Selasa, 06 Maret 2012

Jalan Pulang


Selesai. Semua pelarian itu telah usai. Aku pulang.
Di luar, rintik-rintik hujan kembali menderas. Ricisnya seperti berjatuhan di dasar hati. Sore yang murung. Kaca jendela di sampingku yang mengembun sudah beberapa kali kuusap, sehingga mataku bisa lebih leluasa memandangi sungai kecil di sepanjang sisi kiri jalan yang diguguri tetesan hujan itu.
Aku penumpang terakhir, tersandar di bangku terdepan dalam taksi colt terakhir yang merambat dari terminal Handil Bakti menuju Marabahan. Taksi tidak penuh, dan suasana benar-benar sunyi. Sopir sepertinya enggan menyalakan radio karena suaranya pasti tak akan jelas dalam cuaca seperti ini. Dan penumpang lain, tampaknya sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Di sisi kanan jalan kadang terlihat beberapa pengendara sepeda motor yang menepi di warung atau emperan-emperan toko, menunggu hujan yang sepertinya masih lama lagi akan benar-benar teduh.
Akhirnya aku pulang. Hhh…

Pandangan kembali kulempar ke samping kiri, pada kaca yang kembali mengembun itu, tapi kali ini aku enggan mengusapnya. Di kaca itu, tampak samar wajahmu. Wajah yang lelah usai bertarung. Wajah yang limbung. Wajah yang sama seperti sepuluh tahun lalu, kecuali jenggot tipis yang tidak rapi dan rahang yang tampak lebih keras.
Kamu, lelaki yang naik taksi colt dengan hati dilanda badai. Orangtua yang tak pernah menghentikan pertengkaran, orangtua yang selalu menganggap salah apa yang kamu lakukan, orangtua yang menghinamu sekeji binatang jalanan, orangtua yang selalu menyebutmu anak durhaka tanpa bosan. Kamu muak! Kamu memasukkan beberapa lembar pakaian dan barang-barang penting dalam tas yang biasa kamu pakai untuk sekolah. Kamu memecahkan celenganmu dan memunguti uang-uang receh itu dengan tergesa. Kamu berlari menerobos hujan, di atas jalan setapak yang becek menuju jalan raya. Kamu melambaikan tanganmu pada taksi colt yang merangkak pelan.
Dan kamu pun lamat di sana, di jendela kaca yang berembun—sesekali embun itu terkumpul dan meluncur jatuh. Kepalamu kosong, kecuali satu; tidak ingin lagi melihat kedua orangtuamu. Sedang hatimu, adalah kumpulan embun yang meluncur jatuh itu.
Colt yang kamu tumpangi mengantarmu ke terminal Handil Bakti. Hujan mulai lindap, tersisa gerimis dan tanah yang basah. Sore telah tua, hanya tinggal beberapa angkot yang akan menuju Banjarmasin di terminal itu. Kamu naik angkot jurusan Pal 6, dan taksi itu segera meluncur tanpa menunggu penumpang penuh. Ke manapun nanti, asalkan tidak bertemu lagi dengan Ayah dan Ibu!
Tapi sayangnya, kamu tak punya pilihan kecuali menjadi gelandangan. Kamu menjadi pengamen, pengemis, dan terakhir kamu tumbuh menjadi preman. Preman yang cukup ditakuti di Kota Banjarbaru. Semua orang pasar kenal denganmu, membayar uang ‘keamanan’ padamu, untuk kemudian uang itu kamu pakai menghabiskan malam ditemani bau alkohol.
Ya, itu profesi terakhirmu selama bertahun-tahun hidup di jalanan, karena setelahnya kamu benar-benar menghargai hidupmu. Itu diawali pada sebuah malam yang basah dengan terlibatnya dirimu pada sebuah perkelahian tak seimbang. Seorang yang punya dendam denganmu membawa kawan-kawannya lantas mengeroyokmu hingga habis. Serangan beruntun tanpa balasan. Kamu tak berdaya. Kamu pingsan. Sekujur tubuhmu penuh darah, dan sebilah pisau menancap di perutmu.

***

Banyak perubahan di kabupaten ini sejak kutinggalkan sepuluh tahun terakhir. Jalan raya sudah lebih lebar dari yang dulu, dan pemukiman penduduk semakin ramai di sepanjang sisi jalan. Ah, tunggu, benarkah sepuluh tahun? Sepertinya lebih dari itu. Aku ragu. Sudah sejak lama aku tak peduli lagi dengan waktu.
Hujan belum juga mau berhenti. Sesekali kilat menerangi langit disusul bunyi yang mengerikan. Taksi colt yang kutumpangi mulai memasuki daerah Sungai Pantai. Kukeluarkan ponsel dari saku jaket, sudah jam enam lewat. Hujan begini, senja memang selalu lebih gegas hadir.
Tidak ada yang bisa kulakukan, dan aku memang tak ingin melakukan apa-apa. Mataku kembali tertuju pada kaca jendela yang semakin berkabut. Kamu, tampak semakin limbung di sana.
Saat itu kamu terbangun dengan setiap inci tubuh didera rasa sakit. Kepalamu pusing. Di akhirat kah ini? Namun kamu segera menyadari, bahwa itu di rumah sakit. Kamu edarkan pandangan ke sekelilingmu. Ada selang infus di tangan kiri dan seorang laki-laki setengah baya yang wajahnya seketika berubah cerah.
Pandanganmu tertumpuk padanya, seolah menunggu penjelasan.
“Akhirnya kamu siuman juga. Empat hari kamu pingsan. Tapi tenang saja, kamu hanya perlu menunggu luka operasimu sembuh. Ususmu ada yang robek, jadi harus dioperasi.”
Tatapanmu masih lekat padanya, masih banyak yang ingin kamu ketahui.
“Ah, aku bukan siapa-siapa. Aku cuma orang suruhan yang membawamu kemari. Semua biaya sudah ditanggung oleh Bos. Tunggu dulu, biar kuberitahu Bos bahwa kamu sudah bangun.”
Lelaki itu mengeluarkan ponselnya lalu terlibat pembicaraan.
“Bos akan kemari.” Ia menyunggingkan senyum.
Ruangan kembali hening. Cukup lama, hingga keheningan itu terpecah oleh ketukan di pintu. Lelaki itu sigap berdiri dan berjalan ke arah pintu.
Orang yang disebut Bos itu ternyata seorang lelaki empat puluhan dengan wajah bersih dan pakaian rapi. Namanya Owen. Oh, ini rupanya orang bernama Owen itu. Selama ini kamu cuma pernah mendengar namanya sebagai pemilik banyak perusahaan dan beberapa SPBU yang tinggal di Banjarbaru. Rupanya benar apa yang sering diomongkan orang-orang bahwa Owen ini orang baik. Aku hanya seorang preman pasar yang sama sekali tidak ia kenal, tapi ia rela menyelamatkan nyawaku. Kalian sedikit berbasa-basi, sebelum kemudian orang itu sibuk dengan ponselnya lalu mohon diri.
Tiga hari kamu dirawat di rumah sakit semenjak kamu sadar. Selama tiga hari itu pula kamu banyak merenungi kehidupanmu, jalan hidupmu. Sesekali kamu juga minta pendapat pada lelaki setengah baya yang disuruh menemanimu itu. Sungguh, itu waktu yang sangat cukup.
Di hari terkahir kamu di rumah sakit Owen menawarimu pekerjaan dan tempat tinggal, tapi dengan halus kamu menolaknya. Hutang budimu padanya sudah terlalu banyak. Di samping itu, kamu telah menentukan bagaimana akan menjalani hidupmu kemudian. Keputusan yang telah bulat.

***

Aku tersipu mengingat bagaimana lugunya anak buah Owen yang menungguiku di rumah sakit dulu. Hm, siapa ya namanya? Sayang aku tak terpikir menanyakannya waktu itu. Aku juga tak pernah lagi bertemu dengannya setelah itu, juga dengan Owen. Barangkali sudah empat tahun lebih. Sekarang pastilah Si Bos itu jauh lebih kaya. Aku berdoa semoga suatu saat bisa membalas kemurahan hati mereka berdua.
Taksi colt memasuki Desa Sungai Gampa, lalu berbelok di Simpang Pinang. Aku tersadar karena rute ini bukan yang pernah kulalui dulu. Oh, iya, tentu saja. Tak mungkin berita tentang selesainya jembatan besar yang dibangun di Desa Rumpiang demi menyeberangi sungai Barito itu tidak kuketahui. Jembatan itu ternyata telah mengubah rute taksi menuju Marabahan yang sebelumnya harus menumpang feri penyeberangan di Desa Sungai Gampa. Bagiku, semua itu cuma berarti satu hal: aku tak bisa langsung turun di depan jalan setapak menuju rumah.
Ini yang mencengangkan, jalan menuju Jembatan Rumpiang ini jauh lebih lebar dari sebelumnya. Sepanjang tepi jalan yang dulunya lebih didominasi ilalang-ilalang tinggi dan sawah sekarang mulai dikerumuni rumah dan warung.
Kotak rokok kukeluarkan dari saku jaket, mengambil sebatang dan menyalakannya. Kuisap dalam lalu menghembuskannya perlahan. Asapnya yang mengisi dada sedikit mengurangi gigilku. Senja semakin muram. Hujan masih saja mengucur deras seperti tadi, seakan langit menyimpan debit air yang tak pernah habis.
Tiga batang rokok telah habis ketika Jembatan Rumpiang tampak di depanku. Di antara jariku kini tersampir yang keempat. Jembatan yang sangat besar dan cukup megah, kagumku. Kemegahan itu makin jelas saat taksi yang kutumpangi merayapinya. Aku tak bisa menyembunyikan rasa takjub. Bergantian kiri dan kanan jembatan ini kuperhatikan, juga Sungai Barito yang membentang di bawahnya. Sungai yang selalu mengalirkan kerinduan. Andai tidak hujan, di sepanjang bibir jembatan ini pastilah sekarang dikerumuni banyak anak muda. Sejauh yang aku tahu, Marabahan memang tidak banyak menawarkan tempat nyaman buat nongkrong.
Kumandang azan magrib terdengar menggema. Menyelinap di tengah-tengah gemerisik tetesan hujan. Aku mendesah.

***

Keempat roda taksi colt ini serempak berhenti tepat di terminal Marabahan. Penumpang-penumpang di belakang bergegas turun. Kota Marabahan, aku telah sampai. Aku mengamati sekeliling. Hampir tidak ada perubahan drastis dari kota ini semenjak sepuluh tahun yang lalu—atau lebih.
“Berapa Man?” Aku mengeluarkan dompet.
“Sepuluh.” Sopir itu menjawab tanpa ekspresi. Jelas ia tak menikmati pekerjaannya yang kian tidak menguntungkan ini.
Setelah menyerahkan selembar sepuluh ribu aku berlari membelah hujan ke arah mesjid yang tak jauh dari terminal.
Jamaah sudah selesai, terpaksa aku shalat sendirian. Huft, aku akhirnya pulang, setelah bertahun-tahun meninggalkan rumah. Ini luar biasa! Hanya beberapa kilometer lagi aku akan sampai, lalu bertemu kedua orangtuaku, sesuatu yang paling kuharamkan semenjak berlari meninggalkan rumah dulu. Tapi itu tidak berarti lagi sekarang. Ini perintah.
“Perjuangan ibu dalam melahirkan kita ke dunia adalah perjuangan hidup dan mati. Saat sudah lahir, betapapun kita rewelnya, ibu akan tetap sabar. Tanpa rasa jijik, beliau membersihkan berak kita. Ibulah orang yang paling utama wajib kita muliakan di dunia ini. Dan ayah, dengan sekuat tenaga ia berjuang agar kita bisa makan dan tumbuh. Apapun ia lakukan agar kebutuhan kita terpenuhi.” Ustadz Zamakhsyari terdiam sejenak. “Sungguh, pengorbanan mereka berdua tidak akan sanggup kita balas sedikit pun. Lalu apa yang kita lakukan terhadap mereka setelah kita besar?” Kalimat terakhir itu ia ucapkan dengan sangat pelan, nyaris berbisik. Mushalla yang biasanya gaduh selalu tenang jika Ustadz Zamakh yang mengisi pengajian.
Aku terhenyak mendengar kata-kata Ustadz Zamakhsyari. Ingatanku melayang pada bagaimana dulu ketika masih sangat kecil Ayah selalu membawakan kerupuk kesukaanku setiap pulang dari ngojek. Juga Ibu yang dengan sabar mengerok punggungku bila aku masuk angin, sambil bercerita tentang legenda-legenda Radin Pangantin, Putri Junjung Buih, Hantu Mariaban… Tiba-tiba, ada sekeping rindu yang diam-diam menyelinap.
Di asrama aku merenungi semuanya. Sejahat-jahat mereka, mereka orangtuaku. Orangtua yang penuh ikhlas dan sabar membesarkanku. Aku rindu mereka. Aku rindu rumah. Aku rindu sungai belakang rumah. Aku rindu berenang di sana bersama kawan-kawan. Aku rindu kampung halaman…
“Sal, kamu dipanggil Ustadz Zamakh!” Ketua asramaku berteriak dari biliknya.
Seperti biasa aku akan membantu-bantu Ustadz Zamakhsyari di rumahnya, kadang memotong rumput di halaman yang mulai tinggi, memperbaiki atap yang rusak, menimba air dari sumur, menjaga si kecil Abdurrahman yang baru bisa berjalan, atau apa saja. Ustadz Zamakhsyari pula yang selama ini membiayai semua kebutuhanku selama menuntut ilmu di pondok pesantren ini. Sedangkan untuk SPP bulanan aku bekerja membersihkan ruang makan pondok, tiap hari, tiga kali sehari.
Ternyata tidak ada pekerjaan sore ini. Yang ada ialah secangkir teh hangat di ruang keluarga dan senyum ustadz Zamakhsyari yang tak kalah hangat.
“Besok kamu harus pulang ke rumah.” Pelan, santai, datar.
Aku tersentak kaget. Itu kalimat yang tak pernah kuduga.
“Kamu sudah terlalu lama meninggalkan orangtuamu, waktunya kamu berbakti pada mereka.” Kembali aku teringat Ibu dan Ayah. Ustadz Zamakhsyari tahu semua tentangku, termasuk masa laluku, akan tetapi baru kali ini, setelah empat tahun aku menjadi santri di pondok pesantren ini, ia bicara mengenai orangtuaku.
“Ilmu yang kamu peroleh sudah banyak, saatnya kamu benar-benar mengamalkannya.” Ustadz Zamakh menyeruput tehnya. “Maafkanlah kesalahan mereka. Tapi yang terpenting, kamulah yang harus memohon maaf dari mereka.” Kali ini aku tidak bisa menahan air mata.
Ah, aku masih dalam shalat. Shalat magribku tidak karuan. Memang, shalatku tak pernah khusuk, tapi ini yang paling parah!
Hujan tinggal menyisakan gerimis. Selesai shalat aku mendatangi pangkalan ojek. Ojek, mengingatkanku kembali pada pekerjaan Ayah dulu sebelum aku sekolah.
“Ke Sungai Raya, berapa?” Aku langsung bertanya. Aku ingin cepat.
“Lima belas ding ai.” Itu terlalu mahal, tapi aku malas menawar. Aku sudah tak sabar ingin sampai rumah.
Paman ojek itu menyalakan motornya lalu menyerahkan helm. Aku naik. Motor perlahan melaju. Aku pulang. Perang selesai, dan aku pihak yang kalah.

***

Meski malam, masih jelas kukenali jalanan ini. Masih kuingat pohon-pohon besar di samping-sampingnya. Hanya saja, terlalu banyak lubang-lubang besar. Setelah jalan ini tidak lagi menjadi jalur utama pastilah tidak lagi mendapat perhatian.
Sesudah kelokan itu adalah Desa Sungai Raya. Kerinduan semakin memukul-mukul dadaku. Motor menikung mengikuti jalan yang berkelok. Deg.. deg… deg…
Aku seketika terpana. Cahaya lampu yang begitu terang tampak dari kejauhan. Bukankah di sana rumahku? Apa itu?
“Apa itu Man?” Aku tak sanggup untuk tidak bertanya.
“Oh… itu pengeboran minyak.”
Lidahku beku. Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepala. Rasa rindu merayap pada kecemasan. Ah, semoga saja pengeboran minyak itu tidak tepat di lokasi rumah orangtuaku. Mungkin di belakangnya, atau di sampingnya.
Tempat dengan cahaya sangat terang dalam kegelapan malam itu semakin dekat. Alat-alat besar tampak jelas dalam sinar lampu. Masya Allah, itu benar-benar tepat di lokasi rumah orangtuaku. Kini kami berada di depannya. Ojek kuminta berhenti. Aku turun dan membayar ongkos. Ojek itu kemudian berputar lalu menjauh.
Aku terpatung di tempatku. Tidak ada jalan setapak. Jalan itu kini digantikan jalan lebar dan mobil-mobil perusahaan yang hilir mudik di atasnya. Tidak ada satu pun rumah di sepanjang sisi jalan itu. Tepat di ujungnya, adalah tempat yang sangat terang itu, lokasi pengeboran minyak. Pagar-pagar tinggi dari besi mengelilinginya.
Aku mendekati tempat itu dengan tas di punggung dan jantung tak terkontrol. Semakin jelas kulihat alat-alat besar itu diiringi bunyi yang menggemuruh. Di dalamnya juga banyak kotak-kotak kontainer. Ketika sudah di depan pintu masuk, sebuah suara dari pos satpam meneriakiku. “Hey, mau apa?!”
Aku menoleh ke arah pos satpam. Ada dua orang di dalam sana. Salah seorang dengan seragam satpam keluar dan menghampiriku.
“Mau apa? Pergi sana!” Ia menggertak.
“Siapa di sini bosnya? Saya mau bicara!” Mataku tajam menatap orang itu. Aku sama sekali tak takut.
“Mau bicara apa? Kalau mau malak jangan di sini!” Ia mengambil besi yang sejak tadi terselip di pinggangnya lalu menepuk-nepuknya ke telapak tangan yang lain.
“Hey, hey, ada apa ini?” Seseorang keluar dari pos dan mendekat. Pakaiannya tampak rapi.
Aku sontak kaget saat wajah orang itu benar-benar jelas di depanku. Ia juga terlihat kaget. Aku masih ingat betul wajah itu. Kami terdiam, mata kami saling bertumbukan. Hanya gemuruh dari alat-alat besar itu yang kini memenuhi udara. Malam terasa pucat. []

Handil Bakti, 14 Oktober 2011


(Media Kalimantan, Minggu, 26 Februari 2012)
(Episode Luka, Penakita, 2012)
(Lelaki Dilarang Menangis, Penakita Publisher, Juni 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar