Semua persiapan sudah lengkap. Aku benar-benar siap menemui kekasihku Dina hari ini. Rambut sudah kusisir bergaya belah tengah. Begitu licin, karena sebelumnya kuolesi minyak rambut orang aring yang kuminta dari adik perempuanku. Wajahku sendiri sudah kubersihkan sebersih-bersihnya ketika mandi tadi. Tidak tanggung-tanggung, dengan jeruk nipis! Jenggot dan kumis yang tumbuh tipis itu juga sudah kucukur hati-hati dengan silet sampai tidak ada yang terlihat lagi.
Pakaianku juga tak kalah sempurna. Bajunya ialah baju kaos warna biru bertuliskan “Belabong” yang kubeli minggu lalu di Pasar Jumat dengan uang hasil kerjaku mengangkut rumput-rumput basah di sawah milik Haji Rusman selama sepekan (masih ada sisa uang, dan itu kumasukkan dalam dompet karena uang itu hari ini pasti sangat diperlukan). Wangi toko dari baju tersebut masih jelas tercium, benar-benar masih baru. Bahkan labelnya baru tadi kulepaskan. Sementara celana yang kukenakan adalah celana jeans pemberian Paman Jalal saat lebaran bulan lalu. Celana ini juga baru pertama kali kupakai, karena alasan masih sayang. Walaupun sepertinya celana ini sudah pernah dipakai Paman Jalal beberapa kali, namun pasti tak sampai lama karena kekecilan. Sebagai pelengkap, dengan minyak harum yang biasa kupakai untuk ke Mesjid kuusap-usapkan ke pakaianku. Aroma wangi semerbak menyeruak.
Tidak hanya itu. Sandal kulit bekas milik Ayah yang kemudian beliau berikan padaku juga tak kalah sempurna. Meski sudah lama (namun anehnya masih awet), sandal itu tampak lebih ‘muda’ dari usianya. Kemarin, selama hampir dua jam aku menyikatnya pakai deterjen.
Kuperiksa kembali dompet yang kumasukkan di saku belakang celanaku, siapa tahu ada yang terlupa. SIM, STNK, KTP, serta uang 50.000 rupiah masih utuh berada di dalamnya. Lengkap. Di saku yang lain juga sudah ada HP untuk memberitahukan Dina nanti bila aku sudah sampai di depan kostnya. Sengaja aku tidak memberitahu dia sebelumnya, biar surprise! Hehe…
Kemudian kuraih kunci motor yang bergantung di tiang samping pintu kamar. Setelah itu kuambil helm milik Ayah karena punya beliau lebih baru dari helm milikku sendiri, dan kebetulan hari ini Ayah tidak keliling jual-beli ayam. Kukeluarkan motor dari dalam rumah. Entah, berapa lamakah aku kemarin membersihkan motor butut ini hingga tampak begitu mengkilap. Sengaja aku membeli shampo untuk membersihkan motor ini. Bensinya masih banyak, karena motor ini jarang dipakai. Setelah beberapa kali mencoba, barulah motor tersebut berhasil hidup.
Ah, aku melupakan satu hal: jaket! Bisa terbakar kulit tanganku bila ke Banjarmasin tidak pakai jaket. Aku kembali ke dalam rumah lalu memakai jaket yang kulipat dalam lemari. Jaket lama dan sudah lusuh, tidak ada yang istimewa. Tapi tak apa, jaket ini nantinya juga akan kulepas bila nanti sudah dekat kost Dina. Nah, berarti semuanya sudah beres, tinggal berangkat! Aku pamit dengan orangtua. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya aku akan menemui pacarku karena aku cuma bilang mau ke rumah teman, bahkan mereka tak tahu bahwa aku sudah punya pacar. Haha..
Dari rumahku di Gambut menuju kostnya Dina di Banjarmasin kira-kira 20 kilometer, lumayan jauh. Sepanjang jalan motorku mengaum-ngaum sembari memuntahkan banyak asap. Membayangkan nanti bertemu Dewi rasanya sungguh indah sekali. “Yang, aku di depan kostmu,” demikian SMS yang akan kukirim padanya nanti saat sudah tiba di kostnya yang tentu akan membuatnya kelabakan. Haha… Kubayangkan nanti ia akan marah-marah kecil karena sebelumnya tak memberitahu mau datang, segera kukatakan padanya kalau aku sudah kangen, lalu setelah itu ia akan tersenyum manja. Kuajaklah ia jalan-jalan, terserah ia maunya ke mana. Oh, indah sekali… Kiri-kanan yang kulalui rasanya hanya taman bunga dengan bunganya yang bermekaran dan berwarna-warni dihinggapi kupu-kupu. Dan daun-daunnya adalah puisi.
***
Aku sudah sampai di seberang gedung Sultan Suriansyah. Kost Dina ada di belakang gedung bundar tersebut. Aku salah karena dari tadi tidak mengambil sisi kanan sehingga harus menunggu jalan agak lengang agar bisa menyeberang. Dan itu cukup lama.
Di samping kiri ada toko buku “Azhar”. Toko buku, ah, iya… Dina suka membaca novel, aku sebaiknya membawakannya sebuah novel. Pertemuan istimewa ini harus benar-benar sempurna. Tapi, tunggu dulu, uang di dompetku cuma 50 ribu. Nanti aku harus mengajak Dina makan siang, setidaknya perlu 25 ribu untuk itu. Itu pun mungkin kurang. Ah, tapi itu gampang diatur. Kalau perlu aku tidak perlu ikut makan, cukup dia seorang. Bila dia bertanya, akan kujelaskan bahwa tadi sudah makan di rumah. Hm, berarti cuma ada jatah 25 ribu rupiah untuk beli novel. Memangnya ada novel harganya segitu? Biarlah, dicoba saja dulu cari, siapa tahu ada.
Kuurungkan niat menyeberang jalan lalu berbelok ke sebelah kiri dan mengambil tempat parkir. AC di toko buku ini seketika menyergap gerahku. Aku tertegun mengamati satu persatu buku yang dipajang. Toko ini tidak terlalu besar, namun buku-bukunya sungguh banyak. Cukup bingung mencari buku yang tepat. Di rak buku-buku fiksi aku berhenti. Jeli kuamati satu persatu buku di sana. Bukan judulnya yang pertama kali kulihat, melainkan harganya. Setelah cukup lama, aku mendapatkan 4 buku yang masuk ‘nominasi’, novel yang lumayan bagus (kira-kira) dengan harga tidak lebih dari 25 ribu rupiah. Sepertinya buku-buku itu adalah buku lama yang belum juga terjual sehingga harganya beringsut turun. Dengan pertimbangan yang cukup lama, kuputuskan memilih novel berjudul “Gadis Kaca”. Sepasang mata bening milik Dina serta kulitnya yang mulus tak mungkin kulupakan. Itulah yang membuatku berpikir novel ini sangat cocok untuknya.
“Gadis Kaca” tadi kuserahkan ke kasir lalu membayarnya dan berjalan ke arah parkir. Tidak begitu lama, aku sudah menyeberang dan berada di depan gedung Sultan Suriansyah. Di sambing gedung itu ada komplek Kayu Tangi Satu, lewat sanalah untuk sampai ke kost Dina. Dengan dua kali berbelok ke kiri dan satu kali ke kanan, kini aku sudah berada tepat di depan kostnya. Di depan kostnya! Tak bisa dipercaya, rasanya tubuhku masih berada di perjalanan, namun ini benar-benar nyata. Walau ini baru kali yang kedua aku ke sini, dan yang pertama itu adalah 2 bulan yang lalu, namun aku masih ingat betul akan kost dengan dinding bercat hijau muda ini. Pun masih jelas ingatanku akan pohon jambu biji di depan kostnya itu. Sekali lagi kuyakinkan diriku bahwa ini benar-benar kostnya, dan seketika itu pula rasa gugup menyerang persendianku. Rasanya tubuhku kaku. Aku sedikit gemetaran. Tapi segera tersadar dan mengeluarkan ponsel dari saku celana.
Seperti yang sudah ada dalam rencana, SMS berbunyi “Yang, aku di depan kostmu” segera kukirim ke nomornya. Bayangan bagaimana terkejutnya ia saat membaca SMS itu kembali hadir.
Kutunggu beberapa menit, belum juga SMS itu mendapat balasan. Aku mulai gelisah. Sementara di tangan kananku sudah siap sebuah novel berjudul Gadis Kaca. Ah, mungkin ia lagi sibuk, atau mungkin pula tertidur. Tertidur, ya, mungkin saja ia lagi tidur siang. Berarti aku harus menelponnya agar ia bangun. Tak sulit mencari namanya di daftar kontak, karena setiap hari kami memang selalu SMS-an. Kutelpon, cukup lama, tapi tidak diangkat. Kucoba lagi, dan hasilnya sama. Berkali-kali kucoba kembali, tapi hasilnya masih sama. Aku kesal. Namun kekesalan itu segera pupus saat terbayang bagaimana hebohnya nanti ia saat tahu aku di depan kostnya. Aku harus bersabar.
Sudah menit yang ke-40, dan Dina masih saja tidak memberi respon. Entah di mana ia sekarang. Aku menyerah. Kuhidupkan motor. Tapi buru-buru motor itu kumatikan lagi ketika dering ponsel mengejutkanku. Ada SMS. Kubaca SMS itu: “Maaf yang, aku lagi di rumah teman. Kok kamu gak bilang-bilang mau ke kost?”
Sigap kubalas. “Kapan balik ke kost?”
“Aku menginap, mungkin besok baru balik. Maaf…” Demikian balasnya segera. Huh, sial!
Pikiranku segera kalut. Dadaku sesak. Berbagai perasaan berjejalan di sana. Aku bingung apa yang harus kulakukan selanjutnya. Tanpa membalas SMS-nya barusan, kujalankan motor ke taman siring di depan Mesjid Raya Sabilal Muhtadin. Aku harus menenangkan pikiran. Ia pun tak lagi mengirim SMS demi menunjukkan kesungguhan permintaan maafnya. Yah, mungkin dia memang tak salah, sehingga tak semestinya bersungguh-sungguh minta maaf. Namun aku kecewa, sangat kecewa, apalagi jika mengingat bagaimana persiapan yang kulakukan untuk pertemuan ini. Tak bisakah ia membatalkan rencananya menginap di rumah teman dan segera pulang ke kost, menemui aku, pacarnya?! Atau akukah yang terlalu egois?
***
Tidak banyak taman yang bisa dijadikan tempat menghabiskan waktu di kota Banjarmasin yang sesak ini. Dari yang sedikit itu, taman siring di depan Mesjid Raya Sabilal Muhtadin adalah yang terbaik. Dari sana bisa melihat sungai Martapura dengan riak-riaknya yang memesona. Perahu-perahu bermesin dan perahu biasa berseliweran. Tak ketinggalan pula enceng gondok. Damai rasanya hati berlama-lama melihat sungai tersebut dan burung elang yang melayang-layang di atasnya. Perlahan kedongkolan itu menguap meski tak bisa hilang sepenuhnya dari hati. Hari sudah sore, dan langit mulai jingga. Warnanya memantul di air sungai yang beriak-riak. Sore yang keruh.
Lumayan lama aku menghabiskan waktu di tempat ini. Novel Gadis Kaca kupegang dan kutimang-timang. Semua tulisan yang ada di covernya sudah habis kubaca. Dina juga tetap tak mengirim SMS, seolah kejadian ini hanyalah perkara sepele. Ah, kenapa aku kembali mempermasalahkan ini! Bukankah tadi aku sudah mencoba melupakannya?! Ini kesalahanku sendiri karena tak memberitahunya dulu sebelum berangkat ke kostnya.
Sudahlah, aku harus segera pulang. Nanti orangtuaku marah bila aku pulang terlalu malam. Aku beranjak menuju motor yang tadi kuparkir di pinggir jalan. Seorang yang sepertinya penjaga parkir menghampiriku. Kuserahkan selembar uang ribuan padanya. Sudah sore begini rupanya siring semakin ramai saja, tentunya parkir juga semakin sesak.
Sebuah motor segera berhenti di dekatku, pasti ia ingin menempati parkir yang tadi kutempati. Di atas motor sepasang pemuda. Begitu mesranya, yang cewek masih memeluk cowoknya dari belakang meski motor itu telah berhenti. Ah, aku dan Dina tak pernah semesra itu. Selama empat bulan ini kami cuma pernah bertemu dua kali, selebihnya kami hanya pacaran lewat SMS!
Sepasang kekasih itu melepas helm mereka. Seketika novel Gadis Kaca terlepas dari peganganku dan membentur aspal. Aku tak kenal dengan laki-laki itu, namun merasa kenal dengan perempuan di belakangnya, juga mata beningnya. Jantungku berpacu kencang, menciptakan gemuruh di seluruh dada.
Bip bip bip…
Suara HP menyadarkanku dari keterpatungan. Kubuka SMS yang masuk itu. Dari Dina, benar, dari Dina, bagaimana bisa? Kuamati perempuan yang baru datang tadi sekali lagi. Lebih lama. Ah, rupanya dia bukan Dina! Agak mirip, namun ada perbedaan di wajahnya. Syukurlah…
Perhatianku kembali ke layar HP.
“Kamu di mana? Masih di Banjarmasin nggak? Ini aku sudah pulang ke kost, nggak jadi nginap.”
Kembali aku tertegun. Mencerna kembali apa yang sudah terjadi hari ini. Cukup lama aku menerawang, sebelum akhirnya mengambil keputusan. Kupungut novel Gadis Kaca yang tadi terjatuh. Di kepalaku berkelebatan mata beningnya. Hm, sepertinya aku akan pulang larut malam. [ ]
(Nominasi Lomba Cerpen Diva Press Your Chemical Romance 2011)
(Love Autumn, Diva Press, 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar