Jumat, 21 Agustus 2015

Chappie (2015)

Sepertinya film ini terlewat dari agenda nonton saya di bulan Maret 2015 dan baru sempat menontonnya di bulan Agustus 2015. Dari judulnya yang agak lucu ini saya kira dulunya ini film komedi norak, makanya saya melewatkannya. Tapi tanpa sengaja saya melihat trailernya di Youtube, dan jelas-jelas ini bukan film komedi, walaupun ada sisi lucunya yang menurut saya lucu yang brilliant.

Beruntunglah saya mendapat copy film ini dan menontonnya di rumah saya. Sebelum menontonnya saya juga sempat mengecek imdb dulu (seperti biasa supaya ngga keewa membuang waktu 2 jam sia-sia). Dengan rating di angka 7 adalah nilai yang layak untuk di tonton. Dan beberapa warning bahasa kasar dan sadisme tentunya membuat saya ngga bisa sembarangan nonton film ini di ruang tamu.

Menurut saya, ceritanya agak aneh dan jauh diluar nalar. Saya ngga akan membocorkan bagian anehnya dimana, lihat aja di akhir filmnya. Sepertinya si pembuat film District 9 (Neill Blomkamp) suka membuat cerita nyeleneh tapi nyentil. Dia pernah berandai di film District 9 bagaimana rasanya hidup damai bersama alien, dan di film ini kita disugukan ide gila lainnya yaitu bagaimana kita bisa memanfaatkan robot sebagai polisi. Ya memang ide ini mirip dengan film i-Robots, Robocop atau film yang sci-fi lainnya, tapi hey... saya udah bilang ceritanya nyeleneh tapi nyentil kan?

Hampir sama dahsyatnya film ini seperti District 9, di film ini kita juga disuguhkan gambar epic dan sound effect menggelegar yang sayang kalo cuma nonton di TV. Agak berbeda dengan District 9 yang menggambarkan sisi kumuh Afrika Selatan, disini lebih tergambar bagian Afrika Selatan (Johannesburg) yang lebih baik walaupun masih banyak bagian yang menggambarkan sisi kumuhnya. Berbeda dengan film superhero ala Hollywood, disini terlihat lebih natural dan ngga dibuat-buat walaupun saya balik lagi bilang cerita agak aneh dan jauh diluar nalar. Sepertinya 2 jam Anda ngga akan sia-sia nonton ini bareng teman-teman yang suka film sci-fi.

Walaupun saya agak kurang setuju dengan ide ceritanya, tapi saya masih bisa menikmati konten di film ini. Dengan itu saya memberi nilai : 7,8/10 (Cocok untuk koleksi)

Birdman (2015)

Ngga banyak film yang saya tonton di awal tahun 2015 ini, tapi entah kenapa saya penasaran dengan film Birdman. Apakah karena iming-iming Oscar Best Picture? Mungkin aja. Sebenarnya di negara asalnya, film ini diputar pada akhir tahun 2014 lalu, tapi ngga tau kenapa kok lama sekali sampai ke sini? (masuk ke Indo baru bulan April 2015).

Di menit awal nonton ini ngga ada ekspektasi apa-apa sih, karena memang belum tau juga akan kemana jalan ceritanya. Tapi lama kelamaan jadi makin penasaran sama ceritanya. Bukan cuma ceritanya yang bikin penasaran, tapi juga angle dan pengambilan gambar yang "seolah" diambil dalam 1 shot disetiap scenenya, atau malah 1 film terlihat seolah tanpa putus (maaf kalo agak spoiler, semoga tidak).

Mungkin untuk penonton awam terlihat ini film yang agak membosankan, karena dari setiap kejadian diceritakan berjalan begitu aja. Tapi tanpa kita sadari kita akan terbawa suasana cerita yang memang mengalir dan membuat kita masuk ke dalam film itu. Kekuatan karakter dan akting dari para pemainnya sungguh mengagumkan dan saya harus mengacungkan 2 jempol. Saya jarang melihat film yang dilakukan continous shot sepanjang ini. Biasanya mereka hanya sanggup 5 - 10 menit, tapi ini sepanjang film? Ya, walaupun (saya tau) ini cuma trik supaya seolah film ini continous shot sepanjang film tapi nyatanya ngga. Bagaimana saya tau? Menurut pengamatan saya (loh kok jadi serius gini? ya harus dong) ada beberapa angle yang "mengizinkan" mereka untuk "beristirahat" dulu dan melanjutkan ke shot berikutnya. Terlalu teknis? ya maaf, ini kan menurut pandangan saya sebagai movie maker juga hehe...

Jalan ceritanya yang membuat kita terbuai juga bisa membuat kita merasakan depresi pemeran utamanya (Michael Keaton) yang sepertinya star syndrom yang ngga tertahan (duh, maaf spoiler lagi). Sampai klimaksnya kita terbawa imajinasinya yang liar tapi di akhir scene kita bisa tertawa karena memang khayalannya bisa sync dengan kehidupan nyatanya.

Sebelum menonton film ini ada baiknya siapkan mental dan fisik Anda, karena ceritanya agak memakan energi otak dan alur cerita yang ngga bisa ditinggal sedetikpun. Pikiran puna harus terbuka, karena antara real life dan imagination akan tercampur disini. Dan kesimpulan dari film ini adalah : 7.0/10 (Cocok untuk koleksi)

Sabtu, 15 Agustus 2015

Mengisi Libur ke Bukit Kaladan atau Bukit Lawangan, Desa Tiwingan Lama, Kec. Aranio, Kab. Banjar



Bukit Kaladan atau Bukit Lawangan - Mencari waktu luang untuk berlibur memang susah, apalagi di tengah kegiatan profesi ners dengan tugas-tugasnya yang seperti saling berebutan ini. Maka ketika kesempatan itu sedikit menampakkan diri, meski beberapa hari terakhir tekanan darahku sampai 90/70 mmHg, aku dan Tri langsung menyiapkan liburan tersebut. Segera tenda dipinjam, matras dibeli, dan beberapa orang diajak. Lalu berangkatlah kami hari Rabu tadi, jam 15.30, setelah sebelumnya aku menyelesaikan laporan dan konsul ke ruang Nifas RSUD Ulin, dan Tri menyelesaikan responsif ujiannya dengan pembimbing. Tujuan kami: Bukit Kaladan, (ada pula yang menyebutnya Bukit Lawangan), Riam Kanan.
Sekitar pukul lima, kami sudah tiba di desa Riam Kanan. Dari sana kami memarkir motor dan berjalan kaki. Perjalanan langsung disambut tanjakan curam. Lima menit rasanya seperti berlari 1 km. 

Aliran darah banyak mengalir ke kaki. 20 menit, wajahku pucat (ujar Tri), perut mual, pandangan kabur, napas sesak. Aku langsung terbaring di tanjakan curam tersebut. Beruntung ada Tri, yang walaupun sertifikat BTCLS-nya diperoleh setelah ujian dua kali, langsung mempraktikkan teori shock position: kaki ditinggikan.
Kubayangkan darah mulai lebih banyak mengalir ke otakku, sambil kucoba bernapas dalam.
Kondisiku memulih setelah Tri menghabiskan 2 batang rokoknya.
Perjalanan berlanjut tanpa hambatan sampai ke puncak. Menyisakan waktu yang cukup untuk kami mengambil banyak foto dengan berbagai fose dan mendirikan tenda.
Malam diisi dengan main uno, pagi foto-foto lagi, jam 8 turun dan pulang. Jam 2 siang buru-buru ke kampus untuk ikut pengarahan stage komunitas dan keluarga. Maka kesibukan yang padat pun berlanjut lagi...

Senin, 03 Agustus 2015

Kreatif-kah kamu?

" kreatif/kre·a·tif/ /krĂ©atif/ a 1 memiliki daya cipta; memiliki kemampuan untuk menciptakan; 2 bersifat (mengandung) daya cipta: pekerjaan yg -- menghendaki kecerdasan dan imajinasi; "

image : dreamstime.com


Pastinya kita udah sering dengar kata ini, tapi apakah ada unsur "kreatif" dalam diri kita? di tulisan saya kali ini saya akan membahas apa itu kreatif, kreator dan kreasi.

Kreasi adalah sesuatu yang kita buat, bisa dalam bentuk hal seni, atau pemikiran yang belum kepikiran sebelumnya. Sedangkan kreator adalah si pembuatnya yang membuat sesuatu diluar pemikiran orang lain. Dan kedua unsur inilah yang membuat istilah Kreatif. Setidaknya itu menurut saya, kalo ngga pas ya maafin aja yah, namanya juga menyampaikan pikiran kreatif saya haha...

Lalu, setelah kita tau apa itu arti dari kreatif, apakah kita termasuk orang-orang kreatif? Coba dipikirkan beberapa hal dibawah ini.

Orang Kreatif Selalu Berpikir
Apakah kamu pernah ngga bisa tidur gara-gara kepikiran hal yang ngga selesai-selesai ujungnya? atau pernahkan kamu perhatikan tanganmu ngga bisa diam walaupun badanmu lagi ngga melakukan apa-apa? Kalo ya, mungkin kamu termasuk orang kreatif. Orang kreatif cenderung ngga bisa diam dan selalu berpikir entah itu berpikir soal membuat sesuatu yang baru, atau mungkin ingin menyempurnakan sesuatu yang sudah ada. 

True Story
Sejak kecil saya selalu memikirkan hal yang saya alami seharian itu. Misalnya, pada saat sekolah saya berpapasan dengan seorang guru tapi ngga memberi salam. Saya langsung berpikir, kenapa tadi saya diam saja? apa jadinya kalau tadi saya menegur guru itu duluan mungkin saja saya lebih mengenal guru itu dan kita bisa lebih akrab lalu kalau suatu saat saya ada kesulitan saya bisa minta bantuan kepadanya dan bla.. bla... bla... Ya. dari hal kecil yang sepele akhirnya bisa membuat cerita dan kemungkinan lainnya. Karena hal kecil yang bisa saya besar-besarkan dalam pikiran saya, tak heran sejak SD guru saya selalu mengikut sertakan saya di setiap perlombaan mengarang dan membuat cerpen. Dan keuntungan untuk saya hingga sampai saat ini, saya bisa berkreasi membuat cerita pendek dalam bentuk film, atau sekedar menulis di blog ini. Pikiran berlebih ini selalu datang disaat saya diam, misalnya mau tidur, di toilet, dan bahayanya pada saat saya berkendara. Makanya saat sedang menyetir, naik motor, naik sepeda bahkan sedang jalan kaki jauh saya selalu sempatkan mendengarkan musik untuk mengalihkan pikiran saya memulai ceritanya sendiri. Mengerikan? ngga juga.

Biasanya Introvert
Introvert atau bisa diartikan orangnya tertutup, ngga terbiasa dengan keramaian. Mereka biasanya sering menyendiri karena bisa lebih fokus dengan pikirannya tanpa terganggu pemikiran orang lain. Walau ada juga orang kreatif yang suka bergaul untuk menambah referensi, tapi tetap dalam proses berpikir kreasinya mereka butuh kesendirian. Tau Steven Spielberg? Dia adalah sutradara Hollywood terbaik yang terkenal akan sifatnya yang introvert. Dan lihatlah karya dari seorang introvert yang kebanyakan Mindblowing.

True Story
Saya adalah introvert akut. Sejak TK hingga Kuliah susah untuk bergaul. Bukannya ngga punya teman, saya punya kok teman tapi bisa dihitung. Dan teman yang saya pilih juga biasanya bukan sembarang orang, saya hanya berteman dengan orang yang bisa menerima ke-introvert-an saya. Apakah introvert sama dengan minder? Ngga juga, buktinya saya sejak SMU punya kehidupan normal layaknya anak ABG saat itu. Punya teman, pacaran, bahkan saya punya grup band sendiri. Ngga ada yang salah kok dengan sifat introvert. Tapi saya sempat mengalami kemunduran karena ke-introvert-an saya pada saat kuliah. Banyak hal perkuliahan yang mengharuskan saya untuk berorganisasi dengan sesama teman kuliah yang lain. Walaupun ngga nyaman saya tetap jalani walaupun seringkali saya mengerjakan tugas organisasi seorang diri karena lebih menyenangkan kalau sedang sendiri. Saya juga jarang bergaul kalau ngga ada tujuan pastinya, maksudnya saya sangat menghindari nongkrong-nongkrong ngga jelas. Karena biasanya kalau nongkrong tanpa tujuan ngga akan menghasilkan apa-apa atau malah ngomongin orang lain. Disaat bekerja pun saya agak terintimidasi dengan sifat introvert saya. Saya pernah bekerja part time sebagai pegawai toko pakaian di salah satu mall di Jakarta Barat yang mengharuskan saya untuk mengajak calon customer untuk melihat produk saya dan menjualnya. Walaupun berat, saya harus menekan sifat saya dan berusaha menjadi orang lain untuk 8 jam shift saya. Dan hingga kini saya bekerja di dalam kantor, saya lebih menikmatinya karena saya bisa bekerja sendiri, walaupun harus berhubungan dengan orang lain, tapi untungnya seringkali hanya lewat telepon. Jadi, apakah introvert itu hal yang buruk? pikirkan sendiri.

Selalu Mencoba Sesuatu Yang Baru
Biasanya orang kreatif itu "bosenan" atau gampang bosan. Kalau mereka sudah tau satu hal, atau bahkan sudah hafal mati dengan hal itu biasanya akan menambah hal baru atau mungkin berpindah ke hal lain. Karena sifatnya yang selalu berpikir tadi itu akhirnya hal yang sudah dikuasainya terasa sudah ngga seru lagi. Malah dengan kata lain "saya bisa menyelesaikan hal itu sambil tidur". Hal ini bisa jadi baik ataupun buruk. Hal baiknya, seorang yang kreatif bisa mempunyai banyak kebisaan dan pengalaman baru. Tapi hal buruknya, pikirannya akan terpencar kemana-mana alias ngga fokus. Mungkin ada baiknya untuk sesuatu yang menghasilkan, misalnya pekerjaan, harus difokuskan sedangkan yang bersifat hobby bisa saja mempelajari semuanya. Win win solution kan?

True Story
Saya adalah orang yang "bosenan", walaupun bosennya agak lama hehe.. Segala hal yang menurut saya "keren" mau saya cobain, walaupun ada juga yang belum kesampaian. Mulai sejak SD saya suka menggambar, lalu waktu SMP pikiran saya teralihkan dengan teknologi komputer akhirnya passion saya beralih ke teknologi. Karena masih susah mencari informasi tentang teknologi akhirnya passion saya beralih lagi ke musik. Ya, saya pernah punya band waktu SMU dan bukan cuma 1, tapi ada 3 dalam waktu bersamaan. Bukannya serakah, tapi karena saya ngga mau terpaku dalam 1 gaya bermusik. Tapi memang saya bukan robot yang bisa menjalani 3 band dan sekolah secara bersamaan, akhirnya saya harus merelakan 2 band saya tinggalkan dan hanya punya 1 band dan fokus ke sekolah. Band ini saya lakukan sampai lulus kuliah. Walau agak keteteran waktu harus memilih kuliah, band atau pekerjaan part time saya. Tapi setelah saya memiliki pekerjaan kantoran, saya harus meninggalkan semua kesukaan saya itu. Ditambah saya harus fokus ke pekerjaan yang kebetulan bukan keahlian saya, dan mengharuskan saya ahli di bidang itu. Hitung-hitungan bukan bidang saya, malah sejak dulu saya menghindarinya tapi sekarang menjadi mata pencaharian saya. Walaupun awalnya berat tapi pelan-pelan saya bisa menjalaninya, walaupun saya ngga menutup diri untuk tetap belajar yang lain. Sejak saya jadi rang kantoran saya jadi jarang menggambar, jarang main musik lagi, dan akhrinya teralihkan ke dunia photography. Teman saya meracuni saya ke dunia photography. Untunglah harga kamera diluar jangkauan saya yang membuat saya mengurungkan diri untuk masuk ke dunia photography, tapi dasar "jahat" teman saya itu, dia malah meminjamkan kameranya ke saya dan menyuruh saya mencobanya selama seminggu. Dan dari situlah kecintaan saya di dunia photography dimulai. Dari awalnya asal jepret, dan akhirnya sekarang saya merasa risih sendiri kalau hasil foto saya biasa aja. Tapi hati kecil saya punya pikiran lain, kenapa harus mengikuti arus? kenapa ngga coba hal lain diluar kebiasaan orang lain? Daripada cuma membuat foto, kenapa ngga membuat video? Nah loh! pikiran darimana itu? Memang dari dulu saya suka dengan film. Di setiap melihat shooting film saya selalu memperhatikan sang kameraman dibanding sutradara yang kesannya cuma bisa teriak ACTION!!. Ditambah saya pernah diajak untuk melihat proses editing film di sebuah rumah produksi. Ternyata menyambungkan gambar sampai menjadi sebuah cerita itu ngga gampang, tapi asik! Kenapa saya ngga coba menggabungkan apa yang saya bisa jadi satu produksi? Saya bisa bikin cerita, musik, sedikit banyak tau angle photography, dan belajar editing sambil jalan. Dan tahun 2009 dengan berbekal kamera video pinjaman saya mulai membuat film pendek yang amatir banget tapi yah itulah hasilnya haha.. Berawal dari situ saya mulai menabung untuk masuk ke dunia multimedia ini dengan investasi pertama saya sebuah kamera camcorder untuk membuat film pendek berikutnya. Kemampuan saya membuat video bukan cuma mentok di film aja, saya juga sesekali membuat video liputan yang menurut saya lebih seru karena semuanya on the spot dan ngga dibuat-buat. Jadi, punya banyak kebisaan karena selalu coba hal baru itu baik atau buruk?


Cara Berpikir Yang Berbeda
Pernah dengar istilah "Think Out of The Box"? atau dengan kata lain berpikirlah dengan cara diluar kebiasaan. Seorang yang kreatif biasanya selalu berpikir apa yang menurutnya lebih memudahkannya. Kadang seorang kreatif terkesan pemalas karena seringkali melakukan pekerjaan dengan cara jalan pintas. Tapi justru selama jalan pintas itu bersifat positif berarti si kreator mampu membuat pemikiran baru yang membuat sesuatu lebih efisien. Seringkali orang awam membutuhkan seorang kreatif ini untuk memberikan ide yang biasanya sih jawabannya simple tapi hanya si kreatif ini yang mampu memikirkannya. Seolah bisa meramalkan masa depan, orang kreatif biasanya lebih senang kalau dirinya membuat sesuatu yang baru yang nantinya akan diikuti orang lain, bukan malah sebaliknya. Walaupun seringkali pikirannya bertentangan dengan tren yang ada, biasanya si kreator yang sukses akan mempertahankan bentuk pemikirannya sampai orang lain mengerti maksud dan tujuannya dan membuat para awam yang dulunya mengejek malah akan berbalik mengikuti. Tapi sayangnya pikiran kreatif ini sering dimanfaatkan dan disalahgunakan bagi orang yang ngga bertanggung jawab.

True Story
Walaupun di kantor pekerjaan utama saya adalah bersifat administratif alias hitung-hitungan, tapi seringkali saya memberikan ide untuk marketing dan design nya. Dan alhamdulillah seringnya diterima. Bahkan teman-teman saya malah menjadikan saya tempat curhat, bukan cuma masalah pekerjaan tapi juga seringnya masalah percintaan haha.. Bukannya ngga mau kasih masukan, tapi bukan berarti saya master of decision maker. Pikiran saya yang kadang kontradiksi dengan teman yang lain kadang menjadikan saya dijauhi teman-teman saya sampai akhirnya saya tunjukkan maksud saya dan akhirnya mereka menerima. Saya akan mencari cara lain yang lebih praktis dan kecil resiko dibanding mengikuti aturan baku. Itulah kadang di kantor saya sering ditegur karena terkesan ngga mengerjakan rentetan pekerjaan yang membosankan ini menjadi lebih praktis dan efisien yang ujung-ujungnya hasilnya sama baiknya.

Berkreasi Untuk Memberi
Seorang kreator akan sangat bangga kalau hasil karyanya bisa dinikmati orang banyak dan bukan cuma disimpan dalam lemarinya. Entah yang masih amatir atau sudah profesional pasti menginginkan karyanya di kenal atau digunakan banyak orang. Hasil kreasi juga bisa bisa mengubah nasib si kreator atau malah penggunanya. Jadi si kreator dan penikmat kreasi bisa saling mendapatkan manfaatnya.

True Story
Sejak saya menulis blog ini beberapa tahun yang lalu, saya ngga pernah menyangka ada yang membaca blog saya. Tapi daripada pikiran di otak saya rembes (halah... kepenuhan sampe rembes) mending saya tulis disini aja. Ya minimal kalo ngga ada yang baca, buat saya baca lain waktu aja. Lalu kemampuan saya bermain musik pasti ngga akan bermanfaat kalo cuma main sendiri di dalam kamar pakai headphone, dan yang pasti akan cepat puas kalo ngga pernah dengar kritik dari orang lain. Lalu video saya cuma numpuk di harddisk kalo ngga saya share di Youtube. Ilmu editing saya juga ngga akan bertambah kalo cuma saya pake sendirian tanpa berbagi ke orang lain. Tuhan memberikan gift kepada saya pikiran bertumpuk, rasa cepat bosan dan sifat introvert, kenapa saya ngga manfaatkan ini semua? Dari pikiran yang bertumpuk itu saya pecah menjadi beberapa bagian yaitu menambah kebisaan di bidang lain, yang kesemuanya saya sempurnakan seorang diri berbekal sifat introvert saya dan hasil dari kesemuanya saya bagikan ke banyak orang supaya bisa menikmati gift dari Tuhan yang diberikan ke saya. Kadang ada yang bertanya ke saya "Kenapa kok jadi orang rajin amat bikin begituan? emang ada uangnya?". Uang memang penting, tapi bukan yang paling penting. Dan hal yang saya kerjakan sampe saat ini pasti ada hasilnya suatu saat nanti, kapan? saat ini juga, tapi mungkin saya belum merasakannya.


 
Setelah membaca artikel saya yang panjang ini, apakah kamu seorang yang kreatif? Kalau iya, berarti kamu adalah orang yang ngga bisa diam seperti saya haha... Terus dikembangkan ya, dan jangan lupa berbagi hasil kreasimu supaya tetap ada keinginan berkreasi lebih baik lagi. Untuk yang baru menyadari dan baru memulai, jangan ragu jadi orang kreatif. Jadi orang kreatif itu asik kok, bisa cepat beradaptasi dan banyak teman. Jangan pernah membandingkan hasilmu dengan hasil orang lain, karena sebuah karya cuma bisa dinilai lewat hati, bukan hitungan matematis. Jadi tunggu apa lagi? yuk berKREASI, dan jadilah KREATOR yang KREATIF :)

-DT-
Agustus 2015

Sabtu, 01 Agustus 2015

Penghuni Toilet


Penghuni toilet itu menghilang. Ia tak ada di toiletnya. Selama ini, selain ke kampus, ia selalu berada di toiletnya ini. Tapi hari ini, hingga larut malam kutunggu, ia masih belum pulang.
Namanya Yoyo. Pertemuan pertamaku dengan Yoyo adalah ketika pengumuman kelulusan masuk di sebuah perguruan tinggi swasta di Banjarmasin.
“Bagaimana, lulus?” tanyanya dengan gaya seperti kami sudah lama kenal.
Aku mengangguk dan balik bertanya, sekadar basa-basi untuk menghargai ajakannya bicara.
“Iya, lulus juga. Sudah dapat kost?” Kupikir itulah hal sebenarnya yang ia ingin tanyakan.
Kujawab bahwa belum, dan kujelaskan bahwa sementara ini aku ikut tinggal di rumah saudara.
“Bagaimana kalau tinggal di kontrakanku saja? Sewanya kita bagi dua.”
Aku tidak langsung menjawab. Tinggal serumah dengan orang yang belum dikenal tentu bukan sesuatu yang bijaksana. Seolah membaca pikiranku, Yoyo mengulurkan tangan.
“Namaku Yoyo. Kamu tidak perlu khawatir, kalau ada barangmu yang hilang selama tinggal denganku akan kuganti.”
Aku menyambut tangannya dan menyebutkan namaku. Kutanyakan di mana kontrakannya.
“Cukup jalan kaki dari sini.”
Pertemuan itu selesai. Aku tidak langsung menerima tawarannya, hanya mengatakan akan memikirkannya. Untuk sementara tempat tinggal bukanlah masalah buatku karena ada saudaraku di kota ini.

***


Selama dua bulan kuliah, aku jarang bertemu dengan Yoyo karena kami beda jurusan. Hanya sekitar lima atau enam kali aku pernah bertemu dengannya, itu pun hanya sekadar menyapa, tanpa obrolan.
Setelah dua bulan kuliah itu pula, aku memiliki pacar. Cantik. Namanya Gina. Hal itu membuatku perlu tempat tinggal sendiri, tidak menumpang dengan saudara. Saudaraku dan orangtuaku orang yang taat agama, yang bila mengetahui aku pacaran pasti akan marah besar. Aku perlu bebas. Bebas dari pengawasan saudara, bebas pacaran, dan bebas membawa pacar ke tempat tidur.
Maka siang itu, ketika aku bertemu Yoyo, aku langsung menanyakan apakah tawarannya untuk patungan membayar rumah kontrakan masih berlaku.
“Tentu saja!” jawabnya dengan wajah tampak senang. “Kapan kamu mengangkut barang-barangmu?”
Kutanyakan apakah aku boleh lihat-lihat dulu.
“Boleh. Sekarang?”
Aku mengusulkan memakai motorku. Namun ia mencegah. “Kita jalan kaki saja. Cuma lima menit,” terangnya.
Dan memang hanya lima menit kami telah sampai di depan pintu kontrakan yang dimaksud. Ini sebuah rumah petak atau rumah bedakan dengan lima pintu yang masing-masing rumah hanya dipisahkan sebuah tembok.
“Ayo masuk,” katanya sambil membuka pintu.
Aku mengikuti di belakang. Sesuai dugaanku, di dalamnya hanya ada satu kamar untuk rumah sekecil ini. Hal ini membuatku ragu. Meskipun sama-sama laki-laki, tetap saja aku butuh privasi.
Kukatakan pada Yoyo bahwa berbagi kamar bukanlah ide yang baik.
“Ini akan jadi kamarmu,” kata Yoyo sambil tersenyum.
Langsung kutanyakan bagaimana dengannya, sambil melihat isi kamar tersebut. Saat aku melihat ke dalam kamar yang hanya satu-satunya itu, ternyata isinya kosong.
“Kamarku di belakang,” jawabnya.
Aku bingung dan langsung mengintip ke belakang. Di sana hanya ada dua kamar kecil yang kutebak merupakan toilet dan kamar mandi. Aku membuka salah satunya, benar, kamar mandi. Lalu kubuka lagi yang satu, dan benar, toilet. Tapi aku terkejut melihat keanehan di dalam toilet itu. Aku berpaling menatap Yoyo untuk meminta penjelasan, yang hanya ia jawab dengan senyuman. Lalu aku kembali memerhatikan isi toilet itu. Ada rak berisi buku yang memenuhi dinding sebelah kiri hingga ke langit-langit. Sementara di langit-langit bergelantungan plastik kresek yang berisi pakaian. Ada pula sebuah benda kecil yang difungsikan sebagai meja di pojok kanan. Di atasnya terdapat alat tulis dan buku tulis. Otomatis toilet yang sempit itu menjadi semakin sempit.
“Tidak dikunci, kamu bisa menggunakannya kapan saja kecuali kalau aku juga sedang buang hajat,” jelas Yoyo yang membuatku semakin bingung.
Dengan ragu-ragu kutanyakan apakah ia juga tidur di sini.
“Ya,” jawabnya tanpa sedikit pun ada nada bercanda.
Menaruh benda-benda itu di toilet sudah merupakan hal ganjil, namun bagaimana Yoyo tidur di situ adalah misteri yang lebih gelap lagi. Aku berkali-kali menuntut penjelasan akan semua itu. Tapi Yoyo tidak menjelaskan terlalu banyak. Satu-satunya penjelasannya yang masuk akal adalah bahwa ia sudah terbiasa menghabiskan hari—termasuk tidur, di dalam toilet.
Akhirnya aku menyerah untuk memintanya menjelaskan lebih jauh. Sementara mengenai tawarannya, kupikir aku tidak ada alasan lagi untuk menolak.
Dua hari setelahnya, semua barang-barangku telah berada di satu-satunya kamar tidur itu. Meskipun tinggal satu rumah, dalam banyak hal kami bisa dibilang individualis. Kami menyiapkan makan masing-masing, dan makan masing-masing, dan tentunya di ‘kamar’ kami masing-masing. Kami jarang mengobrol. Saat-saat aku bicara dengannya hanyalah ketika aku akan buang air. Aku mengetuk pintu ‘kamarnya’. Kukatakan mau kencing. Dan ia langsung keluar, dengan membawa salah satu bukunya, buku yang tampaknya sedang ia baca. Bahkan untuk beberapa hari berikutnya aku tak perlu lagi mengeluarkan suara, cukup mengetuk pintunya, dan ia langsung mengerti dan membiarkanku memasuki ‘kamarnya’.
Sementara itu, aktivitas pacaranku dengan Gina berlangsung mulus. Di kota besar seperti ini, semua tetangga mengurus urusannya masing-masing. Tidak ada yang bergunjing apalagi protes meski tiap malam Gina menginap di kontrakan kami dan baru pulang keesokan paginya. Yoyo pun tidak pernah menegur ataupun ikut campur. Bahkan ia tak pernah membicarakannya.
Awalnya Gina pun merasa sangat aneh dengan kebiasaan Yoyo, namun ia cepat terbiasa. Seperti aku, ia hanya perlu mengetuk pintu untuk mendapatkan akses ke toilet, dan Yoyo pun akan dengan sabar dan santai menunggu di luar sambil membaca sebuah buku.
Aku ingat Gina bercerita saat pertama kali menggunakan toilet itu untuk BAB. “Lima belas menit kotoranku tak juga mau keluar!” ceritanya sambil tertawa. Dan kami lalu kembali bercinta.
Tak peduli apa yang dilakukan Yoyo di toilet itu, entah apakah ia bisa tidur atau tidak, aku dan Gina terus bercinta. Siang dan malam.

***

Semakin lama, toilet di rumah kontrakan kami ini tampaknya semakin terasa sempit. Setelah mengamati baik-baik, barulah aku mengerti bahwa penyebabnya adalah koleksi buku Yoyo yang semakin banyak.
Sambil buang air besar, iseng aku mengamati buku-buku milik Yoyo. Ada buku-buku biografi seperti Tan Malaka, Soe Hok Gie, Wiji Thukul, W.S. Rendra. Ada buku-buku puisi. Novel-novel Pramoedya, buku-buku tentang PKI, Reformasi, Orde Baru. Bahkan ada pula buku-buku tua berbahasa Inggris dan Belanda.
Semakin kuperhatikan, aku menyadari sesuatu: label perpustakaan! Kuambil salah satu buku itu, dan benar saja, terdapat stempel perpustakaan kampus di dalamnya, dan juga terdapat kartu berisi nomor-nomor orang yang telah meminjam dan tanggal kapan buku tersebut harus dikembalikan. Kulihat tanggal terakhir yang tertera di sana adalah dua tahun lalu, yang berarti dua hal: tidak ada yang meminjam buku itu selama dua tahun terakhir, dan bahwa Yoyo tidak meminjam buku tersebut, tetapi langsung mengambilnya.
Aku kembali meletakkan buku itu. Selesai cebok aku kembali ke kamarku. Berbaring di samping Gina yang hanya mengenakan pakaian dalam. Malam ini entah mengapa aku tidak semangat untuk bercinta. Tak sampai lima belas menit aku sudah klimaks dan terbaring kelelahan.
“Ada apa, darling?” tanya Gina.
Aku pun tak tahu. Gina tidak menginap malam ini. Ia pulang ke kostnya dengan wajah kesal. Sementara aku hanya bisa mengatakan permintaan maaf padanya, dan menyuruhnya kembali lagi ke sini sepulang kuliah besok.

***

Sepulang kuliah, aku mengajak Gina ke rumah kontrakanku. Tapi ia tidak mau. Katanya ia hari ini capek dan mau istirahat saja di kostnya. Aku tak bisa memaksanya.
Aku pulang sendirian. Sampai rumah segera menuang air putih ke dalam gelas dan meminumnya hingga tandas. Entah mengapa, aku merasa begitu kesepian. Aku duduk bersandar di dinding kamar, dan memikirkan betapa tidak pedulinya aku dengan lingkungan sekitarku seperti seorang anak yang mengidap autis. Aku butuh teman untuk berbicara. Kupikir ini waktu yang tepat untuk mengobrol dengan Yoyo.
Ketika telah berada di depan toilet, aku bimbang. Aku tidak tahu apa yang akan kubicarakan dengan Yoyo. Tentang buku? Aku tidak tahu apa-apa tentang buku. Sastra? Pergerakan? Sejarah? Aku pun tak paham sedikit pun mengenai ketiga hal tersebut. Terlebih, aku tak tahu bagaimana caranya memulai obrolan.
Lantas aku kembali ke tempatku semula duduk. Kembali minum bergelas-gelas air putih. Dan mencoba mengirim pesan pendek pada Gina, yang tak kunjung mendapat balasan.
Entah berapa lama aku duduk, yang kutahu di luar sudah gelap. Lalu tiba-tiba muncul dorongan di kandung kemihku, barangkali karena tadi terlalu banyak minum. Aku segera berlari ke toilet dan mengetuk pintunya. Tidak ada yang membuka dari dalam. Kudorong sedikit demi sedikit, dan ternyata Yoyo tidak ada di dalam. Ke mana dia? Biasanya ia tidak pernah ke mana-mana selain di kampus dan, tentu saja ‘kamarnya’ ini.
Selesai buang air, aku segera menyambar ponselku untuk menelepon Yoyo, siapa tahu ia kenapa-kenapa. Kucari nomornya di daftar kontak, tapi kemudian aku tersadar: aku tidak pernah minta nomor ponselnya!
Malam ini aku tidak bisa tidur. Aku tidak pernah sekhawatir ini dengan Yoyo. Aku tidak pernah peduli bagaimana ia tidur di dalam toilet yang sempit itu, tapi justru ketika ia tidak ada, aku benar-benar khawatir. Aku masuk ke toilet dan berusaha mencari petunjuk. Aku memeriksa setiap halaman buku-bukunya, barangkali di sana ada brosur sebuah acara atau undangan rapat yang membuatnya tak bisa pulang semalaman. Aku juga memeriksa buku-buku catatannya, siapa tahu ada sesuatu. Tapi semua itu tidak menelurkan hasil. Aku terduduk di atas toilet, menutup mata, dan mencoba berpikir.

***

Aku terbangun keesokan paginya. Apa? Rupanya aku tertidur di toilet. Ya, tertidur di toilet. Yoyo masih belum tampak keberadaannya. Aku kembali khawatir. Semakin khawatir, seperti orangtua yang anak gadisnya tiba-tiba minggat dari rumah.
Segera aku mandi dan bersiap ke kampus. Siapa tahu di kampus aku bisa bertemu Yoyo. Aku tidak ikut perkuliahan hari ini. Sudah kutekadkan bahwa hari ini aku akan mencari Yoyo sampai dapat, agar aku tenang. Kepada teman-temannya di jurusan aku bertanya apakah mereka tahu di mana Yoyo. Aku ternganga mendapati jawaban semua mahasiswa yang kutanyai, mereka bukan saja tidak mengetahui keberadaan Yoyo, mereka bahkan tidak pernah tahu ada mahasiswa bernama Yoyo.
Aku ke perpustakaan. Bisa saja ia di sana, sedang membaca buku, atau memilih-milih buku yang akan ia bawa. Dua kali aku mengitari setiap rak buku, namun tidak juga melihat wajah si penghuni toilet itu.
Lalu kuputuskan untuk kembali ke rumah kontrakan kami. Bisa jadi, selama aku ke sana-kemari mencarinya di kampus, ia sudah kembali ke sarangnya dan dengan santainya membaca sebuah buku yang baru saja ia kepet dari perpustakaan kampus.
Sesampainya di rumah aku langsung menuju toilet. Pintunya terkunci dari dalam. Aku senang, karena itu berarti Yoyo sudah pulang. Namun sekaligus khawatir, sebab selama ini ia tak pernah menguncinya. Tanpa buang waktu kudobrak pintu toilet itu sekeras mungkin. Pintu terbuka. Di dalamnya, di antara buku-buku yang berserakan, samar karena cahaya yang kurang, kulihat Yoyo sedang bercinta, dengan pacarku Gina. Kami bertiga sama-sama terperanjat. []

Surgi Mufti, 19 Juli 2015

(Media Kalimantan, 8 Agustus 2015)