Senin, 18 Mei 2015

Jri


Jri.
Tetes infus, lalu aku membayangkan gerimis ketika engkau tengah duduk di tepi sungai, senja hari. Lalu kubayangkan pula jari yang menari di atas layar handphone, entah menunggu seseorang, atau bosan dengan orang-orang. Ya, pada akhirnya kita memang perlu setidaknya sebotol Ringer Laktat untuk jalan yang mempertemukan tanganmu dan genggamanku. Tak harus deras, kita hanya perlu gerimis, dan senja, di tepi sungai.
Seperti orang-orang yang berlalu lalang itu, bisakah mereka tiba-tiba saling menyapa, mempersembahkan bunga, dan membacakan bait-bait sajak? Engkau tidak perlu menolakku, tidak harus. Lalu keruwetan-keruwetan jalan kota akan meringkusmu sementara engkau masih dengan derai itu, atau cekikik tawa. Kesedihan yang manis, adalah suara gerimis.
Jam berapa sekarang? Kita mulai tak tahu waktu, ya. Bukankah katamu, perjalanan paling menyenangkan adalah ketika kita benar-benar telah membunuh waktu, bahkan kalau perlu melempar jam tangan dan telepon genggam dari Puncak Kantawan ke dasar Amandit? Biarkan arus dan batu-batunya yang mengkilat menelannya.
Ini telah senja, namun itu tidak berarti apa-apa, bukan? Kecuali jus alpukatmu yang tinggal seperempatnya, dan nasi goreng yang tinggal setengah piring yang enggan kau makan lagi.
Ah, tapi entah mengapa, aku tak pernah bisa benar-benar menahan masa lampau, bahkan ketika mimpiku. Padanyalah kenangan itu menerobos dan menyuntikkan ke arteri terdalam tubuhku, bahkan ke pembuluh syarafku. Kukatakan, aku mencintaimu. Kamu boleh tak memercayainya. Sederhana saja. Menjadi masalah kemudian, ketika hal itu terlupakan.
Dan aku melukismu seperti seorang anak kecil yang melompat-lompat. Menyimpan kecemasan.
Sebentar lagi, lampu jalan dan beberapa dosa, dihidupkan.
Mungkin itulah yang membuatmu memilih sejarah. Perang dan agama, apa menariknya? Bukankah angka nol lebih potensial? Nol adalah malapetaka, seperti persetubuhan yang tanpa wajah. Nol adalah titik temu semua yang kau rindukan, tak terkecuali sang mantan.
Tapi kau pun tak boleh mempercayaiku, terlebih dalam usahaku menulis ini. Gempa besar seringkali diiringi tsunami!
Nah, bagaimana dengan bibirmu? Semakin maniskah? Aku selalu senang membuatnya diam. Kukatakan, ini bukan makan, tapi bersantap. Hidup ini tidak serius, ia tak pernah berujung pada kekalahan ataupun kemenangan.
Begitulah caraku mengulitimu, tanpa pesan, tanpa jalan lurus berupa kepastian.
Engkau bilang, kau akan pergi lagi. Seperti asma yang kambuh, atau luka yang tak pernah kering. Jarak akan menjadi guru kita, katamu lagi. Agar kita membangun Rumpiang, kataku. Lalu kau tertawa, dan bertanya hal yang itu-itu saja.
Kosmos ini bukan rahim, dan aku bukan plasenta. Dan kunang-kunang menjadi dirinya hanya pada malam. Menjadi Sukab dan Alina sesungguhnya ide kita berdua.
Hei, ini hari ulang tahunmu, ya? Selamat, karena gerimis telah menjelma menjadi hujan, dan langit senja tertutup malam. Engkau menyukai keduanya, namun aku tahu, tak pernah sungguh-sungguh betah berada di dalamnya. Ya, semoga hidupmu selalu bahagia.
Sebentar, pelayan itu membawakan pesananmu, jus alpukat gelas kedua. Dunia dalam telepon genggam masih berdansa dengan matamu. Kita sampai jam berapa? Pertanyaan yang keterlaluan, jawabku. Kita menunggu hujan reda, atau menunggu hubungan kita reda? Tanyamu lagi. Kali ini aku tertawa.
Ah, masih tetap mengental, dirimu dalam jilbab biru, dan dua judul buku. Itu membuatku sulit menebak, bagaimana engkau. Membuatku terus bertanya-tanya. Haruskan aku mencoba lagi, berusaha tanpa melihat daftar panjang lelahku dan kesia-siaan dalam hidupku? Aku perlu morfin untuk meredam nyerinya. Skala empat, barangkali.
Sebuah buku kubuka, lalu film tentangmu berputar di mataku. Buku kututup, di film itu kamu menari. Buku kulempar, di film kamu terkikik manja. Aku membakar diriku, membakar orang-orang di dekatku, membakar dirimu.
Curigailah aku. Jangan terlalu percaya. Melupakan sesuatu membutuhkan teman, bukan waktu.
Seperti kata game Ingress, dunia yang kamu lihat sesungguhnya bukanlah seperti itu. Di dunia ini ada portal-portal yang harus saling dihubungkan, layaknya tangan yang saling bergenggaman.
Kesedihan itu, jika tak mampu kau tangiskan, letakkan di mataku. Hujan akan meminjamkanmu sedikit waktu untuk berbahagia. Malam ini, tidak ada yang akan pergi.
Dan perlu kutegaskan bahwa ini lebih dari sekadar koran pagi di hari minggu yang halaman sastranya kian berkurang dari hari ke hari. Ingatlah, di sana hanya akan engkau temui seonggok puisi yang telah dimuat berkali-kali layaknya ikan peda yang berkali-kali dipanaskan.
Tak ada yang perlu engkau khawatirkan. Sakit dan rasa nyaman selalu hadir bersamaan. Kita hanya tinggal merasakannya memenuhi setiap sel-sel tubuh kita, seperti napas dalam yang sering kuajarkan padamu, menghirupnya, merasakannya, menghembuskannya. Rasakan, betapa nikmatnya hidup, bernapas.
Juga bukan sekadar film yang kita tonton di bioskop, semacam sesuatu yang tak kita rencanakan pasti. Seperti ledakan molekuk, atau diagnosa yang tak bisa ditegakkan.
Sayang, malam ini semakin dingin. Sejak tadi selalu kuperhatikan caramu menatap, tersenyum, dan menangis. Cukupkah jaketmu itu menahan dinginnya? Kita masih saja sering keseleo membedakan keinginan dan kebutuhan, sesuatu yang berasal dari hati dan pikiran.
Kita belum benar-benar hidup, kita bahkan telah mati sebelum kita sempat hidup. Ingat kata-kata motivator kemarin? Masalah besar membuat kita semakin besar. Kita memang harus hidup, lebih lama lagi, lebih lama lagi, lebih lama lagi. Tidakkah kamu ingin melihat bagaimana semua ini berakhir, meski kita tahu hidup ini bukan seperti novel atau film yang memiliki kata tamat. Hidup terus berlanjut, melesat cepat dalam lintasannya.
Mari kita rumuskan lagi apa-apa yang telah berlalu, yang kita lewatkan begitu saja, apa yang kita petik begitu saja, yang akan terjadi, yang akan terlupakan, dan yang tak kunjung terjadi. Tanyakanlah sesuatu, jawab, dan putuskan. Sederhana, bukan?
Ini minggu yang berat, untuk kita berdua, tetapi percayalah, selalu ada napas yang ringan setelah kita berhasil melewatinya, selalu ada udara yang lebih segar setelah hujan usai mengguyur. Rapatkanlah jaket, tersenyumlah dengan lebih dewasa, sambutlah tempias hujan yang memercik di meja.
Aku cemas bukan saja karena siang paling bodoh itu, tapi tentang dirimu. Itulah kenapa sepanjang Banjarmasin Martapura kubuntuti laju motormu. Ironis juga ketika dulu aku mengutuki anak-anak yang mencoret baju mereka setelah pengumuman lulus lalu membonceng pacarnya keliling kota hingga larut malam. Aku sama bodohnya dengan mereka.
Jika kamu adalah sungai ini, aku ingin mandi dan tak ingin kembali.
Lantas engkau kemudian bertanya, kemanakah mengalirnya sungai ini? Menuju rahim layaknya sperma? Mungkin saja, jawabku. Mungkin pula ia tak pernah pergi jauh, selalu kembali pada waktunya.
Ya, selalu pulang, alangkah indahnya. Kamu bisa bilang tak ada yang lebih indah daripada berbaring di pantai dengan udara dan hari yang cerah. Namun bagiku, pulang, bagaimanapun cuacanya, selalu menjadi momen yang tak bisa digantikan. Semacam impian-impian kecil yang lalu terwujud.
Kupikir perjalanan kita juga tak pernah ke mana-mana, semoga engkau tidak cepat bosan dengan itu. Berdiam pun menyenangkan, bukan? Aku menyukai cara lama, memutar musik-musik sendu, menziarahi tempat-tempat yang menyisakan berkas kenangan, dan membiarkan hujan membasahi tubuhku.
Hujan reda, orang-orang mungkin memiliki alasan untuk beranjak. Kamu ingin pergi? Tidak, kita tidak pernah menunggu hujan berhenti. Kita justru menunggu hujan turun lagi. Aku memesan secangkir kopi. Hujan mengajarkan kita bahwa beberapa perasaan, butuh kehangatan.
Bukalah kotakmu. Semua orang memiliki kotak, aku ingin tahu isi kotakmu. Barangkali di sana ada foto kecilmu bersama saudaramu, puisi yang pernah ditulis seseorang untukmu, buku harian sejak engkau SMP, atau sebuah batu warna jingga yang kau peroleh entah dari mana, mungkin dari rumah sakit jiwa. Kotak yang sangat pribadi. Tentang bayangan-bayangan dari masa silam. Dengan itu aku bisa menyelamimu. Melewati gang demi gang hingga ke depan rumahmu, atau bisa saja memeluk dan menciummu.
Tapi kita pun harus merasakan yang lebih pedih lagi. Kesenangan gampang usang, namun tidak dengan kepedihan. Sesuatu yang lebih gelap dari malam, lebih mengiris dari silet yang menembus pergelangan serta memutus vena dan arteri.
Dan kematian pun, seperti kehidupan, mesti dirayakan dengan suka cita. Dengan senyum dan doa. Karena ada sungai yang mengalir dari debar jantungku menuju tubuhmu. Kematian yang wangi, seperti yang kubayangkan malam ini, aroma parfum yang biasa engkau pakai. Kematian yang harus dinikmati dengan debarnya sendiri.
Biarlah dunia terus terjaga, tidak ada yang harus merisaukan kesepian, biarkan ia bernyanyi bersama kemunafikan dan terus meletus seumpama kembang api pada malam tahun baru. Engkau akan terus menjadi wanitaku. Telah engkau bangun peradaban dalam diriku, sekalipun pada akhirnya aku, berikut kota ini, akan engkau tinggalkan untuk membangun peradaban yang lain, peradaban dalam dirimu. Itu memang kepastian yang terkutuk, dan aku ingin terus menghindarinya, lewat buku-buku, lewat kata-kata dan kalimat-kalimat tak pasti, lewat caraku menunda membalas pesan singkat yang engkau kirimkan.
Setiap hendak terlelap, impian-impianku menampakkan tubuhnya, sebuah rumah kayu, pohon, rerumputan, dan sungai. Engkau selalu di sana, tidak kemana-mana. Di antara rak-rak buku, tengah memilih buku puisi apa yang ingin engkau bawa ke balkon untuk membacanya. Engkau, wanitaku, akan merajuk di dadaku. .
Sudah larut malam, tidakkah engkau, dalam bayanganku, mengantuk dan ingin segera menghempaskan diri di tempat tidur? Aku akan mengantarmu, jika engkau mau.
Cinta tidak pernah mengenakkan, aku setuju. Hanya berisi bualan-bualan memuakkan. Tapi engkau terus mencumbu darahku, ada apakah? Apakah yang engkau hunuskan hingga memiliki menjadi satu-satunya jawaban?
Maka sebelum engkau pergi jauh lagi, sebelum perjalanan memagari keinginan-keinginan itu lagi, harus kutegaskan sekali lagi, kebahagiaan yang sederhanalah yang akhirnya menjadi tujuan terakhirmu. Peganglah tanganku, hiduplah, dan tertawalah! []

Surgi Mufti, 16-5-2015

(Media Kalimantan, Minggu, 17 Mei 2015)

Jumat, 08 Mei 2015

Have a Good Time in Bangkok & Pattaya, Thailand (Day 4)

Foto sebelum pulang
Yaaaah, hari terakhir. Sebentar lagi pulang. Masih betah di Bangkok. Masih pingin jalan-jalan bareng lagi. Tapi kenyataannya hari ini adalah hari terakhir di Bangkok dan kami pun mulai berkemas. Karena semalam masih kelelahan akhirnya acara packing baru dikerjain pagi harinya. Selesai mandi, kami langsung sibuk masing-masing. Padahal masih pagi dan para penghuni kamar ini masih banyak yang terlelap, tapi kami cuek aja grusa grusu masukin barang ke backpack. Suara kantong plasti pastinya cukup mengganggu, tapi hey... setelah ini kalian ngga ada yang ganggu kok. Inget ngga 2 hari kalian ngobrol tengah malam? Ya bukan maksud hati balas dendam sih, tapi ya harap maklum aja deh, namanya juga orang packing. Gelap-gelapan dan masih males ngapa-ngapain karena masih pagi tapi kalo ngga dirapihin, ya barang-barang itu ngga akan masuk sendiri kedalam tas kan?

Selesai mandi dan packing, saat nya say good bye ke staff hostel yang baik hati. Sebenernya mau pamit juga ke penghuni yang lain, tapi yah... masih pada molor juga. Segera kami sarapan di lobby sambil membawa backpack yang beratnya bertambah. Karena penuh, sampai-sampai ruang untuk barang tambahan ga ada lagi. Yah, bisa-bisa naik pesawat nenteng kresek nih, karena masih ada beberapa barang yang harus saya beli untuk oleh-oleh orang rumah. Seperti biasa, saya selalu menyempatkan diri untuk berfoto bersama staff hostel. Dan baru kali ini saya sempatkan diri untuk menulis testimony untuk hostel karena memang saya sangat puas dengan pelayanannya. Sampai hari kepulangan kami pun masih di sambut hangat si penjaga hostel. Sayang saya ngga sempat tau nama penjaga hostel yang laki-laki. Orangnya baik dan lucu. Bukan cuma staff nya yang baik, penghuni yang lain pun cukup mudah bersahabat. Dengan gampang Ndah dapat pertolongan untuk minta foto kan kami bertiga ditambah si Mr. X staff hostel. Sampai mau keluar pintu pun Mr. X berpesan : "Are you going back to Indonesia? I hope you will come back here, soon." Pastinya..!

Testimonial untuk Suneta
McD ada ikutan Sawatdee :)
Tuk tuk... mumpung ngga ada abangnya hihi..
 
Joging Pagi yang Kesiangan
Lumpini Park pagi hari
Keluar dari hostel rasanya masih terlalu pagi untuk belanja, makanya saya ada ide untuk jalan-jalan sebentar di Lumpini Park sekalian buat cuci mata... semoga. Dari perempatan Khok Wua kami cukup menunggu bus 47 yang memang melewati Lumpini Park jadi kami ngga perlu berganti transport lain. Ngga tau apakah sudah ngga terlalu pagi atau memang sepi, ternyata Lumpini Park ngga serame yang saya kira. Cuma ada beberapa orang bersepeda dan orang berjalan kaki. Yang uniknya di taman Lumpini ini ada gym terbuka yang alat-alatnya dari barang-barang seadanya. Biar begitu jangan salah, ada juga kok yang latihan di open gym ini. Malah badannya udah jadi kayak binaraga. Ada juga danau di tengah taman yang isinya bikin ngeri, karena ada biawak berkeliaran. Beruntung saya bisa melihat 2 biawak lagi gosip pagi-pagi, dan kura-kura kesepian yang lagi galau. Tapi karena ngga banyak yang bisa dinikmati akhirnya kami putuskan pindah tempat untuk belanja. Tapi bukan grup saya kalo ngga bisa bersenang-senang dulu walau di tempat yang kurang seru haha...

Kura-kura galau
Burung ikutan galau
Pose sopan...
Thank you Bangkok...!
Belanja ala Backpacker Kere
Moh Boon Krong
MBK adalah tujuan utama kami. Sebenarnya sih masih mau mampir ke Pratunam atau Platinum tapi sayang waktu dan tenaga nya ngga mendukung. Sejak jam 10 pagi kami sudah nongol di MBK. Ada tips GRATISAN kalo kamu mampir di MBK. Ternyata sejak tahun lalu pihak MBK memberikan kaos GRATIS untuk traveler, ASALKAN... menggunakan pesawat AirAsia. Jadi waktu naik Air Asia cari halaman tentang MBK di majah 3sixty yang ada di kursi, lalu foto pakai hp. Nah, kita tinggal datang ke lantai 5 dan cari bagian penitipan barang untuk menukarkan foto itu dengan kaos MBK. Sayang, kami ngga tau kalo harus foto majalahnya dulu, kirain cuma datang, isi formulir dan perlihatkan passport bisa dapat kaos, ternyata aturannya udah berubah. Jadinya gagal deh dapat kaos gratisan dari MBK. Karena ngga dapat koasnya, kami pun segera cari toko kaos murah tapi kualitas dan harganya OK. Walaupun harganya sama semua (99 Baht) tapi koleksi gambarnya beda-beda. Makanya kami ngga langsung berhenti di 1 toko untuk browse koleksi yang lebih cihuy. Setelah dapat yang kira-kira cihuy akhirnya kami mulai milih-milih. Dudi borong kaos paling banyak karena keponakannya nambah terus tiap tahun haha.. Saya dan Ndah cuma beli beberapa aja karena memang ngga niat untuk beli banyak dan seperlunya aja. 

Sibuk milih kaos buat oleh-oleh
FYI, sebaiknya kalo beli banyak kita bisa tawar harganya. Ngga perlu malu karena kalo beruntung kita bisa dapat harga lebih murah. Tapi lagi-lagi kami kurang beruntung, mbak penjual nya ngga mau ngurangi 1 baht pun, tapi ngga apa lah. Selesai dari toko kaos, di dekat situ ada toko souvenir seperti gantungan kunci, tas, magnet kulkas dan lainnya. Saya cuma beli gantungan kunci, mug kecil dan tuk-tuk kayu untuk pajangan kamar saya. Memang saya sudah komit setiap keluar negeri mau beli 1 souvenir yang menggambarkan negara itu. Tapi saya bingung, Thailand ini identik sama apa ya? Gajah? tapi semuanya kaca. Kuil? dari kuningan pasti mahal. Patung Buddha? Oh, yang satu itu jangan dibuat pajangan. Yang paling masuk akal tuk-tuk. Saya akhirnya beli tuk-tuk kayu seharga 325 baht yang saya tawar jadi 250 baht. Ngga sanggup tawar lebih murah lagi hihi...

Celana Thai Boxing, keren nih
Belanja sudah terpenuhi, tas makin menggembung, malah saya sampe nitip di tas Dudi. Kirain setelah belanja souvenir bisa pindah lokasi, ternyata Ndah dan Dudi masih penasaran cari cemilan. Kami pun pindah ke supermarket dekat sana. Lagi-lagi Ndah beli bumbu dapur, Dudi beli cemilan aneh-aneh, dan saya cuma tambah beli Thai tea aja buat babeh dirumah. Ngga terasa sudah 2 jam kami belanja, belum makan siang pula. Ngga mau buang waktu kami langsung naik BTS menuju Mo Chit yang rencananya mau makan siang di Chatuchak Market.

Tas depan belakang saking banyaknya bawaan

Chatuchak Weekend Market

Nasi kuning ala Thailand
Sampai di Mo Chit kami ngga bisa langsung keluar menuju Chatuchak yang jaraknya cuma berseberangan karena hujan deras. Kami terpaksa menunggu hujan reda karena saya ngga mau ambil resiko kamera saya kesiram hujan yang bisa menimbulkan jamur kadas kurap. Sampai sore kami bertahan di jembatan BTS. Akhrinya pada pukul 4.20 sore hujan mulai reda dan kami segera turun dan menyeberang ke Chatuchak. Mau nya sih cari makan dulu lalu lanjut belanja lagi kalo masih ada barang yang ajib. Kami mencari makan di luar pasar, tapi kok B2 semua menu nya? Kami pun masuk ke dalam pasar, Wew... ini pasar kayaknya ngga ada ujungnya. Gede banget, tapi badan udah lemes. Ditemani rintik-rintik hujan, kami cari makanan yang mungkin bisa buat ganjal perut. Kami melihat tukang buah, tapi saya ngga sanggup kalo cuma makan buah, saya mau makanan beneran. Setelah beberapa toko dilewati akhirnya ada juga tempat makan HALAL. Saya ngga tau namanya karena tulisannya pakai bahasa Thai. Maunya sih cari makanan khas Thai tapi begitu lihat menunya, cuma paduan nasi dan ayam aja. Ada nasi kuning, nasi putih, ayam goreng, ayam bakar dan sebangsanya. Ngga pikir panjang kami langsung masuk kedalam dan pesan makanan. Saya dan Dudi memesan nasi kuning & ayam goreng, Ndah pesan nasi kuning & ayam goreng juga. Ngga bisa share makanan karena pasti rasanya sama aja haha.. Yang aneh waktu makanan datang, kok nasi kuning pake ayam goreng di tambah semangkok kuah kaldu? Buat apa ya? Cicipin dikit campur nasi kuning, glek... makin aneh rasanya. Jangan ngebayangin nasi uduk kuning yang ada di kondangan, ini beda banget karena ada rasa-rasa rempah. 

Ya sudahlah, makan aja, yang penting kenyang. Selesai makan pastinya harus minum dong. Di meja ada 5 air minum botolan. Kami di sediain gelas dan es batu, mungkin maksudnya untuk diisi air minum ini. Eits, tapi tunggu dulu... saya ingat masih punya air putih banyak di botol minum saya. Dengan ngumpet-ngumpet saya isi gelas nya pakai air minum dari botol saya, dan you know what? Dudi dan Ndah ikutan nekat kayak saya haha... ga mau rugi keluarin duit 10 baht lagi karena bayar untuk air minum. Selesai makan, si pelayan menghitung jumlah piring dan jumlah botol minum yang ada diatas meja. Karena ngga berkurang satupun dia pun sampe bingung "No drink?" katanya. "No..." kata kami tanpa dosa. Dan kami cuma di tagih makanan aja yang per porsinya cuma 40 baht. Maaf ya mas, abisnya sayang masih punya air minum, makasih gelas dan es batunya hahaha...

Kembali ke Don Mueang Airport
Akhirnya nemu bus A1
Selesai makan langsung tenaga keisi lagi, rencana belanja lagi rasanya bisa terlaksana. Kalo saya sih udah tutup buku alias ngga mau belanja lagi, tapi Ndah & Dudi kayaknya masih sanggup nambah belanjaan lagi. Setelah beberapa toko dilewati rasanya belum ada yang sreg dan waktu makin sore. Akhirnya jam 5.30 sore kami putuskan untuk pergi dari Chatuchak dan menuju Don Mueang. Seperti waktu berangkat, kami menunggu bus A1 yang sudah pasti menuju Don Mueang. Setelah 20 menit kami sampai di Don Mueang dan segera check in lalu tunggu pesawat nya jemput di gate 26. Menunggu pesawat yang masih 1 jam lagi ngga terasa karena lagi-lagi kami disibukkan dengan log in wifi dan update status. Acara bagi-bagi foto juga ngga kelupaan. Dan akhirnya tepat jam 8.20 malam kami dipanggl untuk naik ke pesawat. Dengan begitu, beberapa menit lagi kami akan meninggalkan Bangkok. Sesuatu yang ngga saya sukai kalau jalan-jalan, waktunya pulang dan... terbang malam hari haha... 

Cemilan untuk orang rumah
Sisa-sisa "kejayaan"
3 jam kemudian daratan Jakarta kelihatan dari jendela pesawat. Kelap kelip lampu jalan Jakarta terlihat lebih terang di banding Don Mueang. Kami pun di jemput bus Air Asia sampai ke pintu imigrasi. Dan, inilah saatnya berpamitan pada ke2 teman saya. 

Setelah berpetualang selama 4 hari non-stop ini mata saya makin terbuka akan dunia diluar sana yang ternyata lebih aneh, unik dan menyenangkan. Bukan berarti di sini ngga menyenangkan, tapi sesekali kita menjelajah ke negeri seberang bisa membuka mata, pikiran dan persepsi kita. Pikiran bahwa masyarakat Bangkok yang ngga bersahabat atau situasi negara yang menyeramkan rasanya hilang begitu saja. Bahkan saya akan merekomendasikan Bangkok sebagai destinasi yang menyenangkan kepada teman-teman saya. Ngga ada keraguan lagi untuk membuat pernyataan : Thailand destinasi terbaik se-Asia Tenggara. 

Dan, itulah yang saya dapat dan berikan selama 4 hari bersama teman baru saya. Semoga kalian yang membaca ini ngga ragu untuk merasakan pengalaman unik seperti yang saya alami. Atau mungkin suatu hari nanti kita bisa bertemu di trip lain. Sampai jumpa di jalan-jalan berikutnya :)

- DT-


Kamis, 07 Mei 2015

Have a Good Time in Bangkok & Pattaya, Thailand (Day 3)

Bangkok pagi hari
Berlanjut ke hari 3, agak malas untuk bangun karena sepertinya semalam baru turun hujan. Seperti kebiasaan saya dirumah, kalo susah melek dan bangun dari tempat tidur pasti semalam habis turun hujan.Di tambah lagi tidur saya terganggu karena ada sepasang bule yang berdebat semalam. Kalo sependengaran saya sih, sepertinya si cowo rada kesel sama cewe nya yang ninggalin dia jalan sendirian dan akhirnya si cowo jalan-jalan sendiri ke tempat yang ga dia suka. Si cewe sih udah minta maaf berkali-kali tapi si cowo udah keburu ilfeel dan udah bodo amat sama tuh cewe. Nah, obrolan itu terjadi jam 12 malam waktu saya lagi berusaha nyari ngantuk karena kaki masih pegel gila euy. Kirain sampe disitu drama nya kelar, eh ternyata ada lanjutannya pemirsah! Kira2 jam 2 pagi (soalnya saya ngintip jam di hp) dia mulai ngobrol lagi. Awalnya pake volume standard (tapi kan kalo udah malem ya berisik juga mas, mbak) tapi abis itu bisik-bisik. Haduh, kuping kepo saya kan makin penasaran mereka ngomong apa. Dengan ketajaman kuping kepo saya bisa simpulkan akhirnya mereka berbaikan, karena di akhir pembicaraan perdamaian di tutup oleh cup cup muah muah (you know what I mean). Haduh, kenapa sih harus di kamar ini? bikin iri aja.. ahahaha...

Ok, skip dulu soal pasang bule mesum itu, kita fokus ke hari ke 3 ya. Setelah melewati malam yang berat itu akhirnya saya paksakan diri saya bangun dari tempat tidur walaupun agak kesiangan. Rencana bangun jam 7 tapi telat sampe jam 8 kurang. Langsung mandi dan sarapan sehat di lobby. Karena hotel tempat menginap Amel berbeda dengan kami ber3, kami harus janjian di satu tempat. Karena hari ini kami rencana ke Madame Tussaude jadinya kami janjian di depan Siam Discovery. Kebetulan jarak dari hotel Amel menginap cuma selemparan batu (halah bahasa marketing apartemen nih) jadinya kita ber3 yang harus kabarin kalo udah mau berangkat. Satu-satunya cara komunikasi adalah lewat WhatssApp via wifi di hostel. Jadi setelah sarapan selesai, bersiap, kabarin via WA, putusin wifi, lalu berangkat. Ngga percaya? percayalah #ikiopo? 

Ketemu Pak Presiden Di Siam
Seolah udah tinggal lama di Bangkok, kita udah lancar banget naik bus. Berdiri di halte, tunggu bus, lihat bus no 47, angkat tangan kiri, dan voila! bus berenti dan buka pintu. Kita pun udah ahli cari recehan koin untuk naik bus. Cari koin 5 baht, 1 baht dan 5 satang (alias sen). Kayaknya orang Bangkok itu pemalu ya, karena sesama mereka ngga saling ngobrol. Bahkan kalo ngga sengaja saling tatap mereka langsung nunduk atau buang muka. Ngga tau memang pemalu atau memang aturan disini tuh begitu. Dan yang saya perhatikan sampai hari ke 3 ini, walaupun ada gap antara si miskin dan si kaya, mereka tetep saling berbaur. Keren. Kelihatan banget kalo kita lagi di BTS, si kaya dengan pede nya keluarin iPhone seri terbaru mereka, dan saat naik bus si miskin cuma sanggup pamer Asus Zenphone nya. Tapi begitu si miskin dan si kaya bertemu ngga ada lagi yang merasa lebih hebat, mereka menganggap sama. Kapan ya di Jakarta bisa ngilangin gap kayak gini? 

Sekitar 20 menit kami sudah sampai di Siam Discovery dan ga susah ketemu dengan Amel (karena saya yang nemuin Amel duluan waktu dia lagi sbuk pencet-pencet layar iPhone nya haha..) Langsung kita ke dalam, tapi ternyata mall buka jam 10, terpaksa lah kita nunggu di pintu barengan pengunjung lain yang udah nunggu juga daritadi. Sepenting apa sih orang-orang ini ngantri di mall belum buka? Setelah ditilik dan ditelaah lebih dalam (eh mulai lagi) ternyata ada Big Sale 70% off produk sepatu di Siam Discovery. Maunya ikut antri sih karena saya juga suka produk sepatunya (saya penggemarnya malah) tapi karena ingat disini bayarnya pake baht, ya... nunggu sale di Jakarta aja deh hahay. Kami cuma lewatin antrian panjang untuk beli sepatu, kami langsung naik ke lantai 5 (kalo ga salah) menuju rumahnya Madam. Karena saya sudah pesan via online, jadinya saya ngga perlu beli-tiket lagi. Dan keuntungan saya beli via online, diskonnya bisa sampe 40% loh. Bukan ngiklan, tapi info aja biar kita bisa ngirit. Saya dapat diskon 40% tapi harus datang sebelum jam 12 siang. Keuntungannya selain diskon yang lumayan gede tadi, kita juga bisa leluasa foto-foto karena jam 10 itu relatif masih sepi (apa memang sepi terus ya?). Waktu baru berapa langkah masuk aja kita udah dibuat amaze karena melihat sosok Presiden pertama Indonesia menyambut. Walaupun belum pernah liat aslinya, tapi bentuk dan rupa nya persis banget seperti di foto. Dan ternyata bukan grup kita aja yang ribet mau foto di deket Soekarno, ternyata turis Indo yang lain (mbak-mbak arisan kayaknya) juga ngatri foto disana. Dengan berniat baik (dan memang butuh sih) saya inisiatif untuk bantu foto mereka, asal... mereka juga mau fotoin kita haha.. 

Ketemu om Einstein, cihuy!
Bukan cuma Soekarno aja, ada Mahatma Gandhi, Dalai Lama, Vladimir Putin bahkan Obama. Sebenernya sih saya paling ogah foto-foto an begini, tapi kenapa akhirnya saya mau juga ya? Mungkin karena suasana nya mendukung kali ya? Lagian kalo masuk sini ngga ikut foto ya rugi bandar dong. Selain pemimpin dunia ada juga atlit, artis hollywood, tokoh film dan tokoh sejarah. Saya paling suka foto saya dengan Einstein, sampe-sampe saya bela2in selfie berdua sama beliau (halah beliau) Dan composer Beethoven yang memperbolehkan saya memainkan piano "palsu" nya. Sayang Mozart ngga ada, padahal saya nge-fans nya sama eyang Mozart. Selain foto-foto sama patung lilin, kita juga bisa main game interactive, seperti game sepak bola, dance, dan yang paling suka game fighting. Kalo sempet lihat video nya pasti ngakak haha...
Soekarno, Presiden pertama RI
Mahatma Gandhi
One Direction beserta kru dadakan..haha..
Lagi di-interview Oprah nih
Ngerasain 1 penjara bareng Hannibal.. hii
Lumayan nih buat motong buah
"Tante Oprah lagi sibuk apa sekarang?"
Setelah berkeliling kira-kira 1 jam, akhirnya sampe diujung pintu, eh ada si kocak Jim Carrey. Yup, idola saya nunggu di pintu keluar ternyata. Seperti di tempat wisata lain, pintu keluar biasanya melewati toko souvenir. Sayang harganya 3 digit semua, ga masuk di budget, skip aja deh. Setelah melewati godaan souvenir, kami pun berencana mencari pintu keluar untuk pindah lokasi. Antrian yang tadi kami lihat pagi hari sudah berubah jadi kerumunan di dalam toko. Saya pun makin penasaran, produk apa sih yang diskonnya sampe 70%? Ternyata cuma sepatu kanvas yang notabene di Jakarta abal-abalnya cuma 100 ribuan haha.. Selain produk itu, ada juga produk lain yang diskon gede-gedean sampai 50%. Ini masih bulan April kan? apakah sale disini ada dibulan April? ngga tau juga deh.

Stasiun bus Ekkamai
Setelah berjibaku (caelah bahasa nya) dengan kerumunan orang gila belanja itu, kami berhasil sampai di pintu BTS. Tapi sayang Amel ngga ikut kita jalan lagi karena semalamnya dia ada sedikit accident waktu nonton konser rock band idolanya. Katanya sih dia jatuh waktu ada rusuh waktu acara berlangsung yang mengakibatkan acara harus di stop. Badannya masih pegal-pegal katanya. Ok lah kita ngga bisa maksa, tapi show must go on dan kami langsung cuss ke BTS Ekkamai. Ya, kami berencana nengokin Pattaya. Jadi kami harus naik bus cepat menuju Pattaya melalui stasiun bus Ekkamai. Sesampainya di Ekkamai, kami baru sadar belum makan siang. Cari sana sini, ada sih KFC tapi agak jauh dan jadwal bus berangkat tinggal 20 menit lagi. Takut ketinggalan bus kami berencana cari makan dekat situ aja. Tapi sayang menu nya mengandung B2 semua. Tiba-tiba ide makan buah muncul gitu aja. Ya, ngga ada yang lebih aman daripada makan buah atau sayuran. Akhirnya kami menemukan penjual buah disana. Saya beli buah semangka seharga 20 baht yang ukurannya super gede. Ndah dan Dudi beli jambu. Biar jaga-jaga takut lapar di tengah jalan, kami persenjatai bekal kami dengan cemilan juga. Kebetulan ada 7 eleven di dekat sana. FYI, 7 eleven disini mirip seperti warung yang ada setiap 200 meter sekali. Walaupun ukurannya ngga segede 7 eleven disini tapi dijamin lengkap. Saya beli 2 buah roti dan air minum jaga-jaga perjalanan jauh bikin saya lapar dan haus.

Harganya 119 Baht
Pukul 13.50 bus kami sudah siap berangkat. Tiket yang kami beli dari Bangkok ke Pattaya seharga 119 Baht yang memakan waktu perjalanan sekitar 2 jam lebih. Agak lama dan bisa tua di jalan sih, tapi memang pilihannya cuma ini. Naik pesawat? bisa sih tapi kalo bayarnya pakai daun saya pasti naik itu. Selama perjalanan ngga ada pemandangan bagus yang bisa dilihat. Sepanjang jalan tol cuma ada hamparan tanah kosong dan pabrik. Mirip kalo kita lewat tol Jagorawi gitu deh, kiri kanan pabrik motor, bedanya disini pabrik mobil dan alat berat. Nah, yang bikin saya heran dan baru ngeh setelah sekian jauh, jalan tol di sana tuh sepanjang jalan ada di jembatan layang. Gila, sepanjang jalan itu jembatan, berapa biaya bikinnya ya? Walaupun ngga macet, supir juga ngga ugal-ugalan. Malah saking selaw nya pak supir sampe geregetan pingin bantu nginjek gas aja, lelet haha..
Nih tiketnya
Nih stasiun bus Pattaya
Ini yang namanya Songthaew
Diluar perkiraan saya yaitu 2 jam, ternyata ini hampir 3 jam. Setelah turun dari bus kami langsung buru-buru cari transport lain yaitu Songthaew. Ya, angkot ala Thailand ini namanya Sangthaew. Mobil pick up yang di modifikasi yang belakangnya di kasih kursi dan atap terpal. Tapi mana dia tuh Songthaew? kok jalur nya beda-beda? harus pake yang mana nih? Dengan berbekal ingatan dan feeling saya tuntun teman-teman saya untuk menuju perempatan dekat sana. Tapi kok masih belum keliatan ada yang lewat ya? Apa salah ambil jalur ya? Kira-kira 10 menit ada songthaew lewat depan kami dan saya langsung bertanya apakah ini menuju Pattaya Walking Street? seperti biasa Thai-English disini susah dipahami. Tapi untunglah saya ketemu orang baik. Walaupun dengan bahsa yang seadanya pak supir meyakinkan saya kalau saya harus naik songthaew nya. Bahkan dia kasih tau tarif nya cuma 10 baht. Yup, untuk poin pertama supir ini jujur, makanya saya naik. Tetap waspada, saya menyalaan GPS saya untuk tau apakah saya ada di jalan yang benar. Yeah, ternyata memang jalurnya, saya pun tenang kembali. Sambil lihat keadaan sana yang mirip di Denpasar, Bali. Banyak turis naik motor dan toko sepanjang jalan. 

Ripley's Believe it or Not?
Ngga sadar kami sudah di persimpangan jalan yang menurut pak supir harusnya kita turun dan lanjut naik songthaew lain ke kanan jalan. Karena kita masih keasikan lihat lihat pemandangan, pak supir menghentikan mobilnya dan memberitahu kami untuk pindah songthaew. Wah, baik sekali pak supir nya. Orangnya juga ramah, pantas lah TH dijuluki sebagai negeri seribu senyum. Dengan bahasa yang seadanya di menunjuk ke arah kanan perempatan. Kami langsung turun dan membayarnya. Alhamdulillah masih di tolong orang di negeri antah berantah ini. Kami pun segera cari penyeberangan. Walaupun sudah sangat sore, semangat kami ngga surut dan berencana menuntaskan misi ke Pattaya. Kembali naik songthaew sampai ke tempat tujuan. Dan sampai lah kami ke Pattaya Walking Street. Karena belum gelap, akhirnya kami mampir dulu ke museum Ripley's yang berada di Garden Park Royal mall. Ngga ada rencana masuk ke dalam, cuma mau liat depannya aja buat foto-foto karena pengalaman saya masuk ke museum Ripley's di Genting tahun lalu yang mengecewakan. 

Pantainya Pattaya nih
Selesai dari Ripley's, kami mengejar waktu untuk menuju pantai sebelum matahari terbenam. Mau lihat sunset sih ceritanya, eh tapi kok mana mataharinya? Yah, ternyata salah posisi atau kitanya yang telat datang ya? Sunset nya ngga keliatan, cuma guratan-guratan awan jingga di angkasa luas membentang (halah). Tapi karena udah capek-capek datang kemari jadinya ya harus dinikmatin dong. Jalan-jalan lagi sambil makan buah lagi yang kali ini beli nya ngga ikhlas karena harganya lebih mahal 5 baht tapi buahnya keras haha... Maunya sih masuk ke dalam Pattaya Walking Street karena katanya didalam lebih liar di banding Soi Cowboy, tapi karena udah capek dan kemalaman, kami takut susah pulangnya nanti. Mengingat kami di luar kota Bangkok dan lama perjalanan hampir 3 jam. Kalo sampe Bangkok BTS udah tutup, terpaksa kami naik taksi nanti. Nah, daripada ngalamin hal yang ngga diinginkan akhirya kami ngalah sama waktu dan harus pulang ke Bangkok lagi malam itu. Kepedean naik Songthaew, ternyata kami diturunin di persimpangan jalan. Ternyata trayek songthaew nya habis di persimpangan, kami harus naik lagi di perempatan itu menuju lurus sampai ketemu bundaran lumba-lumba. Sebelum naik Ndah tanya ke supirnya, sampe bus station ngga? eh si abang supir cuma geleng, trus tangannya bikin lingkaran gitu. Penasaran sama jawabannya, saya tanya lagi deh "To bus station?" trus abangnya bilang "No, only to... " dia bikin lingkaran lagi pake tangannya. "Oh, you mean, dolphin circle?" kata saya. "Ya,ya." katanya. Oh, cuma sampe bundaran dolphin, Ok, memang kita juga mau kesitu kok. Langsung kami ambil posisi deh di songthaew.

Ngga sengaja malah nemu ini
Ternyata benar aja, jalanan makin malam makin rame dan jalanan macet. Seperti yang saya bilang di Pattaya ngga beda seperti di Bali. Kalo tadi jalan besarnya mirip di Denpasar, sekarang jalan 2 arahnya mirip di Legian atau Kuta. Rame. Tapi karena macet itu saya jadi tau lokasi opera para ladyboy itu berada, Alcazar namanya. Kami cuma lewat depannya aja, ngga tertarik juga nonton begituan. Udah lah macet, ada beberapa penumpang yang ngobrolnya sambil teriak-teriak bikin pusing. Ada 2 kakek tua bawa cabe-cabean senior buat diajak senang-senang. Duh, kek.. nek.. mending pulang dirumah banyakin dzikir ahaha..

Ketemu juga bundaran Dolphin ini
Kira-kira jam 7.40 malam kami sampai di bundaran dolphin dan sebaiknya sampai sana jam 8 malam ini kalau ngga mau naik taksi di Bangkok nanti. Ngga mau nunggu songthaew yang ngga jelas kapan datangnya, kami cari sambil jalan menuju stasiun yang memang cuma selurusan aja tapi jaraknya itu loh, menurut GPS saya masih 1,5km lagi. Bukannya naik songthaew yang lewat malah kita terusin jalannya. Sambil ngobrol dan nantangin apakah kita berhasil sampe sana sebelum jam 8? Keinginan pulang sebelum tengah malam jadi penyemangat kami. Bayangan harus patungan bayar taksi bikin langkah makin cepat walaupun nafas ngos-ngosan haha... Joging malam di Pattaya ini ngga akan bisa saya lupain kayaknya. 

Semangat makin naik begitu melihat papan biru. Ya, kita sudah hampir sampai di stasiun. Begitu sampai di stasiun saya langsung masuk ke mini market dan membeli minuman dingin. Oh, good heaven.Walaupun terlambat 15 menit dari jam 8 malam, untungnya masih ada keberangkatan jam 8,20 malam, itu artinya kita tinggal tunggu beberapa menit lagi untuk cuss ke Bangkok. Yeah, semoga ngga jadi patungan taksi haha... 

Jalan tol di malam hari sama sepi nya seperti di sang hari tadi. Dan untunglah pak supir injakan gas nya lebih dalam, jadinya kami ngga harus sampai 3 jam ke Bangkok. 2 jam lebih sedikit ternyata sudah sampai di Ekkamai dan thank GOD BTS masih rame, dan artinya masih beroperasi yang pada akhirnya kami baru tau kalau BTS beroperasi sampai jam 12 malam. Tapi tetap aja lah, ngga berani jalan malam di Bangkok, apalagi harus naik bus lagi. 

Insya Allah, HALAL.
Sampai di Khaosan ngga terasa udah tengah malam, karena ajeb-ajeb nya baru mulai jam 8 malam. Perut lapar abis joging bikin mata kami cari-cari penjual makanan. Ndah dan Dudi masih penasaran sama rasa Pad Thai. Di situ ada penjual Pad thai tapi ngga ada logo HALAL nya. Sambil beberapa kali ragu, akhirnya Ndah nanya ke penjualnya. "Is it HALAL?" kata bapak yang jual "Ya." halah, sok tau yang jualnya haha... Memang sih ngga mengandung daging B2, tapi minyaknya gimana? Sambil ngintip ngintip ke dalam gerobaknya, mengira-ngira apa aja bumbunya. Karena mengira semua aman, akhirnya kami berani pesan seporsi. Dan ternyata rasanya,... lumayan lah. Untuk harga 20 baht, Pad thai with egg berhasil masuk perut kami yang kelaparan. Ngga tau memang enak atau cuma efek dari joging tadi ya?

Ngga pake lama Pad thai pun ludes. Pingin nambah tapi ngga jadi ah. Akhirnya kami berjalan menuju hostel. Fiuh... ternyata acara ngebolang kali ini adalah acara bolang paling aneh tapi nyata. Besok tinggal hari terakhir, mau kemana lagi ya? Lanjutin bacanya ya...

Rabu, 06 Mei 2015

Have a Good Time in Bangkok & Pattaya, Thailand (Day 2)

Bule, kenalan dong :)
Berlanjut ke hari-2. Syukurlah saya bisa tidur nyenyak walaupun kaki saya masih kaget menerima tuntutan jalan bertubi-tubi haha. Sudah lama saya ngga latihan kardio jadi kaki mulai letoy di tambah dehidrasi karena panasnya Bangkok kemarin. DImulai dengan bangun dari tempat tidur lalu mandi pagi. Rasa dingin dan gelap kamar dorm yang saya tempati membuat saya agak malas bangun, tapi kalo ngga bangun dari pagi bisa ngaret jadwal itinerary saya. Seperti yang lalu-lalu, setiap bangun dari kamar dorm di luar negeri pasti keadaan masih gelap dan penghuninya masih pada molor. Biasa lah, mungkin masih pada jetlag para bule itu. Sebenarnya itu sebuah keuntungan buat saya karena saya bisa leluasa pakai kamar mandi. Ngga perlu buru-buru dan santai ga takut di gedor karena kelamaan pake toilet haha.. Tapi kerugiannya saya jadi ngga bisa kenalan sesama penghuni dorm yang sepengalaman saya sesama backpacker biasanya cepat akrab. 

Sarapan Ala Kadar Tapi Mewah
Sarapan sehat jam 7-11 am
Begitu selesai mandi dan bersiap untuk berpetualang lagi, saya sempatkan untuk sarapan di lobby hostel. Saya sih ngga berharap banyak karena setau saya sarapan di hostel sekitar roti, selai, kopi dan teh. Tapi nyatanya sekarang beda. Baru kali ini saya disuguhi sarapan sehat, lebih sehat darpada sarapan sehari-hari saya dirumah hahaha... Di meja bukan cuma disuguhi roti tawar dan selai, tapi juga ada sandwich isi telur, tuna, salad, bahkan buah segar. Minumannya bukan cuma kopi dan teh tapi ada juga hot choco dan orange juice. Mantap! Saking shock nya karena disuguhi sarapan bergizi, saya sampe ragu untuk mengambil sandwich yang terbungkus rapi di meja. "Ini gratis kan?" haha... Oh my GOD, that was so embarrassingSambil intip di tulisan kecilnya ada tulisan FREE. Yeah! Jackpot! comot 1, semangka 2, hot choco segelas. Begitu cicipin sandwich nya, Oh my goodness, this is great! mau ngambil lagi malu haha.. Andai sarapan saya tiap pagi dirumah ada beginian, mungkin saya rajin sarapan dirumah hihi..

Bon apetite!
Keliatan ngga tulisan FREE nya? :D
Setelah kenyang sarapan (sebenernya mau ngambil sandwich nya buat bekal tapi malu) dan rapih-rapih akhirnya petualangan dimulai lagi. Langit hari itu sepertinya lagi bersahabat karena settingan sinar mataharinya ngga di pasang full hehe.. Cerah tapi berawan membuat suasana adem. Suasana sekitar tempat kami menginap juga agak sepi, mungkin karena masih pagi jadi yang ada cuma penjual sarapan seperti kue-kue basah macam pasar kue subuh. Yang asik disini keadaan disini ngga beda jauh dengan Jakarta tapi lebih teratur. Ngga ada tuh penjual yang ngambil separuh trotoar untuk jualan. Mereka tertib walaupun ada juga yang naruh barangnya di trotoar, tapi itu trotoar depan tokonya sendiri.

Berkunjung Ke Rumah Raja Siam
Menurut petunjuk dari staff hostel, menuju Grand Palace (GP) ngga jauh kok "Only 20 minutes by foot." katanya. Iya, 20 menit jalan kaki gaya jalan cepat atlit olimpiade kali ya.. hahaha... Kalo jalan kaki gaya backpacker narsis kayak kita gini bisa 30-45 menit, itu pun kalo ngga nyasar. Mulai dari perempatan Khok Wua kami mulai jalan sambil liat-liat kegiatan warga Bangkok pagi hari. Ngga jauh beda sama di Jakarta. Banyak toko baru buka. Suasana jalan raya di pagi hari disini ngga se crowded di Jakarta. Waktu melewati toko-toko yang baru buka, banyak toko perlengkapan militer mulai dari baju, topi, binocular dll. Dan ada 1 toko yang menjual bendera Thailand. Saya kepikiran untuk membeli nya untuk souvenir, tapi apakah boleh bendera di perjual belikan untuk turis? Daripada kenapa-kenapa mending saya ga beli deh, tau sendiri kan aturan militer & kerajaan di Thailand ini agak-agak galak soal beginian. 

Ministry of Defence
Lebih dari 20 menit kami jalan, belum keliatan pucuk GP, malah ketemu ladyboy mau nipu kami. Seperti banyak blog yang bilang kalo di dekat GP banyak scam yang menawarkan kebaikan dibalik penipuan #halah. Dan benar aja, si ladyboy tua bilang "GP is closed today, you better go to another place" Hmm... maaf deh mbak.. eh mas.. eh apalah... kita udah tau akal bulusnya, maaf ga ketipu nih yee. Kami cuma melengos pura-pura ngga denger sambil terus jalan. Setelah melihat kuncup GP langsung jalan kami semangat lagi. Di tambah bisa foto-foto selfie lagi di depan markas besar Militer. Bukan mabes sih, tepatnya gedung kementrian pertahanan. Padahal GP nya udah tinggal nyeberang eh yang lain malah asik-asik foto di gedung menteri #salahfokus. 

Tuh liat OPEN EVERY DAY segede gaban?
Akhirnya sampe juga ke GP dengan rekor waktu 40 menitan. 2 kali waktu yang ditetapkan staff hostel haha.. Waktu mau masuk udah banyak turis berjubel mau ikutan masuk juga #yaiyalah. Ada yang bawa bendera untuk ngasih tau ketua grupnya, ada yang pake payung.. nah kalo kita pake tongsis aja, toh cuma ber 4 haha.. Tapi anehnya di ribuan orang ngomong pake bahasa beda-beda (mandarin, thai, english dll) ada satu bahasa yang bikin nengok, yaitu bahasa Jawa. Yeay, ternyata ada orang indo juga di kumpulan turis ini, tapi mana dia orangnya? Mirip semua, sipit, putih, pegang hp ber kamera. Ngga mau kalah heboh sama turis yang lain, saya pun bikin ke hebohan sendiri yaitu selfie pake camcorder saya. Yeah, yang lain cuma punya tongsis foto, saya video..haha #sombong.

Dan akhirnya kami sudah ada didalam rumahnya Raja Siam. Gede sih, tapi rela bagi-bagi? tapi susah bergerak karena senggol-senggolan terus sama turis lain. Rame nya ga ketulungan. Tapi emang keren sih di dalam. Detail kuil nya itu loh yang bikin tempat ini banyak yang datang. Ada juga beberapa bagian yang ngga boleh diambil gambarnya didalam untuk menghargai orang-orang yang sedang ibadah. Dan memang tempat-tempat seperti ini yang saya suka kalo datang ke negri lain. Dari situ saya bisa tau asal muasal negri itu dan sejarah singkatnya. Dengan demikian pikiran jadi terbuka dan bisa menghargai bangsa lain.

Selembar sih, tapi mahal.

Tiket Grand Palace dan seisinya

Riweuh euy...

Keren





Pose mahal nih.

Yah, si bapak merusak moment :(
Selesai capek muterin rumahnya Raja, kami keluar untuk pindah lokasi. Sekarang waktunya ke Wat Pho atau Reclining Buddha Tempe alias Kuil Buddha Berbaring. Lokasinya ada di belakang GP. Jalan cepatnya yaitu keluar dari pintu masuk tadi langsung aja jalan ke kiri. Saran saya sih mending kita nyeberang aja supaya bisa lihat-lihat kehidupan orang lokal disini. Ada yang jual makanan, minuman, buah sampe barang perintilan ga jelas. Kalo mau belanja disini hati-hati, jangan main ambil aja karena harganya bisa 3 kali lipat di tempat lain. Seperti yang dialami teman saya Amel, dia main pesan buah potong aja. Untungnya saya iseng nanya harganya "How much?" trus kata abangnya "Thirty.". Apaan? buah segitu 30 baht? oh, salah denger kali mungkin maksudnya 13, tapi aneh aja harganya nanggung gitu. Karena saya ingat kemarin saya beli buah melon harganya cuma 10, akhirnya saya tawar "10 baht ya?" eh, abangnya geleng-geleng. Ya elah, cuman kurangin 3 baht aja ga boleh. Taunya dia jawab lagi "Ok, 20 baht!" Lah, ternyata bener dia getok harga 30 baht? Eh, blom pernah kelilipan golok nih abangnya, tapi karena emang lagi ga pegang golok akhirnya diikhlaskan deh itu buah seplastik seharga 20 baht. Makannya sambil ngedumel tapi hahaha...

Tiket nya cuma 100 Baht, tapi fasilitasnya...
Sampai di Wat Pho keadaannya lebih baik karena ngga terlalu ramai. Ditambah free mineral water. Yihaa.. Dan bukan cuma air botolan aja yang gratis dan bisa refill, ternyata gratis wifi juga. Modal 100 baht bisa dapet banyak, beda sama rumah Raja tadi yang mahal (500 baht) tapi cuma bisa ngadem aja di museum nya. Karena semangat ga mau rugi nya naik lagi, akhirnya bukannya kita masuk ke patung Buddha tapi malah pada repot log in wifi sambil minum di dekat air mancur ahaha... Puas update status, kami pun masuk untuk foto di depan patung Buddha. Gilee, ini patung emas gede amat ya? boleh cuil dikit ga? buat bikin cincin kawin hahaha... Masih terkesima sama ukurannya, dan keinget sama video game Street Fighter yang background nya patung Buddha tidur ini. Karena tempatnya cuma satu itu dan agak sempit jadinya harus dulu-duluan foto daripada posisinya diambil orang lain. Tapi asik sih turis-turis nya ga liar, jadi bisa antri untuk foto.

Majestic banget nih pose..
Kalo burem salahin Dudi yang motret :P
Teteup...

Pad Thai HALAL, Alhamdulillah
Wat Pho sudah di kelilingi, sekarang waktunya cari makan siang karena udah siang juga. Jam di Bangkok sama persis seperti di Jakarta (+7) jadinya kalo ngeliat waktu di jam itu jam 1 siang, ya memang udah jam 1 siang. Pantesan perut udah teriak. Kami nyeberang menuju Pier yang menuju ke Wat Arun. Disana banyak penjual makanan termasuk makanan HALAL. Bingo! Akhirnya dapat juga Pad Thai HALAL setelah seharian kemarin susah payah cari makanan HALAL di Khaosan. Penasaran rasa Pad Thai akhirnya saya pesan untuk makan siang saya. Tapi sayangnya yang lain malah pesan Nasi Goreng seafood. Hadeh, jauh-jauh ke TH cari makanannya sama aja kayak di depan rumah. "Tapi kan disini bayarnya pake Baht" kata Ndah. Iya juga sih hahaha... Dan setelah sharing makanan, bener kan... mereka iri sama makanan saya. Pad Thai saya lebih enak dibanding nasi goreng mereka. Rasa Pad Thai mirip kwetiaw tapi mie nya ngga kenyal kayak kwetiaw, di tambah balutan #halah telur dan campuran sayuran makin cihuy rasanya. Walaupun harusnya bisa lebih enak daripada ini. Pad Thai seharga 60 baht ini lahap saya habiskan. Mau nambah sih tapi sisain tempat buat jajan aja ah, hehe.. Di dekat situ juga ada penjual sticky rice with manggo alias ketan campur mangga. Si ibu penjualnya aja tau kalo kita dari Indo. "Ketan!" katanya. Lah, apa emang bahasa Thai nya sticky rice itu ketan juga? Wallahu alam.

Pad Thai tampak atas
Pad Thai tampak samping, Yummie..
Ini loh sticky rice alias ketan + mangga itu
Wat Arun lagi dikarungin :'(
Sudah makan kenyang, sudah jajan ketan waktunya lanjut jalan. Kami menyeberang ke Wat Arun pakai ferry seharga 3 baht. Murah banget ya? Cuma 5 menit udah sampe ke seberang. Tapi kami kecewa begitu tau Wat Arun sedang di renovasi. Ngga tau lagi ada perbaikan atau cuma dibersihin, yang pasti kuil nya lagi ditutupin. Yah, ga jadi naik ke atas deh. Tapi karena udah sampe seberang, ga sah kalo ngga foto-foto disana. Ambil background seadanya kami pun siap menambah koleksi foto kami. Ngga berapa lama kami kembali ke Pier dengan ferry tadi untuk pindah boat menuju ke Pier Marine Dept. Sebelum naik ke boat sebaiknya pastikan dulu warna bendera boat & jurusannya, karena harga nya berbeda tiap warna bendera. Karena cari yang paling murah #teteup kami memilih perahu dengan bendera orange. Menuju Marine Dept (N8) cuma 15 baht. Perahunya kurang lebih sama, cuma kenyamanannya aja beda. Kurang lebih 20 menitan kami sudah sampai ke Marine Dept. Untuk yang baru pertama kali naik boat kayak saya, sebaiknya selalu perhatikan nama Pier yang dilewati karena ngga semua Pier dilewati. Takutnya kita berpikir N8 masih jauh, trus ngitung sekian Pier baru turun, itu salah. Lebih baik begitu naik boat langsung duduk atau berdiri di sisi kiri boat dan lihat nama Pier nya. Ibu kondektur nya (eh, kondektur juga bukan ya kalo boat) sih teriak nama Pier, tapi in Thai jadi ngga jelas dia teriak apa, lebih baik usaha liat ke Pier ya.

Wajah kecewa ga bisa naik Wat Arun
Tapi tetep gila-gilaan dong...
Wat Traimit
Karena saya, Dudi dan Ndah mau ke Godlen Buddha (Wat Trimit), jadinya kami turun di Marine Dept. Tapi karena Amel ada acara lain di daerah Siam, makanya dia lanjut sampai Pier Center & lanjutkan naik BTS Saphan Taksin. Ternyata Pier tempat kami turun ini ada belakangnya Departemen angkatan laut, jadi begitu keluar kita ngelewatin beberapa gedung kantornya. Dan setelah keluar gedung kantor terlihat lah gang dan warga perkampungan disana. Ahay, kita main ke kampung orang haha.. Gang nya agak besar sih, jadi bisa dilewati 1 mobil dan 1 motor. Menurut yang saya lihat di google maps harusnya keluar gedung Marine Dept, kita belok kiri, lalu gang besar pertama kenan dan ketemu jalan besar belok kiri lagi sampai ketemu perempatan. Tapi karena agak ragu dan sulit bertanya karena ternyata kami sudah ada di Chinatown yang mayoritas Chinese semua. Untung GPS saya lagi berfungsi dengan baik akhirnya ketemu juga Circle Odeon yang saya cari. dan tinggal belok ke kanan disitulah Wat Traimit.
Di google maps ini namanya Circle Odeon, ga tau nama aslinya.
Sawatdee khap :)


Lumayan selfiable nih lokasi. Depan MRT Hua Lampong
Ngga banyak yang bisa dinikmati disini karena kenyataan nya ini murni kuil dan bukan objek wisata. Tapi Ok lah untuk menambah pengetahuan. Apalagi bangunannya juga cantik. Ngga lama kami disana dan lanjutkan perjalanan kami lagi. Berikutnya kami berencana menuju ke Asiatique, tempat anak gaul Bangkok kalo sore hari. Sebenarnya balik ke Marine Dept. dan lanjut naik boat ke Pier Center lagi, tapi karena jalan baliknya agak jauh dan udah lupa juga gang nya jadinya kami pilih jalur lain, yaitu naik MRT. Kami lanjutkan jalan kami menuju stasiun kereta Hua Lampong dan ternyata malah ada lokasi yang bagus untuk selfie lagi #lagilagi. Ngga tau itu billboard iklan atau apa, tapi yang pasti Hong Kong Noodle lumayan bagus untuk koleksi selfie. Dekat di sana ada stasiun MRT yang harus didatangi lewat tangga jalan menuju bawah tanah. Begitu masuk kesana, wow mirip di SG. Adem dan bersih. Beda dari BTS yang diatas dan tiketnya berupa kartu, MRT di Bangkok tiketnya berupa koin plastik seperti di MY. Harganya kalau dihitung lebih mahal MRT daripada BTS, tapi ya sudah lah. 
TIket MRT, koin plastik (foto : Nddah)
Harga sesuai tinggi badan (foto : Ndah)
Asiatique The Riverfront
Sampai di stasium Silom, kami transit ke BTS Silom menuju Saphan Thaksin. Di bawah stasiun BTS sudah ada Pier untuk menunggu boat gratis menuju Asiatique. Yeah GRATIS, itu yang membuat kami datang kemari. Sepanjang jalan menuju Asiatique kami disuguhi pemandangan yang lebih bagus dibanding perjalanan ke Marine Dept. tadi. Ditambah suasana sore yang menjadikan suasana makin cihuy, dan teman sebangku saya yang... ah sudahlah. Sampai di Asiatique suasananya makin asik apalagi waktu si Ndah mergokin artis ibukota lagi liburan disitu juga. Shanty yang penyanyi dan pemain film itu loh, dia lagi jalan-jalan sore sama mamah nya disitu. Dan sontak (halah bahasanya makin sadis) Ndah minta di fotoin sama artis itu. Jepret, Eh si Dudi juga minta, Jepret lagi. Begitu selesai foto Dudi si artis ini langsung pamit. "Ngga mau ikut foto sama artis, Dit" kata Ndah. "Mana ada artis foto sama artis?" kata saya sambil ngeluyur hahaha... 

Jadwal boat gratis
Naik boat sore-sore menuju Asiatique
Ternyata ada Buddha tidur lagi, tapi ga tau ini dimana
Ini loh artis ibukota nya, yang baju biru? Bukan!
Kalo yang pernah ke Clarke Quay di SG pasti langsung akrab sama suasan ini. Ya, 11-12 lah suasananya cuma disini harganya lebih murah sedikit daripada di SG #yaiyalah. Muter-muter ga jelas sambil liatin ABG Bangkok becanda, akhirnya kami bela-belain beli kaos seharga 200 baht disana. Hmm, bukan harga backpacker sih tapi lumayan lah. Apalagi si Dudi dapet pesanan dari teman kantornya, sepatu Monobo (kalo ga salah). Udah dicari ke semua outlet ternyata cuma versi sendal aja yang ada, versi sepatu nya ga beredar disana kali. Ah, untunglah ga ada yang berani nitip barang sama saya. Teman-teman saya cuma berani bilang "Jangan lupa oleh-oleh." tapi ngga spesifik. Ok, saya kasih koin baht sisaan liburan juga oleh-oleh kan namanya? hahaha...

Tetap bersenang-senang... (foto : Ndah)
Ini loh kaos 200 baht itu
Keren kalo sore ajah
Pulangnya bisa liat ini. Majestic banget.
Berburu Barang Belanjaan
Foto : Ndah
Karena harga di Asiatique diluar budget backpacker kami, akhirnya kami pindah ke lokasi lain. Takut boat GRATIS nya habis, jadinya kami pulang dari Asiatique ngga berani malam-malam. Jam 6 sore kami langsung cuss menuju BTS Saphan Taksin lagi dan lanjut menuju Siam. Lokasi yang kami tuju berikutnya adalah Moh Boon Krong alias MBK. Kalo di SG ada Lucky Plaza, di KL-MY ada Sungei Wang, nah di Bangkok ada MBK. Begitu masuk, ya biasa aja sih. Seperti ITC di Jakarta banyak dijual barang-barang yang ngga perlu. Yang kita cari sebenernya souvenir murah sekitar kaos, gantungan kunci, magnet kulkas, tas tangan dll. Niatnya memang bukan mau belanja sekarang, takutnya ribet bawa belanjaan segambreng. Akhirnya kita cuma mampir ke supermarket untuk survey coklat, keripik atau makanan yang ngga ada di Indo.Niatnya mau liat-liat aja tapi malah nyomot ini itu dan jadinya harus dibayar deh haha... Saya beli keripik durian, keripik kelapa dan beberapa dried fruit. Dudi beli keripik dan jajalan lain (saya lupa dia ambil apa aja, tanya sendiri aja ya) dan Ndah malah beli bumbu dapur haha... Dia kira belanja bulanan kali. Tapi alasan dia super banget "Biar bisa bikin Thai food dirumah". Baiklah kalau begitu.

Coklatnya mahal :'(
Masih ada keripik & dried fruit
Solar dried natural... halah... PISANG SALE!
Khaosan Road
Udah capek jalan seharian kamipun kembali ke hostel. Dari MBK kami keluar dan cari Bus 47 lewat sana. Tapi dasar bandel, udah dibilangin naik bus disini harus di halte. Ndah dan Dudi maksa nunggu di pinggir jalan, ya dilewatin terus sama bus nya haha... Ketemu bus 47, bayar 6,5 baht dan samai lah kami di Khok Wua. Jalan sedikit ketemu Khaosan Road. Karena belum makan malam saya langsung ngeluyur ke dalam KFC. Saya dengan pede nya memesan Nasi dan Ayam. Tapi saya kecewa waktu pesanan saya di tolak. Kok bisa? Padahal kemarin saya beli Nasi dan Ayam goreng oleh pegawai yang sama. Kemarin bisa kenapa sekarang ngga bisa? Saya sempat berdebat sedikit sama leader outlet nya. Dia kekeuh cuma jual yang ada di kartu menu. Malah saya sampe bilang "Yesterday, I can buy Rice and Fried Chicken. You can ask her." sambil nunjuk ke mbak yang satu. Kasian juga sih, tapi ya abisnya dia diem aja ga belain. Karena kecewa dipaksa beli maenu yang ada di kartu, akhirnya saya bilang "Ok, thank you. I'm done!". Saya langsung instruksi yang lain untuk keluar dari sana.

Abang Kebab Ganteng (foto : Ndah)
Yah, masa malam ini ngga makan? Untungnya baru beberapa langkah ada gerobak kebab Turki dan ada tulisan HALAL segede abangnya (ya ga juga sih). Ngga pake mikir langsung nanya harganya cuma 60 Baht. Ok, malam ini saya makan kebab. Cuma saya dan Dudi yang pesan. Ndah ngga mau makan malem katanya takut ndut. Padahal udah saya bujukin "1 kebab ngga apa-apa kali. Apalagi abangnya ganteng tuh, masa ngga beli?" haha... Abangnya mesem-mesem aja, jangan-jangan dia ngerti kita ngomong apa. Selain makan kebab ternyata Dudi masih sanggup jajan coconut ice cream. Dan ternyata rasamya...? Biasa aja katanya hahaha... Waktu makannya ga mikir apa-apa, begitu selesai dia bingung buang sampai batok kelapa nya dimana? FYI, di jalan agak jarang ada tempat sampah umum.




Coconut Ice Cream
Lumayan, kebab 60 baht buat ganjel perut malam ini.
Makan kebab sambil jalan menuju hostel di malam hari yang sepanjang jalan kedengaran ajeb-ajeb tapi mulai sunyi begitu dekat ke hostel. Ya, hostel kami berjarak 300 meter dari pusat ajeb ajeb jadinya bisa tidur nyenyak malam ini. Perut kenyang, kaki pegel, hati senang. Sampai ketemu besok hari di petualangan lebih menantang lagi.