Jumat, 2 Oktober 2015
Pagi ini Dhea mengantar saya ke salah satu halte Trans Semarang. Kami berpisah. Terimakasih banyak dik Dhea, saya tahu kamu rela membolos kuliah demi menemani kakak... Sampaikan juga terimakasih Kakak ke Nenek karena bersedia menampung dan menemani ngobrol.
Saya naik Trans Semarang menuju Stasiun Tawang. Bus bergerak. Penumpang baru diminta bayar. Saya mengeluarkan uang 100 ribuan karena memang hanya lembaran itu yang tersisa di dompet. Petugas bis meminta uang kecil saja, karena tidak ada kembaliannya. Saya bilang tidak ada, dan bertanya lalu bagaimana. Si petugas menjawab terpaksa saya harus turun di halte berikutnya. Oh, ya sudah, tidak apa, jawab saya.
Saat inilah saya kembali bertemu orang baik. Seorang ibu-ibu tua (namun masih belum cukup tua untuk dipanggil nenek-nenek) mengeluarkan uang 5000an.
"Ini, masnya saya aja yang bayarin. Nanti lain kali bawa uang kecil ya.."
Saya berterimakasih banyak, dan menjelaskan bahwa ini pertama kalinya saya naik Trans Semarang sehingga belum tahu.
"Emang masnya dari mana?"
"Dari Kalimantan, Bu. Banjarmasin."
Saya mungkin tidak bisa membalas kebaikan ibu itu, tapi semoga saja saya diberi Tuhan kemudahan untuk memudahkan orang-orang seperti yang ibu itu lakukan.
Saat inilah saya kembali bertemu orang baik. Seorang ibu-ibu tua (namun masih belum cukup tua untuk dipanggil nenek-nenek) mengeluarkan uang 5000an.
"Ini, masnya saya aja yang bayarin. Nanti lain kali bawa uang kecil ya.."
Saya berterimakasih banyak, dan menjelaskan bahwa ini pertama kalinya saya naik Trans Semarang sehingga belum tahu.
"Emang masnya dari mana?"
"Dari Kalimantan, Bu. Banjarmasin."
Saya mungkin tidak bisa membalas kebaikan ibu itu, tapi semoga saja saya diberi Tuhan kemudahan untuk memudahkan orang-orang seperti yang ibu itu lakukan.
Saya sampai di Stasiun Tawang. Jadwal kereta jam 12 siang. Masih ada banyak waktu. Saya jalan-jalan ke kawasan kota lama yang letaknya tak jauh dari stasiun. Di sana ada pasar barang-barang antik. Sayangnya, saya ke sini bukan untuk belanja, melainkan murni jalan-jalan. Jadi tak ada satu pun benda yang saya beli. Haha...
Satu jam sebelum waktunya berangkat, saya ditemui mas Cahyo, agen Resist Semarang yang dengan baik hati memberi saya banyak PK anchor.
Juga memberi banyak kenang-kenangan lain: gantungan kunci logo resist yang dibuat dengan printer 3D dan stiker-stiker keren. Kami berbagi kisah tentang pengalaman bermain Ingress di daerah masing-masing. Kemudian Mas Cahyo mengantar saya ke stasiun. Hatur nuwun, Mas Cahyo... Semoga lain waktu bisa ketemu lagi.
Tidak seperti pesawat yang sering delay, kereta selalu berangkat tepat waktu. Sehingga tanpa menunggu lama, saya sudah berada dalam kereta yang melesat melintasi batas provinsi. Sore hari, saya telah tiba di Stasiun Pasar Turi, Surabaya. Seperti kata Mas Jamal, dekat stasiun ini terdapat pasar buku bekas (banyak juga sih buku baru, dan banyak juga buku bajakan). Sembari menunggu Mas Jamal menjemput, saya jalan-jalan ke pasar buku untuk melihat-lihat (kali ini iman saya jebol karena ketemu buku Agatha Christie dengan harga hanya 5.000,-).
Ketika Mas Jamal tiba, saya diajak ke Kampung Ilmu yang tak jauh dari sana. Kampung Ilmu juga merupakan pasar buku dengan komoditi yang variatif. Inilah tempat wisata-nya Mas Jamal, penggila buku itu. Ia tidak tahu tempat-tempat wisata di Surabaya, tidak tertarik, dan minta antar dia ke sana mungkin akan tersesat. Tapi coba saja tanya di mana tempat buku-buku bagus dan langka bisa diperoleh, ia akan dengan lancar menyebutkannya satu demi satu.
Ia salah satu makhluk spesies langka yang saat ini mulai punah keberadaannya.
Setelah menandaskan segelas es teh di warung yang berada tepat di tengah-tengah Kampung Ilmu, Mas Jamal mengantar saya ke rumahnya. Di rumah Mas Jamal, saya dijamu makan malam dan, tentunya, disuguhi pemandangan tumpukan buku hampir di setiap sudut yang jumlahnya ribuan. Kesemuanya adalah buku-buku bermutu yang sebagian besar sudah sangat sulit ditemukan. Hebat... hebat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar