Senin, 18 Mei 2015

Jri


Jri.
Tetes infus, lalu aku membayangkan gerimis ketika engkau tengah duduk di tepi sungai, senja hari. Lalu kubayangkan pula jari yang menari di atas layar handphone, entah menunggu seseorang, atau bosan dengan orang-orang. Ya, pada akhirnya kita memang perlu setidaknya sebotol Ringer Laktat untuk jalan yang mempertemukan tanganmu dan genggamanku. Tak harus deras, kita hanya perlu gerimis, dan senja, di tepi sungai.
Seperti orang-orang yang berlalu lalang itu, bisakah mereka tiba-tiba saling menyapa, mempersembahkan bunga, dan membacakan bait-bait sajak? Engkau tidak perlu menolakku, tidak harus. Lalu keruwetan-keruwetan jalan kota akan meringkusmu sementara engkau masih dengan derai itu, atau cekikik tawa. Kesedihan yang manis, adalah suara gerimis.
Jam berapa sekarang? Kita mulai tak tahu waktu, ya. Bukankah katamu, perjalanan paling menyenangkan adalah ketika kita benar-benar telah membunuh waktu, bahkan kalau perlu melempar jam tangan dan telepon genggam dari Puncak Kantawan ke dasar Amandit? Biarkan arus dan batu-batunya yang mengkilat menelannya.
Ini telah senja, namun itu tidak berarti apa-apa, bukan? Kecuali jus alpukatmu yang tinggal seperempatnya, dan nasi goreng yang tinggal setengah piring yang enggan kau makan lagi.
Ah, tapi entah mengapa, aku tak pernah bisa benar-benar menahan masa lampau, bahkan ketika mimpiku. Padanyalah kenangan itu menerobos dan menyuntikkan ke arteri terdalam tubuhku, bahkan ke pembuluh syarafku. Kukatakan, aku mencintaimu. Kamu boleh tak memercayainya. Sederhana saja. Menjadi masalah kemudian, ketika hal itu terlupakan.
Dan aku melukismu seperti seorang anak kecil yang melompat-lompat. Menyimpan kecemasan.
Sebentar lagi, lampu jalan dan beberapa dosa, dihidupkan.
Mungkin itulah yang membuatmu memilih sejarah. Perang dan agama, apa menariknya? Bukankah angka nol lebih potensial? Nol adalah malapetaka, seperti persetubuhan yang tanpa wajah. Nol adalah titik temu semua yang kau rindukan, tak terkecuali sang mantan.
Tapi kau pun tak boleh mempercayaiku, terlebih dalam usahaku menulis ini. Gempa besar seringkali diiringi tsunami!
Nah, bagaimana dengan bibirmu? Semakin maniskah? Aku selalu senang membuatnya diam. Kukatakan, ini bukan makan, tapi bersantap. Hidup ini tidak serius, ia tak pernah berujung pada kekalahan ataupun kemenangan.
Begitulah caraku mengulitimu, tanpa pesan, tanpa jalan lurus berupa kepastian.
Engkau bilang, kau akan pergi lagi. Seperti asma yang kambuh, atau luka yang tak pernah kering. Jarak akan menjadi guru kita, katamu lagi. Agar kita membangun Rumpiang, kataku. Lalu kau tertawa, dan bertanya hal yang itu-itu saja.
Kosmos ini bukan rahim, dan aku bukan plasenta. Dan kunang-kunang menjadi dirinya hanya pada malam. Menjadi Sukab dan Alina sesungguhnya ide kita berdua.
Hei, ini hari ulang tahunmu, ya? Selamat, karena gerimis telah menjelma menjadi hujan, dan langit senja tertutup malam. Engkau menyukai keduanya, namun aku tahu, tak pernah sungguh-sungguh betah berada di dalamnya. Ya, semoga hidupmu selalu bahagia.
Sebentar, pelayan itu membawakan pesananmu, jus alpukat gelas kedua. Dunia dalam telepon genggam masih berdansa dengan matamu. Kita sampai jam berapa? Pertanyaan yang keterlaluan, jawabku. Kita menunggu hujan reda, atau menunggu hubungan kita reda? Tanyamu lagi. Kali ini aku tertawa.
Ah, masih tetap mengental, dirimu dalam jilbab biru, dan dua judul buku. Itu membuatku sulit menebak, bagaimana engkau. Membuatku terus bertanya-tanya. Haruskan aku mencoba lagi, berusaha tanpa melihat daftar panjang lelahku dan kesia-siaan dalam hidupku? Aku perlu morfin untuk meredam nyerinya. Skala empat, barangkali.
Sebuah buku kubuka, lalu film tentangmu berputar di mataku. Buku kututup, di film itu kamu menari. Buku kulempar, di film kamu terkikik manja. Aku membakar diriku, membakar orang-orang di dekatku, membakar dirimu.
Curigailah aku. Jangan terlalu percaya. Melupakan sesuatu membutuhkan teman, bukan waktu.
Seperti kata game Ingress, dunia yang kamu lihat sesungguhnya bukanlah seperti itu. Di dunia ini ada portal-portal yang harus saling dihubungkan, layaknya tangan yang saling bergenggaman.
Kesedihan itu, jika tak mampu kau tangiskan, letakkan di mataku. Hujan akan meminjamkanmu sedikit waktu untuk berbahagia. Malam ini, tidak ada yang akan pergi.
Dan perlu kutegaskan bahwa ini lebih dari sekadar koran pagi di hari minggu yang halaman sastranya kian berkurang dari hari ke hari. Ingatlah, di sana hanya akan engkau temui seonggok puisi yang telah dimuat berkali-kali layaknya ikan peda yang berkali-kali dipanaskan.
Tak ada yang perlu engkau khawatirkan. Sakit dan rasa nyaman selalu hadir bersamaan. Kita hanya tinggal merasakannya memenuhi setiap sel-sel tubuh kita, seperti napas dalam yang sering kuajarkan padamu, menghirupnya, merasakannya, menghembuskannya. Rasakan, betapa nikmatnya hidup, bernapas.
Juga bukan sekadar film yang kita tonton di bioskop, semacam sesuatu yang tak kita rencanakan pasti. Seperti ledakan molekuk, atau diagnosa yang tak bisa ditegakkan.
Sayang, malam ini semakin dingin. Sejak tadi selalu kuperhatikan caramu menatap, tersenyum, dan menangis. Cukupkah jaketmu itu menahan dinginnya? Kita masih saja sering keseleo membedakan keinginan dan kebutuhan, sesuatu yang berasal dari hati dan pikiran.
Kita belum benar-benar hidup, kita bahkan telah mati sebelum kita sempat hidup. Ingat kata-kata motivator kemarin? Masalah besar membuat kita semakin besar. Kita memang harus hidup, lebih lama lagi, lebih lama lagi, lebih lama lagi. Tidakkah kamu ingin melihat bagaimana semua ini berakhir, meski kita tahu hidup ini bukan seperti novel atau film yang memiliki kata tamat. Hidup terus berlanjut, melesat cepat dalam lintasannya.
Mari kita rumuskan lagi apa-apa yang telah berlalu, yang kita lewatkan begitu saja, apa yang kita petik begitu saja, yang akan terjadi, yang akan terlupakan, dan yang tak kunjung terjadi. Tanyakanlah sesuatu, jawab, dan putuskan. Sederhana, bukan?
Ini minggu yang berat, untuk kita berdua, tetapi percayalah, selalu ada napas yang ringan setelah kita berhasil melewatinya, selalu ada udara yang lebih segar setelah hujan usai mengguyur. Rapatkanlah jaket, tersenyumlah dengan lebih dewasa, sambutlah tempias hujan yang memercik di meja.
Aku cemas bukan saja karena siang paling bodoh itu, tapi tentang dirimu. Itulah kenapa sepanjang Banjarmasin Martapura kubuntuti laju motormu. Ironis juga ketika dulu aku mengutuki anak-anak yang mencoret baju mereka setelah pengumuman lulus lalu membonceng pacarnya keliling kota hingga larut malam. Aku sama bodohnya dengan mereka.
Jika kamu adalah sungai ini, aku ingin mandi dan tak ingin kembali.
Lantas engkau kemudian bertanya, kemanakah mengalirnya sungai ini? Menuju rahim layaknya sperma? Mungkin saja, jawabku. Mungkin pula ia tak pernah pergi jauh, selalu kembali pada waktunya.
Ya, selalu pulang, alangkah indahnya. Kamu bisa bilang tak ada yang lebih indah daripada berbaring di pantai dengan udara dan hari yang cerah. Namun bagiku, pulang, bagaimanapun cuacanya, selalu menjadi momen yang tak bisa digantikan. Semacam impian-impian kecil yang lalu terwujud.
Kupikir perjalanan kita juga tak pernah ke mana-mana, semoga engkau tidak cepat bosan dengan itu. Berdiam pun menyenangkan, bukan? Aku menyukai cara lama, memutar musik-musik sendu, menziarahi tempat-tempat yang menyisakan berkas kenangan, dan membiarkan hujan membasahi tubuhku.
Hujan reda, orang-orang mungkin memiliki alasan untuk beranjak. Kamu ingin pergi? Tidak, kita tidak pernah menunggu hujan berhenti. Kita justru menunggu hujan turun lagi. Aku memesan secangkir kopi. Hujan mengajarkan kita bahwa beberapa perasaan, butuh kehangatan.
Bukalah kotakmu. Semua orang memiliki kotak, aku ingin tahu isi kotakmu. Barangkali di sana ada foto kecilmu bersama saudaramu, puisi yang pernah ditulis seseorang untukmu, buku harian sejak engkau SMP, atau sebuah batu warna jingga yang kau peroleh entah dari mana, mungkin dari rumah sakit jiwa. Kotak yang sangat pribadi. Tentang bayangan-bayangan dari masa silam. Dengan itu aku bisa menyelamimu. Melewati gang demi gang hingga ke depan rumahmu, atau bisa saja memeluk dan menciummu.
Tapi kita pun harus merasakan yang lebih pedih lagi. Kesenangan gampang usang, namun tidak dengan kepedihan. Sesuatu yang lebih gelap dari malam, lebih mengiris dari silet yang menembus pergelangan serta memutus vena dan arteri.
Dan kematian pun, seperti kehidupan, mesti dirayakan dengan suka cita. Dengan senyum dan doa. Karena ada sungai yang mengalir dari debar jantungku menuju tubuhmu. Kematian yang wangi, seperti yang kubayangkan malam ini, aroma parfum yang biasa engkau pakai. Kematian yang harus dinikmati dengan debarnya sendiri.
Biarlah dunia terus terjaga, tidak ada yang harus merisaukan kesepian, biarkan ia bernyanyi bersama kemunafikan dan terus meletus seumpama kembang api pada malam tahun baru. Engkau akan terus menjadi wanitaku. Telah engkau bangun peradaban dalam diriku, sekalipun pada akhirnya aku, berikut kota ini, akan engkau tinggalkan untuk membangun peradaban yang lain, peradaban dalam dirimu. Itu memang kepastian yang terkutuk, dan aku ingin terus menghindarinya, lewat buku-buku, lewat kata-kata dan kalimat-kalimat tak pasti, lewat caraku menunda membalas pesan singkat yang engkau kirimkan.
Setiap hendak terlelap, impian-impianku menampakkan tubuhnya, sebuah rumah kayu, pohon, rerumputan, dan sungai. Engkau selalu di sana, tidak kemana-mana. Di antara rak-rak buku, tengah memilih buku puisi apa yang ingin engkau bawa ke balkon untuk membacanya. Engkau, wanitaku, akan merajuk di dadaku. .
Sudah larut malam, tidakkah engkau, dalam bayanganku, mengantuk dan ingin segera menghempaskan diri di tempat tidur? Aku akan mengantarmu, jika engkau mau.
Cinta tidak pernah mengenakkan, aku setuju. Hanya berisi bualan-bualan memuakkan. Tapi engkau terus mencumbu darahku, ada apakah? Apakah yang engkau hunuskan hingga memiliki menjadi satu-satunya jawaban?
Maka sebelum engkau pergi jauh lagi, sebelum perjalanan memagari keinginan-keinginan itu lagi, harus kutegaskan sekali lagi, kebahagiaan yang sederhanalah yang akhirnya menjadi tujuan terakhirmu. Peganglah tanganku, hiduplah, dan tertawalah! []

Surgi Mufti, 16-5-2015

(Media Kalimantan, Minggu, 17 Mei 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar