Hari 2: Pemandian Air Panas Tanuhi, Air Terjun Kilat Api, Bendungan Batu Laki -- Pagi ini kami disuguhkan sarapan dan setelahnya langsung menyusun rencana. Bang Yudis kami hubungi untuk menanyakan rencananya. Katanya Bang Yudis, ia dan teman-temannya mau ke Bukit Langara, tapi itu pun mereka harus menunggu satu teman lagi. Maka jelas kami tak bisa mengikuti rencana Bang Yudis.
Ide selanjutnya adalah ke Air Terjun Rampah Menjangan.
Masalah 6: kami tidak punya pemandu jalan. Ansari, keponakanku itu sebenarnya pernah ke sana, namun ia tak hapal jalannya.
Lalu Ansari mengenalkan kami pada tetangganya yang masih seumur SD, atau mungkin SMP, yang sudah tiga kali ke Air Terjun Rampah Menjangan dan dengan mantap mengatakan hapal jalannya.
Masalah 7: anak itu tak punya motor sendiri, siapa yang membawanya? Dua motor kami sudah penuh.
Rencana ke Air Terjun Rampah Menjangan pun terpaksa dibatalkan. Masalah 6 dan masalah 7 teratasi...
Ansari menjelaskan alternatif-alternatif lain. Lalu diputuskanlah: Pemandian Air Panas Tanuhi, Air Terjun Kilat Api, dan bendungan di Desa Batu Laki, kec. Padang Batung.
Lalu tanpa buang waktu lagi kami berangkat ke tujuan pertama kami: Pemandian Air Panas Tanuhi. Tidak sulit menemukannya karena aku sudah pernah sekali ke tempat tersebut. Untuk masuk kami harus membayar retribusi sebesar Rp 3.000,-. Katanya itu tarif anak-anak, tarif dewasa sebenarnya Rp 5.000,-, tapi karena ini bukan akhir pekan tak apalah pakai tarif anak-anak. Saat kami masuk (bahkan sampai kami pulang), pengunjung lain di sana hanya ada dua orang, sepasang suami-istri yang setelah kami berbincang-bincang ternyata sang istri adalah dosen di STIKES Sari Mulia.
Di sini kami mencoba mandi di kolam air panas. Waww... panas sekali. Badan rasanya seperti direbus.
Kami juga mencoba berenang di kolam renang yang saat itu kotor sekali. Kamu tidak bisa protes air kolam renang yang kotor dengan hanya membayar Rp 3.000,-.
Setelah cukup lama di sana, kami berkemas. Di parkiran, sesudah membayar biaya parkir sebesar Rp 5.000,- per motor, aku bertanya pada si penjaga parkir lokasi Air Terjun Kilat Api.
"Ah, dekat sekali. Paling satu menit sampai. Jalan kaki pun bisa."
"Baiknya bagaimana, Mang? Pakai motor atau jalan kaki?" tanyaku.
"Terserah aja. Tapi kalau pakai motor di sana kamu nanti bayar parkir lagi."
Kami pun memutuskan jalan kaki saja.
Waw, sudah 15 menit lebih kami belum juga sampai. Barangkali nilah satu menit versi penduduk sini.
Untuk sampai ke air terjun tersebut kita harus menyeberang sungai. Dulu ada jembatan, namun saat ini jembatan tersebut sudah roboh dan tidak ada lagi. Kami pun berjalan menyeberangi sungai yang dalamnya di atas lutut. Bodohnya kami karena saat itu tidak terpikir menyeberang menggunakan lanting yang sudah disediakan di sana. Akibatnya celana basah sampai ke paha.
Namun semua itu, semua keluhan itu, mendadak sirna saat Air Terjan Kilat Api tampak di depan kami. Yang ada di pikiran hanya tersisa satu: foto-foto.
Setelah puas, barulah kami berjalan kembali ke tempat motor kami diparkir di depan Pemandian Air Panas Tanuhi.
Saat itu sudah tengah hari. Di sebuah warung teh kami mampir untuk mengisi perut. Lalu perjalanan berlanjut. Tri dan dr. Teguh mendahului di depan.
Cukup jauh untuk akhirnya kami menyadari Tri dan dr. Teguh tidak ada lagi di depan kami. Mereka tak mungkin terlalu laju untu hilang dari penglihatan. Satu-satunya hal yang terpikir adalah: mereka salah belok!
Iqbal yang saat itu menyetir di depan kusuruh memutar balik. Di persimpangan, aku menelepon Tri.
"Di mana kalian? Lama sekali kami nunggu tidak ada muncul-muncul?" cerocos Tri langsung di telepon.
"Di mana?! Kalian salah jalan! Cepat, balik!" sahutku.
***
Kami kembali singgah untuk makan nasi, dan sekitar jam 2 siang kami telah kembali ke rumah sepupuku, kami langsung berbaring dan tidur. Capek.
***
Tepat jam 3 sore, aku membangunkan teman-temanku. Masih ada satu spot yang harus didatangi: Bendungan di Desa Batu Laki. Ansari dan adiknya, Ujah, mengantar kami ke lokasi tersebut. Meskipun cukup jauh dan jalan yang tidak begitu mulus, namun hasilnya sungguh luar biasa. Pemandangan di sini sungguh menakjubkan. Dan hebatnya, masih belum banyak yang tahu tempat ini. Tempat sebagus ini.
Biasa, acara foto-foto mengisi waktu di sana.
Kemudian sebelum pulang, kami singgah di jembatan dan kembali foto-foto.
Jam 5 sore, barulah kami kembali ke rumah sepupuku.
Saat kami kembali, sepupuku yang lain sudah menunggu di sana. Sore itu kami kembali disuguhi makan. Aku menambah, nasinya enak sekali.
Selesai makan, barulah kami berpamitan, berterimakasih atas bantuan dan layanannya, serta minta rela jika ada yang salah. Kami pun pulang, mencoba jalan pintas yang ternyata jauh lebih dekat.
Di daerah Rantau, kami kembali singgah di rumah pamanku untuk numpang buang air dan shalat magrib. Di taman Martapura lagi-lagi kami berhenti guna mengistirahatkan sistem muskuloskeletal tubuh kami. Di sini kami cukup lama karena tempatnya yang nyaman. Hingga hampir jam 12 malam barulah perjalanan pulang kami lanjutkan. Jam satu malam kami tiba di Banjarmasin, dengan perasaan senang, capek, dan foto-foto yang siap dipamerkan.
***
Malam Minggu
Pemenang Lomba Selfie dengan Novel Sandi Firly 'Catatan Ayah tentang Cintanya kepada Ibu' diumumkan. Aku tak heran kalau fotoku ternyata menang.
Malam Senin
Kehidupanku kembali berlangsung seperti semula: LP (Laporan Pendahuluan), Askep (asuhan keperawatan), jurnal beserta analisisnya, dan resume keperawatan...[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar