Jumat, 31 Desember 2010

Gulliver's Travel (2010)

Di penghujung tahun 2010, saya menyempatkan menonton di bioskop setelah seharian berkutat membuat laporan tahunan dikantor. Tapi kali ini saya beruntung karena mendapatkan tiket gratisan dari salah seorang teman saya. Tapi sayangnya saya tidak bisa begitu saja memilih film apa yang ingin saya tonton. Ya...mungkin karena gratisan harus rela berdesakan mencari tempat kosong tanpa tahu film apa yang saya tonton nantinya. Begitu panggilan masuk ke dalam studio berbunyi, saya baru sadar kalau saya akan nonton film Gulliver's Travel. Oh tidak, ternyata memang itu kejadiannya. Karena merasa tidak enak dengan teman saya akhirnya dengan berat hati saya ikut bergerombol masuk ke dalam. Selama menunggu film dimulai rasa pesimis akan film ini makin terasa.

10 hingga 15 menit awal saya disuguhkan background cerita dari pemeran utamanya, seorang petugas surat di sebuah media massa. Rasa pesimis makin menjadi setelah melihat permainan dari Jack Black. Ya, saya tersenyum sepanjang film, tapi bukan senyum bahagia atau karena lucu. Saya tersenyum karena heran, bagaimana bisa film ini dijadikan untuk penutup tahun sekaligus liburan natal? Saya pun sesekali saling melirik ke teman saya setiap kali lelucon "garing" muncul di film itu. Ya, kami setuju kalau film ini tidak layak kami tonton.

Berbekal spesial efek standard dan sound effect yang tidak terlalu wah, sepertinya film ini terlalu dipaksakan. Ya maklum saja, cerita dari tahun 1977 yang di kemas sedemikian rupa oleh produsen 20th Century Fox di tahun 2010. Film ini tertolong karena sudah berformat 3D, jadi penonton agak sedikit melupakan jalan ceritanya yang tidak berbobot. Dari trailer dan poster filmnya saja saya sudah bisa memperkirakan jalan ceritanya, dan ternyata memang benar.

Sungguh 90 menit yang memuakkan walaupun saya berusaha menikmatinya karena tak ada hal baru dan pemain yang seadanya. Mungkinkah ini film dengan budget murah? Seharusnya dengan special effect seperti itu bisa di kembangkan apabila diberi cerita yang menantang. Bukannya saya tidak suka film komedi, tapi jika dimainkan oleh pemain yang tidak tepat sama saja mempermalukan diri sendiri. Sayang sekali untuk kali ini 20th Century Fox gagal membuat saya puas.

Dengan ini saya memberi nilai : 3/10 (Tunggu di TV saja)

-Didiet Triquetra-

Senin, 06 Desember 2010

Harry Potter And The Deathly Hallows Part 1 (2010)

Film ini sudah digembar gemborkan setahun sebelum filmnya rilis di bioskop. Pasti banyak yang bertanya-tanya "Bagaimana Harry & sahabatnya menyelesaikan segala permasalahan yang akan terjadi setelah guru besarnya Dumbledore meninggal?". Dengan pertanyaan itu membuat semua penontonnya mengharapkan cerita yang lebih seru dari seri sebelumnya dan berharap muncul tokoh-tokoh baru yang akan membantu Harry dan kedua sahabatnya mengungkap misteri.

Banyak pengharapan saya sebelum melihat film ini. Dimulai saat saya mengantre di bioskop yang penuh sesak saat premiere-nya berlangsung serentak di hampr seluruh bioskop Indonesia. Walaupun diputar di 3 studio, antrean tetap saja penuh malah ada saja yang tidak mendapatkan tiket. Saya sempat berpikir : "Apakah kita sedang mengantre tiket konser Michael Jackson?". Melihat animo yang begitu besar saya makin penasaran akan keistimewaan film ini.

Dimulai dari scene pertama, sebuah mata besar di screen yang memulai ceritanya. Dan cerita pun berlanjut dengan cara serius yang diselingi sedikit komedi khas David Yates, sutradara HP sejak seri Order of the Phoenix. Dengan sajian gambar yang sekelam seri sebelumnya makin membuat saya masuk ke dalam cerita. 10-20 menit pertama saya sangat exciting. Berlanjut hingga kemenit 60 agak menurun grafik excitement saya. Dan akhirnya makin menurun karena ceritanya yang agak bertele-tele. Untungnya saya disuguhkan gambar yang menawan dengan tata cahaya dan warna yang cukup tajam serta lokasi yang sungguh indah membuat saya agak melupakan jalan ceritanya yang agak melambat. Dan saya sedikit menyimpulkan, tanpa gambar yang bagus film ini bisa saja membosankan.

Setelah mendekati menit ke 120 ternyata terdapat sedikit cerita yang agak terburu buru diceritakan. Saya pikir "Kenapa mereka membuang buang waktu tadi?. Tapi ternyata saya salah, mereka membuat cerita pendek diakhir film agar penonton makin terpancing untuk menyaksikan seri ke-2 nya, Briliant! Walaupun agak memaksa, tapi saya akui mereka cerdik.

Dengan ini saya menilai film ini : 7/10 = BAGUS UNTUK KOLEKSI
Ditolong oleh sound effect, gambar, dan musik yang menawan walau cerita yang terlalu dipaksakan.

-Didiet Triquetra-