Minggu, 22 Januari 2012

Gadis Kaca

Semua persiapan sudah lengkap. Aku benar-benar siap menemui kekasihku Dina hari ini. Rambut sudah kusisir bergaya belah tengah. Begitu licin, karena sebelumnya kuolesi minyak rambut orang aring yang kuminta dari adik perempuanku. Wajahku sendiri sudah kubersihkan sebersih-bersihnya ketika mandi tadi. Tidak tanggung-tanggung, dengan jeruk nipis! Jenggot dan kumis yang tumbuh tipis itu juga sudah kucukur hati-hati dengan silet sampai tidak ada yang terlihat lagi.
Pakaianku juga tak kalah sempurna. Bajunya ialah baju kaos warna biru bertuliskan “Belabong” yang kubeli minggu lalu di Pasar Jumat dengan uang hasil kerjaku mengangkut rumput-rumput basah di sawah milik Haji Rusman selama sepekan (masih ada sisa uang, dan itu kumasukkan dalam dompet karena uang itu hari ini pasti sangat diperlukan). Wangi toko dari baju tersebut masih jelas tercium, benar-benar masih baru. Bahkan labelnya baru tadi kulepaskan. Sementara celana yang kukenakan adalah celana jeans pemberian Paman Jalal saat lebaran bulan lalu. Celana ini juga baru pertama kali kupakai, karena alasan masih sayang. Walaupun sepertinya celana ini sudah pernah dipakai Paman Jalal beberapa kali, namun pasti tak sampai lama karena kekecilan. Sebagai pelengkap, dengan minyak harum yang biasa kupakai untuk ke Mesjid kuusap-usapkan ke pakaianku. Aroma wangi semerbak menyeruak.

Tidak hanya itu. Sandal kulit bekas milik Ayah yang kemudian beliau berikan padaku juga tak kalah sempurna. Meski sudah lama (namun anehnya masih awet), sandal itu tampak lebih ‘muda’ dari usianya. Kemarin, selama hampir dua jam aku menyikatnya pakai deterjen.
Kuperiksa kembali dompet yang kumasukkan di saku belakang celanaku, siapa tahu ada yang terlupa. SIM, STNK, KTP, serta uang 50.000 rupiah masih utuh berada di dalamnya. Lengkap. Di saku yang lain juga sudah ada HP untuk memberitahukan Dina nanti bila aku sudah sampai di depan kostnya. Sengaja aku tidak memberitahu dia sebelumnya, biar surprise! Hehe…
Kemudian kuraih kunci motor yang bergantung di tiang samping pintu kamar. Setelah itu kuambil helm milik Ayah karena punya beliau lebih baru dari helm milikku sendiri, dan kebetulan hari ini Ayah tidak keliling jual-beli ayam. Kukeluarkan motor dari dalam rumah. Entah, berapa lamakah aku kemarin membersihkan motor butut ini hingga tampak begitu mengkilap. Sengaja aku membeli shampo untuk membersihkan motor ini. Bensinya masih banyak, karena motor ini jarang dipakai. Setelah beberapa kali mencoba, barulah motor tersebut berhasil hidup.
Ah, aku melupakan satu hal: jaket! Bisa terbakar kulit tanganku bila ke Banjarmasin tidak pakai jaket. Aku kembali ke dalam rumah lalu memakai jaket yang kulipat dalam lemari. Jaket lama dan sudah lusuh, tidak ada yang istimewa. Tapi tak apa, jaket ini nantinya juga akan kulepas bila nanti sudah dekat kost Dina. Nah, berarti semuanya sudah beres, tinggal berangkat! Aku pamit dengan orangtua. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya aku akan menemui pacarku karena aku cuma bilang mau ke rumah teman, bahkan mereka tak tahu bahwa aku sudah punya pacar. Haha..
Dari rumahku di Gambut menuju kostnya Dina di Banjarmasin kira-kira 20 kilometer, lumayan jauh. Sepanjang jalan motorku mengaum-ngaum sembari memuntahkan banyak asap. Membayangkan nanti bertemu Dewi rasanya sungguh indah sekali. “Yang, aku di depan kostmu,” demikian SMS yang akan kukirim padanya nanti saat sudah tiba di kostnya yang tentu akan membuatnya kelabakan. Haha… Kubayangkan nanti ia akan marah-marah kecil karena sebelumnya tak memberitahu mau datang, segera kukatakan padanya kalau aku sudah kangen, lalu setelah itu ia akan tersenyum manja. Kuajaklah ia jalan-jalan, terserah ia maunya ke mana. Oh, indah sekali… Kiri-kanan yang kulalui rasanya hanya taman bunga dengan bunganya yang bermekaran dan berwarna-warni dihinggapi kupu-kupu. Dan daun-daunnya adalah puisi.

***

Aku sudah sampai di seberang gedung Sultan Suriansyah. Kost Dina ada di belakang gedung bundar tersebut. Aku salah karena dari tadi tidak mengambil sisi kanan sehingga harus menunggu jalan agak lengang agar bisa menyeberang. Dan itu cukup lama.
Di samping kiri ada toko buku “Azhar”. Toko buku, ah, iya… Dina suka membaca novel, aku sebaiknya membawakannya sebuah novel. Pertemuan istimewa ini harus benar-benar sempurna. Tapi, tunggu dulu, uang di dompetku cuma 50 ribu. Nanti aku harus mengajak Dina makan siang, setidaknya perlu 25 ribu untuk itu. Itu pun mungkin kurang. Ah, tapi itu gampang diatur. Kalau perlu aku tidak perlu ikut makan, cukup dia seorang. Bila dia bertanya, akan kujelaskan bahwa tadi sudah makan di rumah. Hm, berarti cuma ada jatah 25 ribu rupiah untuk beli novel. Memangnya ada novel harganya segitu? Biarlah, dicoba saja dulu cari, siapa tahu ada.
Kuurungkan niat menyeberang jalan lalu berbelok ke sebelah kiri dan mengambil tempat parkir. AC di toko buku ini seketika menyergap gerahku. Aku tertegun mengamati satu persatu buku yang dipajang. Toko ini tidak terlalu besar, namun buku-bukunya sungguh banyak. Cukup bingung mencari buku yang tepat. Di rak buku-buku fiksi aku berhenti. Jeli kuamati satu persatu buku di sana. Bukan judulnya yang pertama kali kulihat, melainkan harganya. Setelah cukup lama, aku mendapatkan 4 buku yang masuk ‘nominasi’, novel yang lumayan bagus (kira-kira) dengan harga tidak lebih dari 25 ribu rupiah. Sepertinya buku-buku itu adalah buku lama yang belum juga terjual sehingga harganya beringsut turun. Dengan pertimbangan yang cukup lama, kuputuskan memilih novel berjudul “Gadis Kaca”. Sepasang mata bening milik Dina serta kulitnya yang mulus tak mungkin kulupakan. Itulah yang membuatku berpikir novel ini sangat cocok untuknya.
“Gadis Kaca” tadi kuserahkan ke kasir lalu membayarnya dan berjalan ke arah parkir. Tidak begitu lama, aku sudah menyeberang dan berada di depan gedung Sultan Suriansyah. Di sambing gedung itu ada komplek Kayu Tangi Satu, lewat sanalah untuk sampai ke kost Dina. Dengan dua kali berbelok ke kiri dan satu kali ke kanan, kini aku sudah berada tepat di depan kostnya. Di depan kostnya! Tak bisa dipercaya, rasanya tubuhku masih berada di perjalanan, namun ini benar-benar nyata. Walau ini baru kali yang kedua aku ke sini, dan yang pertama itu adalah 2 bulan yang lalu, namun aku masih ingat betul akan kost dengan dinding bercat hijau muda ini. Pun masih jelas ingatanku akan pohon jambu biji di depan kostnya itu. Sekali lagi kuyakinkan diriku bahwa ini benar-benar kostnya, dan seketika itu pula rasa gugup menyerang persendianku. Rasanya tubuhku kaku. Aku sedikit gemetaran. Tapi segera tersadar dan mengeluarkan ponsel dari saku celana.
Seperti yang sudah ada dalam rencana, SMS berbunyi “Yang, aku di depan kostmu” segera kukirim ke nomornya. Bayangan bagaimana terkejutnya ia saat membaca SMS itu kembali hadir.
Kutunggu beberapa menit, belum juga SMS itu mendapat balasan. Aku mulai gelisah. Sementara di tangan kananku sudah siap sebuah novel berjudul Gadis Kaca. Ah, mungkin ia lagi sibuk, atau mungkin pula tertidur. Tertidur, ya, mungkin saja ia lagi tidur siang. Berarti aku harus menelponnya agar ia bangun. Tak sulit mencari namanya di daftar kontak, karena setiap hari kami memang selalu SMS-an. Kutelpon, cukup lama, tapi tidak diangkat. Kucoba lagi, dan hasilnya sama. Berkali-kali kucoba kembali, tapi hasilnya masih sama. Aku kesal. Namun kekesalan itu segera pupus saat terbayang bagaimana hebohnya nanti ia saat tahu aku di depan kostnya. Aku harus bersabar.
Sudah menit yang ke-40, dan Dina masih saja tidak memberi respon. Entah di mana ia sekarang. Aku menyerah. Kuhidupkan motor. Tapi buru-buru motor itu kumatikan lagi ketika dering ponsel mengejutkanku. Ada SMS. Kubaca SMS itu: “Maaf yang, aku lagi di rumah teman. Kok kamu gak bilang-bilang mau ke kost?”
Sigap kubalas. “Kapan balik ke kost?”
“Aku menginap, mungkin besok baru balik. Maaf…” Demikian balasnya segera. Huh, sial!
Pikiranku segera kalut. Dadaku sesak. Berbagai perasaan berjejalan di sana. Aku bingung apa yang harus kulakukan selanjutnya. Tanpa membalas SMS-nya barusan, kujalankan motor ke taman siring di depan Mesjid Raya Sabilal Muhtadin. Aku harus menenangkan pikiran. Ia pun tak lagi mengirim SMS demi menunjukkan kesungguhan permintaan maafnya. Yah, mungkin dia memang tak salah, sehingga tak semestinya bersungguh-sungguh minta maaf. Namun aku kecewa, sangat kecewa, apalagi jika mengingat bagaimana persiapan yang kulakukan untuk pertemuan ini. Tak bisakah ia membatalkan rencananya menginap di rumah teman dan segera pulang ke kost, menemui aku, pacarnya?! Atau akukah yang terlalu egois?

***

Tidak banyak taman yang bisa dijadikan tempat menghabiskan waktu di kota Banjarmasin yang sesak ini. Dari yang sedikit itu, taman siring di depan Mesjid Raya Sabilal Muhtadin adalah yang terbaik. Dari sana bisa melihat sungai Martapura dengan riak-riaknya yang memesona. Perahu-perahu bermesin dan perahu biasa berseliweran. Tak ketinggalan pula enceng gondok. Damai rasanya hati berlama-lama melihat sungai tersebut dan burung elang yang melayang-layang di atasnya. Perlahan kedongkolan itu menguap meski tak bisa hilang sepenuhnya dari hati. Hari sudah sore, dan langit mulai jingga. Warnanya memantul di air sungai yang beriak-riak. Sore yang keruh.
Lumayan lama aku menghabiskan waktu di tempat ini. Novel Gadis Kaca kupegang dan kutimang-timang. Semua tulisan yang ada di covernya sudah habis kubaca. Dina juga tetap tak mengirim SMS, seolah kejadian ini hanyalah perkara sepele. Ah, kenapa aku kembali mempermasalahkan ini! Bukankah tadi aku sudah mencoba melupakannya?! Ini kesalahanku sendiri karena tak memberitahunya dulu sebelum berangkat ke kostnya.
Sudahlah, aku harus segera pulang. Nanti orangtuaku marah bila aku pulang terlalu malam. Aku beranjak menuju motor yang tadi kuparkir di pinggir jalan. Seorang yang sepertinya penjaga parkir menghampiriku. Kuserahkan selembar uang ribuan padanya. Sudah sore begini rupanya siring semakin ramai saja, tentunya parkir juga semakin sesak.
Sebuah motor segera berhenti di dekatku, pasti ia ingin menempati parkir yang tadi kutempati. Di atas motor sepasang pemuda. Begitu mesranya, yang cewek masih memeluk cowoknya dari belakang meski motor itu telah berhenti. Ah, aku dan Dina tak pernah semesra itu. Selama empat bulan ini kami cuma pernah bertemu dua kali, selebihnya kami hanya pacaran lewat SMS!
Sepasang kekasih itu melepas helm mereka. Seketika novel Gadis Kaca terlepas dari peganganku dan membentur aspal. Aku tak kenal dengan laki-laki itu, namun merasa kenal dengan perempuan di belakangnya, juga mata beningnya. Jantungku berpacu kencang, menciptakan gemuruh di seluruh dada.
Bip bip bip…
Suara HP menyadarkanku dari keterpatungan. Kubuka SMS yang masuk itu. Dari Dina, benar, dari Dina, bagaimana bisa? Kuamati perempuan yang baru datang tadi sekali lagi. Lebih lama. Ah, rupanya dia bukan Dina! Agak mirip, namun ada perbedaan di wajahnya. Syukurlah…
Perhatianku kembali ke layar HP.
“Kamu di mana? Masih di Banjarmasin nggak? Ini aku sudah pulang ke kost, nggak jadi nginap.”
Kembali aku tertegun. Mencerna kembali apa yang sudah terjadi hari ini. Cukup lama aku menerawang, sebelum akhirnya mengambil keputusan. Kupungut novel Gadis Kaca yang tadi terjatuh. Di kepalaku berkelebatan mata beningnya. Hm, sepertinya aku akan pulang larut malam. [ ]

(Nominasi Lomba Cerpen Diva Press Your Chemical Romance 2011)
(Love Autumn, Diva Press, 2012)

Rabu, 18 Januari 2012

Saya dan Kayuh Baimbai

Komunitas Blogger Kayuh BaimbaiEntahlah, saya tidak terlalu percaya dengan kata-kata bijak. Hidup terlalu rumit untuk hanya dimaknai dengan kalimat-kalimat pendek. Tapi sepertinya, saya mau tak mau percaya dengan kalimat (bijak) yang ini: sesuatu yang mudah kau dapat, maka akan mudah pula hilang, dan sesuatu yang sulit kau dapat, maka akan sulit pula hilang. Saya juga tidak tahu siapa yang pertama mengemukakan kalimat tersebut, terpujilah ia.
Ya, mendapatkan. Komunitas Blogger Kayuh Baimbai seperti selembar cek yang saya dapatkan dengan susah payah, bukan selebaran-selebaran produk yang banyak dibagi-bagikan di pinggir jalan.

Waktu itu, tahun 2008, syarat menjadi anggota Kayuh Baimbai adalah ikut kopdar minimal sekali seumur hidup. Saya yang waktu itu masih awal-awal menjadi blogger, dan ingin tahu lebih banyak mengenai blog. Barangkali itulah motivasi saya waktu itu kenapa ingin bergabung di Kayuh Baimbai. Namun itu bukan hal mudah, karena waktu itu saya masih seorang santri Al Falah, yang artinya keluar dari lingkungan pondok adalah sesuatu yang sangat susah.
Saya tidak akan bercerita bagaimana kemudian saya akhirnya bisa melewati pagar pondok, dan kemudian ikut kopdar pertama saya yang waktu itu di Radio Star FM. Setelah saya resmi jadi anggota, saya kemudian rutin ikut kopdar yang diadakan. Seiring itu, motivasi saya yang mulanya ingin menambah pengetahuan tentang blog, berubah menjadi ingin menambah teman sebanyak-banyaknya, lalu berubah menjadi loyalitas. Ya, dengan loyalitas, tanpa peduli apa yang akan saya dapat, saya masih menjadi bagian dari Kayuh Baimbai sampa sekarang. Saya sadar, loyalitas itulah gunanya berorganisasi, apa pun itu. Itulah yang mungkin membuat saya bagaimanapun caranya selalu hadir pada setiap pertemuan yang diadakan, sampai sekarang saat saya bukan lagi sebagai santri.
Di Kayuh Baimbai, saya menemukan dunia saya, menemukan teman-teman yang seperti saudara, menemukan orang-orang luar biasa, menemukan kebersamaan yang tidak hanya diumbar dengan kata-kata, dan menemukan momen-momen yang tidak akan terlupa.
Banyak sekali yang ingin saya ceritakan tentang Kayuh Baimbai dan saya, saat ultah pertama di halaman Plasa Telkom, saat di museum, saat di Mandiangin, saat kopdar di rumah saya, saat berburu durian ke Biih, dan banyak lagi. Tapi saya bukan orang yang pandai bercerita, dan saya khawatir itu akan mengurangi tingkat dramatisnya. Maka biarlah, semuanya itu cukup direkam dalam kepala, karena itu adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa dilupakan.
Selamat ulang tahun yang ke-4 untuk Kayuh Baimbai. Kita masih di hulu, sejauh apa pun muara, dan seluas apa pun lautan nantinya, mengayuh bersama kalian selalu mencipratkan rasa bahagia.[]

Senin, 16 Januari 2012

Buku-buku Puisi Murah di Bawah 20.000

Buku-buku puisi dijamin murah, di bawah 20 ribu semuanya! Buruan pesan, stoknya terbatas :)
Pemesanan SMS ke 085248613969 dengan format: Judul # Jumlah # Nama # Alamat lengkap



Judul: Pistol Air (Parodi tentang Orang yang Ingin Bunuh Diri dengan Pistol Air)
Kategori: Antologi Puisi
Penulis: M. Nahdiansyah Abdi
Penerbit: Tahura Media
ISBN: 979175622-8
Tebal: xvi + 118 halaman
Ukuran: 13 x 19 cm
Harga: Rp. 11.000,-

Sinopsis:
Mengerti kalau hidup cuma sekali
Mengerti kalau sesudah tikungan itu
mungkin garis akhir duduk menanti
Kita pura-pura tak kenal
berpikir mungkin ada yang tertinggal
dan berancang-ancang mengambilnya kembali
Katakanlah, unggunan api yang telah mati
atau perjalanan itu sendiri
atau CO2 yang pucat pasi

Terlambat. Musiknya sudah dimainkan
Riang, cepat, satir.
_________________________________________

Judul: Alangkah Tolol Patung Ini
Kategori: Kumpulan Puisi
Penulis: Faisal Kamandobat
Penerbit: Olongia
ISBN: 978-979-15622-5-6
Tebal: 134 halaman
Ukuran: 12,5 x 19
Harga: Rp. 15.000,-

Sinopsis:
Alangkah tolol patung ini
membiarkan matahari lewat begitu saja
seandainya aku membuat siang
dari lampu neon
ia tak tahu bahwa itu mustahil

bagaimana menjadi manusia
kalau tak tahu terbuat dari debu?
telah kucipta jasadnya dari tanah
tapi patung ini tak juga
menjelma diriku
_________________________________________

Judul: Paus Merah Jambu
Kategori: Kumpulan Puisi
Penulis: Zen Hae
Penerbit: Akar Indonesia
ISBN: 979-998383-5
Tebal: x + 115 halaman
Ukuran: 13 x 19,5 cm
Harga: Rp. 19.500,-

Sinopsis:
Semua sajak dalam kumpulan ini pernah terbit di sejumlah koran, majalah sastra, dan jurnal kebudayaan. Namun, demi kepentingan buku ini sajak-sajak tersebut telah mengalami penyunting di sana-sini. Malah, saking asyiknya si pengarang menyunting, mengobrak-abrik larik dan bait, menambah larik dan bait baru, mengubah tipografi, ada satu-dua sajak yang berubah jadi sajak yang baru.
_________________________________________

Judul: Rumah Hujan
Kategori: Antologi Puisi
Penulis: Budy Utamy
Penerbit: Frame Publishing
ISBN: 978-979-168491-x
Tebal: xxiv + 102 halaman
Ukuran: 13 x 19,5 cm
Harga: Rp. 15.000,-

Endorsement:
Filsuf Martin Meidegger ketika membicarakan sajak-sajak Friedrich Holderlin mengatakan bahwa puisi ialah istilah institusi makhluk bernama kata-kata. Jadi dari pernyaaan itu dapatlah disimpulkan bagaimana penting dan kardinalnya kedudukan kata-kata dalam kehidupan ini. Institusi atau pelembagaan yang terdiri dan bernama kata-kata itulah yang membina seluruh rumah yang diberi nama oleh penyairnya (Budy Utamy) sebagai Rumah Hujan.
(Hasan Junus, Budayawan)
_________________________________________

Judul: Penunggang Kuda Negeri Malam
Kategori: Antologi Puisi
Penulis: Ahda Imran
Penerbit: Akar Indonesia
ISBN: 979168482-0
Tebal: 148 halaman
Ukuran: 13 x 19,5 cm
Harga: Rp. 19.500,-

Endorsement:
Membaca puisi-puisi Ahda Imran, kita seperti dihadapkan pada rangkaian peristiwa yang melompat-lompat. Ia menertawakan beragam tema yang dipintal dalam belitan merafora. Maka, segala yang berserak--hujan, sungai, ikan, air, rambut, handphone, arloji atau apa pun--di depan mata, serempak menjelma larik-larik asosiatif yang memaksa saklar imajinasi kita bergentayangan menjelajah peristiwa dalam puisi. Ahda Imran laksana hendak mewartakan apapun ketika segala peristiwa menciptakan kegelisahan yang mempesona yang serta-merta menggerakkan sentuhan estetiknya (aesthetic contact). Puisi-puisinya menjadi saluran sublimasi yang mengasyikhanyutkan. (Maman S. Mahayana, kritikus)

Pada kebanyakan sajak Ahda Imran saya masih merasakan jejak-jeka pantun Melayu, terutama dalam kemerduan bunyi dan ketertiban bentuk, serta ia sangat sadar pada irama. Dengan kata lain, penyair berdarah Minang yang besar di Cimahi ini tidak tercerabut dari akar tradisi leluhurnya, bahkan ikut memperkaya tradisi dengan caranya sendiri. (Acep Zamzam Noor, penyair)
_________________________________________

Judul: Hujan Meminang Badai
Kategori: Kumpulan Puisi
Penulis: Tri Astoto Kodarie
Penerbit: Akar Indonesia
ISBN: 979-9983-88-6
Tebal: xxviii + 124 halaman
Ukuran: 13 x 19,5 cm
Harga: Rp. 15.000,-

Endorsement:
Inilah buku terlengkap dan terutuh dari catatan demi catatan seorang penyair yang amat setia dengan pilihannya. (Maman S. Mahayana, Dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia)
_________________________________________

Judul: Luka Tunggal Sang Pencinta (karya sastra Amerika Latin pertama yang diterjemahkan langsung dari bahasa Spanyol)
Kategori: Antologi Puisi, Terjemah
Penulis: Alejandra Pizarnik
Penerbit: Sadasiva
ISBN: 979-98637-4-1
Tebal:
Ukuran:
Harga: Rp. 15.000,-

Sinopsis:
ini hari kau pandangi diri di cermin
dan pilu - kau sendiri
cahaya meraung udara bernyanyi
tapi kekasihmu tak kembali
...
kau dengar peluit tergila yang mencurinya
kapal bercambang buih
di mana telah tumpas tawa
kau kenangkan pelukan terakhir

Endorsement:
Huruf Alejandra begitu mungil, bagaikan jalan semut dan untaian kalung pasir yang sangat halus. Tapi benang itu, yang teramat ringan, tak akan pernah tersaput, adalah seutas benang bercahaya untuk menyelam dan keluar dari labirin. (Enrique Molina)

Mendedahkan sehimpun kesedihan yang meluluhkan hati. Puisi-puisi paling pilu yang pernah ditulis. (Susana Haydu)
_________________________________________

Judul: Malaikat Hutan Bakau
Kategori: Antologi Puisi
Penulis: Kilang Sastra Batu Karaha (Ariffin Noor Hasby, Dwi Putri Ananda, Eza Thabry Husano, Hamami Adaby, M. Yandi, Hajriansyah, Imraatul Jannah, Lieta Dwi Novianti, Zurriyati Rosyida, M. Nahdiansyah Abdi, Nurul Azmi LS, Miftahuddin Munidi, Reza Anshari Azmi, Nina Idhiana, Hudan Nur, Nsnie Retno Nurwardayaningsih, Shah Kalana Lailla Haji, Sigit Bagus Prabowo, Yuniar M. Ary
Penerbit: Tahura Media
ISBN: 979175627-9
Tebal:
Ukuran: 14 x 20 cm
Harga: Rp. 18.000

Sinopsis:
pada burung-burung yang menulis sunyi batu
kusimpan sayapku:
sehelai perjalanan yang tak terpeta
di mana-mana
tetapi telah kubaca
setiap belantara yang menolaknya

sebelum kau tiba
pada nyala api tubuhmu sendiri
aku bayangkan sayapku menjelma puisi
yang membasuh sungai-sungai
yang mengalir dari batinmu

terbanglah bersama angin, katamu
sebelum ia kehilangan ingatan
pada pohon-pohon yang berubah
jadi air dan batu pada esok hari
_________________________________________

Judul: Buku Harian Pejalan Tidur
Kategori: Antologi Puisi
Penulis: M. Nahdiansyah Abdi
Penerbit: Tahura Media
ISBN:
Tebal: vi + 64 halaman
Ukuran: 13,5 x 20 cm
Harga: Rp. 19.500,-

Rabu, 11 Januari 2012

Alhamdulillah...

Alhamdulillah, setelah cerpen saya dengan judul "Tugas Mengarang" berhasil masuk nominasi dalam Lomba Cerpen dengan Tokoh Utama Pelajar dan dibukukan dalam atologi cerpen Melodi Cinta Putih Abu-abu (Leutika Prio), cerpen berjudul "Lelaki yang Terus Menangis" juga menyusul menjadi nominasi dalam Lomba Cerpen Peran Orangtua di Balik Kesuksesan Anak dan juga dibukukan dalam antologi cerpen Hadiah Kecil untuk Orangtua (Hasfa Publishing).

Kemudian, alhamdulillah, cerpenku yang berjudul "Gadis Kaca" kembali menjadi nominasi dalam Lomba Cerpen Your Chemical Romance yang diadakan Penerbit Diva Press. Cerpen tersebut akan diterbitkan oleh Diva Press bersama cerpen-cerpen nominasi yang lain dengan judul Love Autumn pada bulan Januari ini.
Dan....alhamdulillah....baru-baru tadi, cerpenku lagi-lagi menjadi nominasi, tepatnya juara harapan 3, dalam Kontes Cerpen Radar Banjarmasin dan MGR. Cerpen yang kuikutkan lomba tersebut berjudul "Secangkir Kopi Air Mata" dan juga akan dibukukan oleh penerbit Mingguraya Press.
Hwah...ternyata ikut lomba cerpen itu mengasyikkan :) Terimakasih untuk kawan-kawan yang terus memberikanku doa dan support untuk selalu berkarya.

hadiah kecil untuk orangtua love autumn

Minggu, 01 Januari 2012

Sherlock Holmes : A Game of Shadow (2011)

Akhirnya penantian para penggemar Sherlock Holmes terjawab di akhir tahun 2011. Walaupun saya menonton film ini agak telat 2 minggu (1 Januari 2012) tapi setidaknya saya masih belum ketinggalan. Masih dimainkan oleh Robert Downey Jr. (Sherlock Holmes) dan Jude Law (Dr. Watson) yang menampilkan duet acting yang memukau. Walaupun saya agak kecewa karena actress favorit saya Rachel McAdams (Irene Adler) hanya bermain beberapa menit saja. Sebaiknya Anda menonton sendiri kenapa bisa sampai begitu takut nanti spoiler.

Masih berlatar belakang Inggris jaman baheula (ya iyalah, Sherlock Holmes kan memang settingnya tahun 1800an) tapi nantinya akan berpindah dari 1 negara ke negara lain. Saya merasakan masalahnya yang sangat kompleks melebihi film terdahulunya. Saya yakin bagi Anda yang terlewat setidaknya 10 menit diawal pasti akan sedikit bingung menjelang klimaks filmnya. Dan agaknya lebih sedikit drama dibandingkan dengan aksi di film ini. Bukan Warner Bros namanya kalau tidak membuat visual effect yang spektakuler. Mulai dari super zoom layaknya film CSI dan effect Twixtor ditampilkan disini. Andai saja saya menonton versi 3D nya pasti dapat menyempurnakan pengalaman menonton saya.

Kembali ke ceritanya, dari awal Anda akan di paksa menelan semua teori dan gambar-gambar yang belum Anda mengerti untuk apa. Tapi sejalan dengan ceritanya, semua terungkap. Pastikan Anda memperhatikan setiap detilnya dan rubahlah rasa bosan Anda menjadi rasa penasaran. Walaupun sejujurnya saya masih bisa menikmati seri pertamanya, tapi setidaknya saya dihibur oleh visual effect dan sound effect memukau lainnya. Dengan ini saya memberikan nilai 7,8/10 : Recommended untuk dikoleksi.