wujud cinta itu....
Saat kami menikmati hidangan, seorang pengamen datang dengan gitarnya, lalu dengan suaranya yang keren menyanyikan lagu "Seluruh Nafas Ini". Lagu syahdu dengan suara yang indah.
Pengamen ini tidak sendirian. Ia ditemani istrinya, istrinya yang sedang bunting. Sang istri inilah yang membantu mengambilkan uang dari para pendengar lantunan suaminya. Aku benar-benar tersentuh. Bisa kupastikan mereka pasangan baru menikah yang sedang berjuang mencari uang demi kelahiran anak pertama. Sungguh romantis. Sebuah seni menghadapi hidup yang keras. Sebuah momen puitik yang mungkin tidak akan bisa kulupakan.
Aku ingin mengeluarkan uang, tapi ternyata Bu Ninin sudah menyiapkan uang lima ribu rupiah sehingga aku urung. Sementara suaminya menyanyi dan memetik gitar, Pak Bambang bertanya pada istri pengamen itu berapa bulan kandungannya. Aku tidak terlalu jelas mendengar jawabannya. Pak Bambang bahkan juga menawari untuk makan bersama, tapi ia menolak dengan halus. Mereka pamit saat lagu itu diselesaikan. Lagu yang mengingatkanku pada seseorang yang pernah mengatakan padaku: bagaimanapun, tulang rusuk akan kembali pada pemiliknya....
***
Kami kembali ke rumah Bu Ninin. Shalat magrib. Lalu tidak berapa lama Dhea datang menemuiku. Sebelumnya Bu Ninin memang memberitahu Dhea bahwa aku ada di rumahnya, dan Dhea memintaku memberi kabar kalau sudah kembali dari warung.
Rumah Dhea tidak jauh dari rumah Bu Ninin, dengan berteriak pun bisa saling menyapa. Dhea juga sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, adik sendiri. Ia murid Bu Ninin saat SMA. Dengan Dhea pun aku lupa sejak kapan aku akrab. Mungkin sejak ia masih tahun pertama di SMA yang saat itu berarti aku baru kuliah. Tentu saja, Bu Nininlah yang menjadi jembatan aku kenal dengannya, juga dengan murid-murid Bu Ninin yang lain. Saat ini Dhea sudah kuliah, di Semarang, jurusan (kalau tak salah) teknik tata kota. Baru sekitar satu minggu ini ia pulang. Kami lama tidak ketemu, tentu ia kangen denganku, demikian pula aku. Aku dan Dhea selalu saling mengolok; ia mengolok penyakit jomblo akutku, sementara aku dengan sadis mengolok pacarnya yang kakak tingkatku di kampus, yang menurutku terlalu tua buatnya, dan sangat potensial untuk tidak setia.
Itu ada sejarahnya. Dulu saat pertama kenal, Dhea naksir aku, demikian kata Bu Ninin. Dan lewat Bu Ninin pula kujelaskan bahwa aku tidak mau menjalin hubungan asmara dengannya, cukup kakak-adik saja. Lagipula, ia terlalu muda buatku. Lalu kemudian ia dapat pacar, kakak tingkatku di kampus. Karena itulah barangkali ia selalu mengolok-olok kejombloanku ini. Mungkin maksudnya: kakak sih dulu nggak mau sama aku, jadinya kakak jomblo terus.
Tadi, perang itu kembali berlangsung, yang kumenangkan melalui serangan terakhirku, "Kakak memang jomblo, Dik, tapi banyak yang sayang. Kamu punya pacar, tapi tidak disayangi pacarmu!"
***
Jam delapan malam aku pulang ke rumah. Jalanan yang rusak seperti menegaskan bahwa hidup memang keras. Sementara aku merasa seperti debu yang beterbangan itu, begitu tidak berarti. Tapi setidaknya perasaanku sudah agak baikan, agak.  Dan sepanjang jalan, lagu "Seluruh Nafas Ini" seperti terus melantun di telingaku....


Jika memang dirimulah tulang rusukku
Kau akan kembali pada tubuh ini
Ku akan tua dan mati dalam pelukmu
Untukmu seluruh nafas ini

Jika memang kau terlahir hanya untukku
Bawalah hatiku dan lekas kembali
Kunikmati rindu yang datang membunuhku
Untukmu seluruh nafas ini
Untukmu seluruh nafas ini

Untukmu seluruh nafas ini...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar