Minggu, 24 Juni 2012

Banjarbaru, Kafe, dan Hujan


buku kumpulan cerpen Lelaki Dilarang Menangis
Bagiku, Banjarbaru ialah romansa. Pohon-pohonnya berdaun puisi, dan bunga-bunganya adalah cerita cinta. Hujan masih deras. Ruahnya seperti ikut berjatuhan di dasar hati yang nelangsa. Di sini, aku termangu menunggumu, menatap ke luar jendela pada rumput-rumput yang terendam, ‘puisi-puisi’ kering yang dibawa hanyut air, dan ‘cerita-cerita cinta’ yang kuyup.
Aku memang selalu ke kafe ini bila sore diguyur hujan. Memesan segelas jus nangka, lalu menunggu. Menunggu hujan reda, serta menunggumu.
Aku tahu, kau tidak akan datang. Bukan tersebab hujan ini, tapi kau memang tak pernah lagi kemari. Demikian pula pertemuan kita, tak akan pernah lagi kita teguk bersama. Tapi tahukah kau, duduk di kafe ini ketika hujan, selalu membuatku merasa sedang berbincang denganmu, bercanda apa saja seperti pertemuan terakhir kita dulu? Itulah mengapa setiap hujan bertandang, aku akan berlari-lari kecil ke sini dengan satu tangan memegang payung sedang tangan yang lain sedikit menaikkan rok agar tidak terkena ciprat air.

Kafe ini sepi, sekosong ruang dadaku. Aku kesepian, benar-benar kesepian. Hidupku tampaknya memang telah digariskan untuk beralih dari satu kesunyian pada kesunyian yang lain. Segelas jus nangka telah tandas, sementara hujan masih saja sericis tadi. Langit seperti menyimpan debit air yang tak kunjung habis.
Aku sudah tidak bisa lagi menghitung berapa kali aku kemari, aku bahkan menjadi sangat akrab dengan Acil Napisah, pemilik sekaligus satu-satunya pelayan kafe yang diberi nama “Jus” ini. Letaknya tepat di depan Gang Antara. Semua orang di Kelurahan Landasan Ulin kupikir pastilah tahu kenapa gang itu diberi nama Antara, yaitu karena berada di tengah-tengah antara Al Falah Puteri dan Al Falah Putera.
Empat tahun sudah, sejak sore paling muram itu, aku selalu menghabiskan sore yang basah di sini. Menunggumu, meski aku tahu mustahil kau datang. Sore itu pun demikian, bahkan dua gelas jus nangka serta dua bungkus roti telah karam di lambungku, namun kau belum juga datang menemuiku, menunaikan janji yang telah kita ikat bersama. Aku cuma bisa terpaku menatap ke luar jendela waktu itu, sementara pikiranku selalu berharap sore itu akan sama laiknya pertemuan kita sebelumnya, hangat oleh canda dan tawa lepasmu.
Tapi sore itu, rasanya benar-benar dingin, bukan hanya oleh hujan yang kian deras, tapi juga oleh rasa sepi yang kecut. Aku benar-benar kesepian.
Hujan masih deras waktu itu…
Aku tidak pernah bisa merasa harus marah meski wajahmu belum juga menyembul dari balik pintu kafe, cinta cuma mengizinkanku satu hal: rindu. Karena itulah, aku tetap bertahan menunggumu. Menunggu tidak selalu menjemukan. Menunggu itu kadang mengasyikkan. Apalagi jika yang ditunggu itu adalah pertemuan denganmu.
Dari saku baju terusan, aku mengeluarkan pulpen dan buku saku dengan cover berwarna ungu yang selalu kubawa ke mana-mana. Di buku kecil itu biasanya kutumpahkan apa saja. Bila satu buku telah penuh tulisan, kuganti lagi buku yang baru dengan warna cover masih sama, ungu.
Seketika pulpen yang kupegang sudah menari lesu di atas halaman buku kecil itu, mengalirkan kesunyian yang meronta.
Perlahan sore merambat pada senja. Langit semakin gelap. Ini yang kutakutkan, sebentar lagi azan Magrib menggema, sementara kau masih belum juga tiba.
Aku yakin, kau tidak mungkin lupa pada janji yang telah kita sulam itu. Mengapa sampai sekarang kau belum juga datang pastilah karena kau tidak mendapat izin. Ya, apa lagi? Besok ujian akhir, aku bisa memaklumi itu.
Azan Magrib pun akhirnya berkumandang. Waktu dua setengah jam telah kuhabiskan dalam keheningan yang mengiris dan sunyi.
Izin yang kudapat hanya sampai waktu Magrib. Tidak ada alasan lagi bagiku untuk tetap menunggumu di sini. Aku sudah berbohong pada ustadzah agar sore tadi diizinkan keluar pondok dengan alasan ingin memfotokopi ringkasan. Akan runyam perkaranya jika sampai aku melewati batas waktu yang diberikan. Lagipula kau pasti tidak mendapat izin, karenanya kau tak mungkin akan datang. Jadi buat apa aku tetap di sini?
Kuhirup udara dalam-dalam, lalu kuhembuskan perlahan. Keputusan itu harus kuambil sekarang. Aku bangkit dan membayar dua gelas jus nangka dan dua bungkus roti yang tadi sudah kuhabiskan tanpa sisa. Dengan hati tak menentu, akhirnya aku berlari-lari kecil menerobos hujan. Di udara, azan masih terdengar bertalu-talu.
***
Bagiku, Banjarbaru ialah romansa. Pohon-pohonnya berdaun puisi, dan bunga-bunganya adalah cerita cinta. Seperti senja itu, senja kali ini pun hujan masih saja deras. Tapi aku tetap harus beranjak, bukan karena harus segera masuk ke dalam pondok seperti empat tahun lalu, melainkan tiket penerbangan yang bertuliskan pukul 19.30. Aku harus segera check in.
Dulu, setamat dari Pondok Pesantren Al Falah Puteri, aku hanya melanjutkan ke STAI Al Falah. Tidak seperti teman-teman lain yang kuliah jauh-jauh. Di Gang Antara aku menyewa sebuah kos murah. Maka bila hujan bertandang, aku akan berlari-lari kecil ke mulut gang dengan satu tangan memegang payung sedang tangan yang lain sedikit menaikkan rok agar tidak terkena ciprat air. Kuliahku selesai lebih cepat, dan permohonan beasiswa yang kuajukan untuk menempuh S2 di Surabaya berhasil lolos.
Ini adalah hari terakhir aku di Banjarbaru untuk waktu yang lama. Sudah ratusan sore yang basah kuhabiskan di sini. Cerita cinta ini terpaksa berakhir sekarang. Pada Acil Napisah aku membayar segelas jus nangka yang tadi kuminum lalu berpamitan. Kami berpelukan dengan rasa haru menyesak.
Acil Napisah mengantarku ke seberang jalan dengan payung. Sebuah angkot hijau-putih melambat dan berhenti tepat di depan kami. Aku mencium tangan Acil Napisah lalu segera naik ke dalam angkot. Acil Napisah melambaikan tangan. Azan magrib melantun di udara. Angkot kembali bergerak perlahan. Jus tampak lindap dari balik kaca yang berembun oleh hujan yang masih saja deras.
***
Aku mengingat Banjarbaru sebagai sebuah romansa. Sedang Al Falah Putera adalah rumah. Masa tujuh tahun menjadi santri di pondok pesantren itu, adalah bagian yang paling berkesan sepanjang hidupku.
Dan sore ini akhirnya aku bisa ke ‘rumah’ lagi setelah empat tahun meninggalkannya. Sejenak aku meruapkan rindu. Sayang, hujan masih deras. Seandainya tidak, tentu aku akan keliling-keliling pesantren, memperhatikan perubahan apa saja yang telah terjadi. Sekarang aku cuma bisa membeku dalam makam pendiri pondok pesantren ini, makam K.H. Muhammad Tsani, yang letaknya tepat di sebelah ‘tembok suci’ bagian depan. Tembok suci adalah istilah kami para santri dulu, untuk tembok yang mengelilingi pondok pesantren ini, tembok yang membatasi kami untuk menikmati dunia luar pesantren.
Aku memandang ke luar lewat pintu makam, pada jalan aspal yang basah, dan daun-daun kering yang hanyut diseret air. Terlalu banyak cerita yang bisa dikenang dari ‘rumah’ ini, dan cerita cinta adalah salah satu yang tak mungkin lamur dari ingatan. Ya, meski aku tahu pasti, cerita itu terlalu mustahil bisa berlanjut. Itu cerita lama yang tak mungkin lagi terulang. Ah, pertanyaan itu selalu saja menyelinap saat aku melamun seperti ini: bagaimana kabarmu sekarang?
Di luar hujan semakin deras. Aku kembali merapatkan jaket demi mengurangi rasa dingin. Ingatan tentang itu kembali bertandang. Ah, bagaimana kabarmu sekarang?
Di sini pula aku empat tahun yang lalu, seperti ini pula hujan di sore paling muram itu, terus merinai, tak usai-usai. Namun bukan hujan yang menghalangiku untuk menggenapkan janji kita sore itu. Izin keluar pondok dari ustadz tak kudapatkan hari itu, aku sudah terlalu sering minta izin sehingga tak mudah untuk kembali mendapatkannya. Dan kupikir, ustadz wali kelasku juga telah curiga karena terlalu seringnya aku minta izin dengan alasan yang bermacam-macam.
Alasan ustadz tidak mengizinkanku keluar pondok benar-benar tepat: besok ujian akhir akan dimulai, tamat atau tidaknya aku dari Pondok Pesantren Al Falah Putera tergantung hasil ujian itu, aku harus fokus muthala’ah*, tidak boleh keluar.
Sesungguhnya, karena tidak mendapat izin itu, aku justru semakin tidak fokus pada ujian. Aku yakin, saat itu kau pasti sudah menungguku di Jus dengan gelisah, namun aku jauh lebih gelisah, benar-benar gelisah. Itu akan jadi pertemuan terakhir kita untuk waktu yang lama dan tidak menentu, dan kalau pertemuan itu gagal, berarti kita tidak akan bertemu lagi, bahkan untuk mengucap selamat tinggal.
Hujan masih deras waktu itu…
Aku cuma bisa berharap satu hal: satpam lengah. Maka di makam inilah tempat yang paling tepat untuk memantau.
Tapi aku malah semakin gelisah. Senja telah menyelinap, langit semakin gelap, suara panggilan dari mic musolla sudah menggema di segenap sudut pesantren, dan hujan masih tak mau reda, sementara kesempatan yang kunanti-nanti itu belum juga tiba.
Aku sama sekali tak terganggu dengan panggilan untuk segera ke musolla itu. Aku sudah kelas 3 ‘ulya, kelas tertinggi di pesantren ini. Tidak akan ada yang menyanksiku walau aku tak shalat Magrib. Yang kukhawatirkan adalah dirimu, pertemuan kita. Aku tahu bila azan magrib telah berkumandang kau tidak mungkin lagi ada di Jus. Izin yang kau peroleh tidak pernah lebih dari waktu magrib. Terlalu besar resiko yang akan kau dapat bila berani masuk pondok lewat waktu Magrib.
Sial, satpam itu masih saja duduk anteng di kursinya sambil mendengarkan radio. Hujan deras begini, tentulah ia enggan beranjak kemana-mana kecuali satpam lain yang terkena ship malam datang menggantikan. Hujan terus berdebaman dan kulihat langit semakin hitam.
Akhirnya azan Magrib muntah. Akhirnya aku harus menyerah. Dan akhirnya aku hanya bisa mendesah. Kau pasti sudah kembali ke pondok dengan hati penuh kekesalan. Maafkan aku.
Aku tidak tahu kapan bisa bertemu denganmu lagi. Setelah ujian akhir selesai, aku harus langsung berangkat ke Bandung mengikuti seleksi masuk salah satu perguruan tinggi di sana lewat jalur beasiswa. Ijazah akan diambil orangtuaku saat acara perpisahan nanti.
Aku tak mungkin pulang hanya untuk menghadiri acara perpisahan dan mengambil ijazah pondok. Yang kugunakan nanti adalah ijazah madrasah aliyah, dan itu sudah ada padaku. Selain itu, ongkos pulang-pergi Banjarbaru-Bandung terlalu mahal bagiku. Aku tidak akan pulang kecuali benar-benar perlu.
Senja itu, aku kembali ke asrama dengan langkah limbung dan hati lunglai. Akhirnya aku kalah.
***
Aku mengingat Banjarbaru sebagai sebuah romansa. Sedang Al Falah Putera adalah rumah. Tapi aku tak bisa berlama-lama di sini. Waktu magrib telah tiba. Aku ingin ke Jus sebentar, sekadar bernostalgia, kemudian pulang ke rumah dalam artian sebenarnya.
Aku keluar makam, mengangguk pada satpam yang jaga dengan seulas senyum. Ia satpam baru, aku tidak kenal. Di parkiran, sebuah taksi yang kucarter dari bandara tadi menungguku. Aku naik, dan sopir menyalakan mesin. Mobil bergerak pelan. Sepasang tangan pengelap naik turun di kaca depan.
Hanya perlu beberapa menit untuk sampai di depan Jus. Taksi kuminta berhenti. Segera aku keluar dan berlari.
Kafe ini sepi. Hampir tidak ada perubahan yang kutemui, semuanya nyaris sama seperti empat tahun dulu. Aku memesan segelas jus alpukat dan duduk di dekat jendela, tempat favorit kita. Meja di hadapanku sedikit basah terkena tempias hujan. Kenangan itu pun tiba-tiba harum kembali. Canda kita, tawa lepas kita, rayuanku, pipi merahmu. Hhh…
Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sehingga baru saja menyadari bahwa di pojok meja itu, tergeletak sebuah buku saku dengan cover berwarna ungu. Ah, bukankah itu seperti milik…
Aku baru saja akan meraihnya ketika mendadak dari pintu seorang perempuan berjilbab masuk. Penjaga kafe tampak sangat terkejut dengan kedatangan perempuan itu dan memberondongnya dengan banyak pertanyaan.
“Buku saku ulun ketinggalan!” jawaban perempuan itu terdengar samar di antara berisik hujan yang masih saja deras.
Langkah perempuan itu kemudian berayun menghampiri mejaku. Wajahnya kini bisa kulihat dengan jelas, dan seketika aku tahu, cerita lama itu masih punya kelanjutan.[]

Handil Bakti, 2 Desember 2011

*) mengulang-ulang pelajaran

(Radar Banjarmasin, Minggu, 24 Juni 2012)
(Lelaki Dilarang Menangis, Penakita Publisher, Juni 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar