Tampilkan postingan dengan label Catatan Perjalanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Perjalanan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 24 September 2016

Jembatan Panjang Desa Mandi Kapau, Karang Intan, Banjar, Kalimantan Selatan

Jembatan Panjang Desa Mandi Kapau, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar
Jembatan Panjang Desa Mandi Kapau, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar

Desa Mandi Kapau berada di Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Desa ini merupakan desa percontohan di Kabupaten Banjar dan telah berkali-kali menerima penghargaan sebagai desa terbersih. Memang, saat saya ke desa ini sekitar satu bulan yang lalu, nyaris tidak ada sampah yang bertebaran sembarangan. Selain itu, rumah-rumah di desa ini tertata dengan rapi.
Yang menjadi daya pikat desa ini adalah pemandangannya yang memukau. Ada danau dengan airnya yang jernih, dengan lanskap pegunungan di kejauhan. Melengkapi keindahannya, di danau ini terdapat Jembatan Panjang, sebuah jembatan dengan tiang-tiang besi sepanjang kurang lebih 600 M. Dengan pemandangan yang memanjakan mata seperti ini, serta suasananya yang asri, saya rasanya ingin berlama-lama di sini. Dalam hati saya berdoa, semoga suatu saat bisa punya rumah dan tinggal di desa ini. Desa ini semacam desa impian buat saya. Tentu nyaman sekali menghabiskan sore sambil membaca buku dengan pemandangan danau dan gunung yang seperti di negeri dongeng ini.
Jembatan Panjang Desa Mandi Kapau, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar
Jembatan Panjang Desa Mandi Kapau, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar

Jembatan Panjang Desa Mandi Kapau, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar

Jembatan Panjang Desa Mandi Kapau, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar

Senin, 15 Februari 2016

Goa Liang Bangkai, Mentewe, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan

Sebenarnya, perjalananku ke Batulicin tidak ada niat buat jalan-jalan, melainkan karena suatu urusan.

Minggu, 7 Februari 2016. 
Aku berangkat dengan naik taksi (mini bus/L300) dari terminal Km. 6 setelah sebelumnya motor aku titipkan di rumah teman yang tidak jauh dari terminal. Ongkos taksi 85 ribu, dan berangkat ketika jumlah penumpang sudah 11 orang. Jumlah 11 orang itu cukup nyaman, karena artinya di baris belakang hanya ada 3 penumpang untuk setiap barisnya. Tidak sesak.

taksi l300 jurusan batulicin
Perjalanan ke Batulicin kali ini ditemani 'Cerita tentang Rakyat yang Suka Bertanya'
dan tetes-tetes hujan yang mengembun di jendela.

Berangkat pukul 9.30, dan sampai di terminal Batulicin tepat ketika jarum jam menunjuk angka 4. Saat aku sampai di terminal, temanku Tri yang rencananya akan menjemput, saat itu masih ada kesibukan, dan baru bisa menjemput beberapa jam lagi. Nah, ketika di terminal inilah aku menangkap pembicaraan orang lain tentang Hari Imlek. Ah, aku baru sadar, bahwa besok adalah Hari Imlek, yang artinya libur nasional, yang berarti kantor-kantor akan tutup.
Sambil menunggu Tri, aku naik ojek ke Taman Education, taman yang baru selesai dibangun (Tukang ojek tidak familiar dengan nama Taman Edukasi, mereka menyebutnya Taman Pasar Minggu). Taman tersebut cukup ramai, dan semakin sore semakin banyak orang yang nongkrong di taman ini. Aku kurang mengerti di mana letak 'education'-nya, kupikir di sini terdapat taman bacaan, poster-poster berisi ilmu pengetahuan, benda-benda fisika, atau sebagainya. Ternyata hanya ada huruf-huruf berukuran besar.
taman edukasi - education park - taman pasar minggu - batulicin tanah bumbu
Tanah Bumbu Education Park / Taman Pasar Minggu, Batulicin

Ketika Tri datang menjemput, kami ke rumahnya yang ada di Desa Bulurejo, Kecamatan Mentewe. Perjalanan menuju rumah Tri didominasi oleh kebun sawit di kiri-kanan jalan. Kutebak, separo lebih dari Tanah Bumbu isinya adalah kebun sawit! Selain kebun sawit, mataku juga menangkap hal unik, yaitu rumah-rumah warga Hindu dengan ciri khas di pekarangan setiap rumah terdapat bangunan semacam sesembahan dengan bentuk unik. Ini pertama kalinya aku melihat yang seperti ini. Kata Tri, ini adalah perkampungan orang-orang Bali. Sedangkan kata Google, bangunan suci di pekarangan tersebut namanya pelinggih.
Sampai rumah Tri, aku lebih memilih tidur dan istirahat setelah sebelumnya berkenalan dengan kedua orangtua Tri. Perjalanan yang cukup melelahkan.

Senin, 8 Februari 2016.
Karena 'suatu urusan' yang kurencanakan harus ditunda hingga besok, hari ini kami jalan-jalan ke Goa Liang Bangkai (namanya memang cukup menyeramkan). Dari rumah Tri, letak goa ini tidak begitu jauh, masih di kecamatan yang sama. Banyak belokan dan persimpangan yang harus dilewati untuk sampai ke goa ini, tapi kita tidak akan kesulitan untuk menemukannya karena di setiap persimpangan terdapat papan penunjuk.
papan penunjuk arah ke Goa Liang Bangkai
Papan penunjuk arah ke Goa Liang Bangkai

Mendekati goa, kita akan menyaksikan deretan pegunungan dan perbukitan yang seolah seperti dinding raksasa. Goa itu sendiri adalah kaki dari bukit kapur.

perjalanan menuju goa liang bangkai
Perbukitan Kapur yang menghiasi jalan menuju Goa Liang Bangkai

Pintu masuk menuju Goa Liang Bangkai
Pintu masuk menuju Goa Liang Bangkai
meski ada semacam loket, tapi masuknya gratis kok...

Tidak banyak orang ketika kami tiba. Hanya penjaga warung dan beberapa pemandu untuk ke puncak bukit. Kami masuk ke mulut goa, dan beginilah suasana di dalamnya...





Karena saat ini musim hujan, terdapat genangan air yang membuat kami mau tak mau harus menyingsingkan celana agar bisa meneruskan masuk ke dalam goa.
"Kalau tidak musim hujan tidak begini," jelas Tri.
Bagian tengah goa cukup luas, namun sayangnya, seperti kebanyakan goa-goa lainnya yang ada di Kalsel, kondisi dalam goa sangat gelap karena tidak adanya penerangan. Berbeda jauh dengan goa-goa di pulau Jawa yang dikemas lebih baik oleh pemerintah daerahnya.
Di tengah goa juga tampak sebuah lubang yang menghubungkan dengan goa bagian bawah. Sayangnya goa di bagian bawah tersebut sedang tergenang air. Padahal, kata Tri, di bawah sana cukup luas.
"Seperti kerajaan," katanya. Entahlah.
Lubang menuju goa bagian bawah
Lubang menuju goa bagian bawah
Hanya yang bernyali tinggi yang berani masuk

Dan inilah ujung goa, yaitu bagian belakang dari bukit tadi.


Selesai foto-foto, kami keluar. Minum dan menyantap mie instan di warung. Pada anak laki-laki penjaga warung, Tri bertanya rute ke puncak bukit tersebut. Si anak laki-laki menjelaskan, dan mengatakan bersedia mengantarkan kami ke puncak kalau mau.
Maka usai makan dan minum, kami berangkat ke puncak.
Bagian pertama dari rute pendakian adalah tebing yang sangat-sangat curam, dengan kemiringan 90 derajat! (Ini bukan miring lagi namanya) Meskipun ada tali tambang untuk melewati tebing tersebut, aku tetap ragu. Tapi akhirnya kupegang juga tali tambang itu, dan mulai mendaki. Masa aku kalah dengan anak SMP?
Rute ke puncak diwarnai dengan batu cadas, tebing curam, dahan-dahan pohon, akar, dan goa (namanya Goa Kayangan, kalau tidak salah). Goa itu sendiri bercabang-cabang, jadi jika tidak ada pemandu jangan coba-coba mendaki, kalau tidak ingin tersesat.
Si anak SMP yang memandu kami tampak sangat lincah mendaki tanjakan, berbeda jauh denganku yang setiap langkah diiringi keragu-raguan.

Langit tampak mendung sejak kami tiba di sini, dan saat kami hampir sampai puncak, tetes-tetes hujan mulai berjatuhan satu persatu. Kami berhenti. Tidak ada tempat berteduh di tempat kami berhenti, hanya ada pohon-pohon kecil yang tidak akan mempan menghalau guyuran air hujan. Kami sempat memutuskan untuk turun saat itu, namun berubah keputusan dan melanjutkan pendakian. Sialnya, semakin ke atas, rute semakin mengerikan. Sangat curam, dan nyaris tidak ada pijakan. Jika jatuh dari tempat setinggi ini, aku tidak yakin apakah nyawaku masih betah tinggal di tubuh. Ditambah dengan hujan, membuat pijakan menjadi licin dan pandangan tidak begitu jelas. Sepertinya, ke puncak bukit ini benar-benar bukan ide yang baik.

Tapi, dengan perlahan-lahan, serta semangat yang dipaksa-paksakan, akhirnya kami sampai di puncak. Beberapa foto sempat kami ambil dengan terburu-buru, sebelum kemudian hujan menjadi sangat deras, dan HP segera kami sembunyikan agar tidak terlalu basah.


Ada sensasi aneh ketika berada di puncak. Sensasi yang sama setiap kali berada di puncak manapun, yaitu sensasi ingin foto-foto narsis.
Beberapa menit duduk di puncak, berlindung dari serbuan hujan di bawah pohon kecil yang sama sekali tidak membantu, serta dengan kondisi hujan yang tidak ada sedikit pun tanda-tanda akan berhenti dalam waktu singkat, kami pun turun. Perjalanan turun ternyata jauh lebih mengerikan ketimbang saat naik.
Di dalam goa, kami berhenti sejenak untuk mengistirahatkan lutut yang kelelahan. Lalu kembali turun, dengan rute yang berbeda dengan rute saat naik. Kata si pemandu, rute tersebut kalau untuk turun lebih enak, meski lebih jauh.
Sampai di bawah, kami memberi uang pada si anak SMP yang memandu kami, lalu kami pulang. Dan langit masih saja menumpahkan hujan.
Jalan-jalan kali ini, lebih banyak bahayanya, sebenarnya, daripada senangnya.

Selasa, 9 Februari 2016
Kami menyelesaikan urusan kami hari ini. Saat pulang ke rumah Tri, kami mampir di sebuah Pura dan foto-foto di sana. Seorang teman mengira aku sedang di Bali saat foto ini kujadikan pic BBM.
pura di kecamatan mentewe, tanah bumbu
Pura di kecamatan Mentewe, Tanah Bumbu

pura di kecamatan mentewe, tanah bumbu

Janur kuning tampak menghias di setiap depan rumah warga Hindu. Kata warga sekitar, besok adalah Hari Galungan, makanya meriah. Aku menyimpulkan umat Hindu adalah orang-orang kreatif yang memiliki cita rasa seni yang tinggi.
Perjalananku ke Batulicin kali ini sepertinya memberikan cukup banyak pengalaman baru.

Sabtu, 05 Desember 2015

Backpackeran Keliling Jawa (5)

Sabtu, 3 Oktober 2015
Aktivitas pagi dimulai dengan menemani Mas Jamal mengirim pesanan buku, dilanjutkan sarapan nasi pecel di warung, kemudian menuju tugu paling legendaris di Surabaya, patung pertarungan ikan sura dan buaya.

patung sura buaya - surabaya

Setelah itu meluncur ke  Jembatan Suramadu dengan bantuan Google Map, maklum, si Om Buku hanya tahu rute-rute yang ada hubungannya dengan buku. (^_^)v
Saat menaiki jembatan, saya benar-benar senang karena akhirnya tiba di atas jembatan terpanjang di Indonesia ini. Sementara saya kesenangan, Mas Jamal ketakutan setengah mati karena phobia ketinggian, ditambah laut yang bergelombang jauh di bawah kami.
jembatan suramadu - surabaya
jembatan suramadu - surabaya

Turun dari Jembatan Suramadu, kami mampir di warung es kelapa di pinggir jalan. Si pemilik warung jelas orang Madura asli. "Pokoknya rugi, kalau ke Madura tidak makan bebek Sinjay!" demikian kata si pemilik warung.
Perjalanan pun dilanjutkan. Dan kami sampai di Rumah Makan Bebek Goreng Sinjay!
rumah makan bebek goreng sinjay

Bebek goreng Sinjay terkenal memang bukan tanpa alasan. Rasa daging bebeknya, ditambah bumbu-bumbu rahasianya, benar-benar membuat lidah dimanjakan. Ini makan siang yang luar biasa.
Usai menyantap bebek goreng paling enak se-Indonesia, saya dan Mas Jamal melanjutkan petualangan ke ibu kota Madura, Bangkalan. Bukan untuk apa-apa, sekadar main Ingress, haha..
Tidak lama kemudian kami balik ke Surabaya. Mampir sebentar di Monumen Kapal Selam.
monumen kapal selam - surabaya

Mampir lagi di Gedung Balai Pemuda Surabaya karena saat itu kebetulan ada event Surabaya Book Fair 2015. Selesai melihat semua stand, saya dan Mas Jamal sepakat: nyaris tidak ada buku-buku "bagus" (sebenarnya semua buku adalah bagus, hanya saja tidak ada yang sesuai selera kami). Di samping itu, pengunjung dan peserta pameran tidak seramai dan sebanyak pameran buku di Banjarmasin ataupun Banjarbaru.
Selanjutnya saya diantar Mas Jamal ke Taman Bungkul. Katanya, taman ini dinobatkan sebagai taman terbaik se-Asia. Entahlah... Di sini kami keliling-keliling dan menikmati segelas jus segar.
Karena waktu keberangkatan pesawat pukul 5.50 PM, Taman Bungkul adalah tempat terakhir yang saya singgahi di Surabaya sebelum ke Bandara Juanda. Di depan Bandara Juanda, saya pamitan dengan Mas Jamal.
Terimakasih banyak Mas, atas waktunya menemani saya selama di Surabaya, atas tenaga dan bensinnya untuk menjemput dan mengantar saya jalan-jalan, untuk nginapnya, untuk makan dan minumnya, untuk buku dan kaos yang sampean kasihkan cuma-cuma buat saya, serta atas obrolan-obrolan mengasyikkannya. Semoga nanti ketemu lagi ya...

Pesawat delay. Nyaris pukul setengah 10 malam barulah saya tiba kembali di Kalimantan, Bandara Syamsudin Noor. Duan datang menjemput dan mengantar saya ke rumahnya. Di rumahnyalah saya sebelumnya menitipkan motor karena tidak jauh dengan bandara. Di rumah Duan saya disuguhkan makan malam, dan ia juga bilang bahwa kerusakan di motor saya (rusaknya sudah lama) sudah ia perbaiki dengan bantuan temannya. Saya sangat berterimakasih. Semoga kamu tidak jera membantu saya, Duan.
Malam itu juga saya pulang ke rumah dengan badan yang, anehnya, terasa tidak lelah...

(Selesai)

Backpackeran Keliling Jawa (4)

Jumat, 2 Oktober 2015
Pagi ini Dhea mengantar saya ke salah satu halte Trans Semarang. Kami berpisah. Terimakasih banyak dik Dhea, saya tahu kamu rela membolos kuliah demi menemani kakak... Sampaikan juga terimakasih Kakak ke Nenek karena bersedia menampung dan menemani ngobrol.


Saya naik Trans Semarang menuju Stasiun Tawang. Bus bergerak. Penumpang baru diminta bayar. Saya mengeluarkan uang 100 ribuan karena memang hanya lembaran itu yang tersisa di dompet. Petugas bis meminta uang kecil saja, karena tidak ada kembaliannya. Saya bilang tidak ada, dan bertanya lalu bagaimana. Si petugas menjawab terpaksa saya harus turun di halte berikutnya. Oh, ya sudah, tidak apa, jawab saya.
Saat inilah saya kembali bertemu orang baik. Seorang ibu-ibu tua (namun masih belum cukup tua untuk dipanggil nenek-nenek) mengeluarkan uang 5000an.
"Ini, masnya saya aja yang bayarin. Nanti lain kali bawa uang kecil ya.."
Saya berterimakasih banyak, dan menjelaskan bahwa ini pertama kalinya saya naik Trans Semarang sehingga belum tahu.
"Emang masnya dari mana?"
"Dari Kalimantan, Bu. Banjarmasin."
Saya mungkin tidak bisa membalas kebaikan ibu itu, tapi semoga saja saya diberi Tuhan kemudahan untuk memudahkan orang-orang seperti yang ibu itu lakukan.
Saya sampai di Stasiun Tawang. Jadwal kereta jam 12 siang. Masih ada banyak waktu. Saya jalan-jalan ke kawasan kota lama yang letaknya tak jauh dari stasiun. Di sana ada pasar barang-barang antik. Sayangnya, saya ke sini bukan untuk belanja, melainkan murni jalan-jalan. Jadi tak ada satu pun benda yang saya beli. Haha...



Satu jam sebelum waktunya berangkat, saya ditemui mas Cahyo, agen Resist Semarang yang dengan baik hati memberi saya banyak PK anchor.
Juga memberi banyak kenang-kenangan lain: gantungan kunci logo resist yang dibuat dengan printer 3D dan stiker-stiker keren. Kami berbagi kisah tentang pengalaman bermain Ingress di daerah masing-masing. Kemudian Mas Cahyo mengantar saya ke stasiun. Hatur nuwun, Mas Cahyo... Semoga lain waktu bisa ketemu lagi.

Tidak seperti pesawat yang sering delay, kereta selalu berangkat tepat waktu. Sehingga tanpa menunggu lama, saya sudah berada dalam kereta yang melesat melintasi batas provinsi. Sore hari, saya telah tiba di Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Seperti kata Mas Jamal, dekat stasiun ini terdapat pasar buku bekas (banyak juga sih buku baru, dan banyak juga buku bajakan). Sembari menunggu Mas Jamal menjemput, saya jalan-jalan ke pasar buku untuk melihat-lihat (kali ini iman saya jebol karena ketemu buku Agatha Christie dengan harga hanya 5.000,-).
pasar buku - surabaya

Ketika Mas Jamal tiba, saya diajak ke Kampung Ilmu yang tak jauh dari sana. Kampung Ilmu juga merupakan pasar buku dengan komoditi yang variatif. Inilah tempat wisata-nya Mas Jamal, penggila buku itu. Ia tidak tahu tempat-tempat wisata di Surabaya, tidak tertarik, dan minta antar dia ke sana mungkin akan tersesat. Tapi coba saja tanya di mana tempat buku-buku bagus dan langka bisa diperoleh, ia akan dengan lancar menyebutkannya satu demi satu.
Ia salah satu makhluk spesies langka yang saat ini mulai punah keberadaannya.
Setelah menandaskan segelas es teh di warung yang berada tepat di tengah-tengah Kampung Ilmu, Mas Jamal mengantar saya ke rumahnya. Di rumah Mas Jamal, saya dijamu makan malam dan, tentunya, disuguhi pemandangan tumpukan buku hampir di setiap sudut yang jumlahnya ribuan. Kesemuanya adalah buku-buku bermutu yang sebagian besar sudah sangat sulit ditemukan. Hebat... hebat...
Malam itu saya tidur dikelilingi buku dan mimpi berenang di lautan buku.

(Bersambung)


Backpackeran Keliling Jawa (3)

Kamis, 1 Oktober 2015
Berdasar usulan Dhea, pagi ini perjalanan dimulai dengan tujuan Candi Gedong Songo di daerah Bandungan. Sekitar 40 menit kami sampai di tujuan setelah melewati jalan yang terus menanjak.
Candi Gedong Songo adalah sembilan candi hindu yang letaknya menyebar di sebuah gunung. Sehingga untuk bisa melihat dari dekat kesemua candi pengunjung harus mendaki dan mengitari gunung tersebut. Namun sayangnya candi yang masih berdiri hanya tersisa lima. Untuk masuk ke wilayah Candi Gedong Songo pengunjung hanya perlu membayar 15.000,-

Ada dua alternatif untuk sampai ke semua candi, yaitu dengan jalan kaki atau menunggang kuda. Kami memilih yang pertama supaya lebih sehat, bukan, maksudnya supaya lebih hemat.
candi gedong songo - semarang

Sampai di candi kedua, napas kami sudah tersengal-sengal, mungkin karena jarang olahraga. Beruntungnya, sepanjang pendakian mata terus disuguhi pemandangan bukit indah. Dan saya tidak akan menyerah sampai semua candi sudah didatangi.
candi gedong songo - semarang

candi gedong songo - semarang

candi gedong songo - semarang

candi gedong songo - semarang

candi gedong songo - semarang

Sampai siang terik, selesai juga akhirnya pendakian itu. Kami kembali ke rumah nenek Dhea untuk makan dan istirahat.
Menjelang sore hari, kami ke Pagoda Avalokitesvara Buddhagaya Watugong sekadar untuk foto-foto (bukan untuk sembahyang).
pagoda watugong - semarang

pagoda watugong - semarang

Selesai foto-foto di Pagoda Watugong, perjalanan dilanjutkan ke Lawang Sewu. Katanya, ini tempat wajib yang harus didatangi bila ke Semarang. Merupakan bangunan tua dengan pintu (lawang) yang  jumlahnya tak terhitung karena saking banyaknya, sehingga dinamakan Lawang Sewu (begitulah barangkali). Sayangnya, beberapa ruangan ditutup karena ada renovasi, termasuk gedung yang ada ruang bawah tanah yang katanya angker karena dulu digunakan sebagai penjara dan tempat penyiksaan. Saat ini Lawang Sewu lebih sebagai museum kereta api.
lawang sewu - semarang

lawang sewu - semarang

lawang sewu - semarang

Puas foto-foto, kami ke stasiun membeli tiket kereta untuk keesokan harinya menuju Surabaya, lalu balik ke rumah nenek Dhea. Numpang makan dan numpang tidur. Hari ini cukup melelahkan...

Jumat, 27 November 2015

Backpackeran Keliling Jawa (2)

Selasa, 29-9-2015
Jam 4 subuh kereta yang saya tumpangi tiba di Stasiun Tugu, Jogja. Masih terlalu dini untuk ke mana-mana. Hingga pukul 6 pagi barulah saya keluar stasiun. Langit Jogja segera menyambut saya. Saya hirup udara pagi dalam-dalam, kemudian mulai berjalan kaki.
Tidak lama berjalan kaki, saya sudah sampai di jalan Malioboro. Saat dulu ke sini ketika malam, dan ternyata Malioboro di pagi hari sangat berbeda. Namun yang tetap sama adalah tukang becak, bentor, dan delman yang dengan gigih menawarkan jasanya.
"Lima ribu aja mas, keliling-keliling Malioboro sampai Kraton. Dari tadi belum ada narik Mas. Ayo Mas, gimana, Mas?" tawar seorang tukang bentor.
Mendengar 'belum ada narik' hati saya tergerak. Ini mengubah rencana awal saya. Padahal saya cuma ingin jalan kaki saja.
Di atas bentor, kami ngobrol.

"Nanti nginapnya di mana Mas?"
"Belum tahu, Pak." Sebenarnya saya berencana nginap di kost teman saya saat di pesantren dulu, Ihsan, tapi dia belum saya hubungi, jadi belum tahu adalah jawaban yang saya pikir tepat.
"Nah, kalau mau saya carikan penginapan bisa mas, saya carikan yang murah. Mau yang kamar mandi di dalam, atau kamar mandi di luar, ada. Murah-murah, Mas."
"Gak usah Pak, nanti aja nyari penginapannya."
Tukang bentor terdiam. Lalu setelah beberapa saat, "Maaf ya Mas, ini terserah Mas aja. Tapi kalau menurut saya baiknya cari penginapan pagi, baru jalan-jalan. Soalnya kalau sore nanti kehabisan kamar, Mas."
Saat itu saya tidak tahu, bahwa kalimat itu ternyata senjata pamungkas si bapak. Saya percaya.
"Harga penginapannya berapaan, Pak?"
"Beda-beda Mas, yang seratus ada, seratus dua lima ada, seratus lima puluh ada. Nanti ditanya-tanya aja dulu."
Dan itulah yang terjadi berikutnya, kami mendatangi beberapa penginapan untuk menanyakan harga, akhirnya ketemu dengan harga 100.000,-/malam dengan kamar mandi di dalam. Sekian jam kemudian saya nantinya tahu bahwa meski sampai malam pun kita tidak akan kehabisan penginapan, apalagi di hari bukan weekend, dan bahwa ketika tukang becak/bentor/delman membawa pelanggan ke penginapan, mereka mendapat persenan. Dan saya cukup menyesal, karena ketika saya mengabari Ihsan bahwa saya di Jogja, ia langsung menawarkan kostnya sebagai tempat menginap. 100.000,- di sini benar-benar berharga, kawan.
Pagi itu saya mandi, sarapan gudeg, lalu naik bus Trans Jogja di halte Malioboro. Hanya dengan 3.600,- kita bisa keliling-keliling Jogja dengan bus ini. Tujuan pertama di Jogja adalah Candi Borobudur, yah... meskipun sebenarnya Borobudur sudah masuk Jawa Tengah, bukan Jogja lagi. Tapi tentu tidak lengkap bila ke Jogja tidak ke candi Budha terbesar di dunia itu.
Perlu berganti jalur untuk sampai ke Terminal Jombor. Dari Terminal Jombor, saya naik bis jurusan Borobudur, tarifnya 20.000,-. Tiba di terminal Borobudur, masih sekitar 500 meter lagi untuk sampai ke lokasi candi. Saya ingin jalan kaki, tapi matahari sedang panas-panasnya, sementara saya tidak mengenakan jaket. Maka saya memutuskan naik ojek.
Sampai di halaman candi pun, masih perlu berjalan cukup jauh untuk benar-benar sampai di candi. Harga tiket masuk Candi Borobudur adalah 40.000,-
Saat masuk, saya berbarengan dengan seorang laki-laki yang kira-kira baru punya anak satu.
Ia menyapa saya. "Mas sendirian?"
"Iya, Mas?"
"Sama, saya juga sendirian."
"Ya udah, kita barengan aja."
"Ah, syukurlah. Tadi saya bingung ada nggak yang motoin kalo sendirian ke sini."
Kami berkenalan. Menyebut nama dan asal masing-masing. Ternyata ia seorang dokter, dan seperti saya, baru pertama kali ke Borobudur.
"O iya, Mas, kalo pulangnya nanti mau ikut saya naik motor, bisa. Soalnya saya bawa helm dua."
Alhamdulillah! Pekik saya dalam hati.
candi borobudur - jawa tengah
candi borobudur - jawa tengah

candi borobudur - jawa tengah


candi borobudur - jawa tengah


Kembali ke Jogja, saya dijemput Ihsan. Dengan motornya, kami jalan-jalan ke Candi Prambanan. Seperti Candi Borobudur, untuk masuk Candi Prambanan pun perlu membayar tiket seharga 40.000,-
candi prambanan - yogyakarta - jogja
candi prambanan - yogyakarta - jogja


candi prambanan - yogyakarta - jogja

Malamnya, saya dijemput agent Resist Jogja dan diajak kumpul-kumpul di basecamp mereka. Mereka pun ngasih saya invent level 8 yang cukup banyak, dan yang paling penting adalah PK-PK anchor pulau Jawa.
basecamp agen ingress resistance jogjakarta

"Sudah makan gudeg, Mas?" tanya salah seorang agen.
Saya jawab sudah.
"Nah, berarti Mas sudah ke Jogja."

Rabu, 30-9-2015
Pagi hari kedua di Jogja saya jalan kaki dari penginapan menuju Shoping, pasar buku terbesar di Jogja. Sayangnya, di sini saya hanya lihat-lihat. Tidak ada jatah untuk beli buku.
Agak siang, Ihsan menjemput. Dengan berjalan kaki kami jalan-jalan ke Taman Pintar, lalu ke Museum Vredeburg. Selanjutnya, Ihsan mengantar saya ke terminal Jombor.

museum vredeburg - jogja - yogyakarta

museum vredeburg - jogja - yogyakarta

taman pintar - jogja - yogyakarta

Terimakasih banyak, Ihsan. Sejak di pondok dulu saya sudah curiga, jangan-jangan kamu bukan manusia, tapi malaikat.

Dari terminal Jombor, saya naik bis jurusan Semarang dengan membeli tiket seharga 45.000,-
Malam hari saya tiba di Semarang, dan dijemput 'adik' saya yang cantik, Dhea (bukan adik kandung). Saya menginap di rumah neneknya, berisitirahat untuk perjalanan besok yang pasti menyenangkan. Selamat malam, Semarang!

Bersambung...