Di rumah kami ada sebuah jam dinding. Satu-satunya jam dinding. Jam dinding itu sengaja kugantung di ruang tengah. Alasannya sederhana, agar aku mudah melihatnya setiap kali hilir mudik di dalam rumah. Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari jam dinding itu. Biasa-biasa saja. Bentuknya pun seperti jam dinding kebanyakan, bundar dengan warna putih yang dominan kecuali bingkainya yang berwarna merah, dan berdetak tiap detik.
Saat kuperhatikan, sekilas jam itu tampak normal. Dan siapapun yang memerhatikan, pasti juga akan berpikir demikian. Aku sendiri tidak yakin kalau jam itu ternyata terlambat satu jam. Awalnya kusadari ketika azan magrib. Aku sontak terkejut melihat jam itu baru menunjuk pukul setengah enam, padahal biasanya azan magrib berkumandang sekitar pukul setengah tujuh. Karena tak percaya, aku segera memeriksa jam di ponsel. Ternyata memang benar, terlambat satu jam.
Memang, sebelum aku benar-benar menyadari bahwa jam dinding itu terlambat satu jam, perkara-perkara ganjil kerap kutemui. Jika biasanya aku tiba di kantor paling awal, justru sekarang menjadi terbalik, aku malah terlambat satu jam. Untuk sekali dua, bos masih bisa maklum. Mengingat sebelumnya aku tidak pernah telat masuk kerja. Tapi kejadian itu terus berulang, aku selalu terlambat satu jam. Bos mana yang bisa tahan melihat anak buahnya selalu datang terlambat? Termasuk bosku, pemilik biro peminjaman uang tunai tempat aku bekerja.
Berhari-hari aku terlambat datang ke kantor. Bos mulai menunjukkan rasa tidak sukanya. Setiap kali bertemu, wajahnya kecut dan sering membentak. Untung saja aku segera menyadari bahwa semua itu gara-gara jam dinding yang terlambat satu jam. Ya, jam dindingku saja rupanya yang salah.
Istriku, ia memang tak terlalu banyak berurusan dengan jam dinding. Wajarlah jika ia juga tak menyadarinya. Ia punya jam biologis sendiri. Azan subuh mengalun, ia bangun. Setelah selesai shalat, ia akan mengerjakan pekerjaan rumah apa saja yang bisa ia lakukan. Sampai malam. Jadi istriku tidak pernah repot dengan jam dinding, kecuali aku.
Lalu kenapa sampai sekarang jam dinding itu masih telat satu jam, itu pun ada ceritanya. Ketika aku sadar bahwa jam dinding itu terlambat, aku langsung mengambil kursi untuk mengambil dan memperbaikinya.
“Habis baterai ya, Kang?” tanya istriku ikut memerhatikan ketika aku membuka tutup baterai dan melepasnya.
“Iya nih, barangkali. Soalnya selalu telat satu jam,” jawabku singkat, lalu meminta agar ia mengambilkan baterai baru di dalam lemari. Setelah baterai kuganti, dan waktunya kusesuaikan dengan jam di ponsel, jam dinding itu kugantung lagi. Sempurna. Tidak ada lagi masalah pada jam dinding itu. Aku pun lega. Besok tidak akan lagi aku telat ke kantor. Pada bos akan kuceritakan penyebab keterlambatanku selama beberapa hari ini.
Besok paginya, tanpa kusangka, kembali aku terlambat tiba di kantor. Kali ini, bos marah besar. Aku hanya diam dan khawatir jika seandainya ancamannya benar terjadi. “Bila kamu masih suka telat, saya tidak akan segan-segan memecat kamu!”
Sepulang dari kantor, segera kuperiksa jam dinding di rumahku. Ternyata, lagi-lagi jam itu terlambat satu jam. Aku heran. Kuperiksa baik-baik. Tidak ada yang rusak. Jarum detiknya masih berdetak dengan normal. Kucek, berapa lama waktu yang diperlukan jam dinding itu untuk menggeser jarum penunjuk menit dari angka 12 ke angka 1. Jam di ponsel kujadikan acuan. Tepat lima menit! Berarti masih normal. Lalu kucoba mengecek jarum penunjuk jamnya. Istriku tampak heran melihat aku yang satu jam lebih hanya memandangi jam dinding. Waktunya tepat satu jam! Berarti tidak ada yang bermasalah. Lalu di mana letak kesalahannya? Atau jangan-jangan saat tengah malam jam itu mati selama satu jam, lalu hidup lagi? Bisa jadi. Ah, tapi aneh. Namun semua keanehan ini tak kuceritakan pada istriku. Nanti bisa dikiranya aku tidak waras.
Malamnya, sebelum tidur, kucek sekali lagi, apakah jam dinding itu masih sesuai dengan jam di ponsel. Benar, masih sama-sama pukul sepuluh lewat lima menit. Aku pun tidur. Keesokan paginya, aku sudah tidak bisa lagi menyembunyikan keanehan jam tersebut dari istriku. Lagi-lagi jam itu terlambat satu jam!
“Akang yakin?” tanya istriku dengan dahi berkerut.
Aku kesal. “Kamu tidak percaya?”
“Percaya, kok. Mungkin jamnya memang rusak. Ya sudah, nanti di pasar aku beli jam yang baru saja,” jawabnya santai sambil berlalu ke arah dapur.
Aku sedikit lega. Namun tetap saja kebingunganku tidak terjawab. Kenapa selalu terlambat satu jam? Benarkah pada tengah malam jam itu mati selama satu jam lalu hidup lagi? Ah, sudahlah, yang penting pagi ini aku menyadari kesalahan jam itu. Setidaknya, aku bisa ke kantor tepat waktu.
Sepulang kerja, sebuah jam dinding baru telah kudapati menggantikan jam dinding sebelumnya. Kulihat jam di ponsel. Sama. Semoga saja jam dinding baru ini tidak punya masalah seperti jam dinding sebelumnya.
Besok paginya, aku tercengang tidak percaya.
“Jamnya terlambat dua jam!!!!”
Teriakan itu menyeret istriku ke ruang tengah dengan langkah tergopoh-gopoh. Ia tak kalah heran dan cuma melongo menatap jam dinding itu. Seterang ini, baru pukul 5 pagi!
“Kamu beli yang murah kali.”
“Mungkin,” giliran istriku disusupi pertanyaan besar di kepalanya.
“Ya sudah, aku saja nanti yang cari jam baru. Langsung di toko jam aja. Yang mahal sekalian.”
“Kita cari sama-sama aja, Kang. Kita kan sudah lama tidak jalan-jalan.”
Malamnya sesudah shalat magrib kami jalan-jalan. Tujuan utama tentulah ke toko jam. Aku memilih yang bingkainya terbuat dari kayu jati, dan istriku setuju.
Besoknya, istriku membangunkanku. Sayup-sayup terdengar azan subuh dari masjid di depan komplek tempat kami tinggal.
“Kang, coba lihat jamnya…”
Sambil mengucek mata, kulangkahkan kaki ke ruang tengah.
“Apa?! Masih jam dua?!”
Pagi itu, sambil sarapan, kami berunding. Keputusannya, tidak perlu lagi beli jam. Kami pakai jam yang pertama saja, soalnya terlambatnya cuma satu jam. Namun untuk mengetahui waktu, jam di ponsel sebagai gantinya.
Beberapa hari aku tidak lagi melihat jam dinding. Yang kulihat untuk mengetahui waktu kini adalah ponsel. Ajaib, jam dinding itu tetap terlambat satu jam. Seharusnya jika memang berputar hanya 23 jam dalam sehari, mestinya semakin hari semakin bertambah keterlambatannya. Namun ini tidak. Apakah sudah kembali normal?
Pada istriku kujelaskan hal tersebut. Ia menyarankanku menyesuaikan jam dinding itu. Tanpa ragu kusesuaikan jam tersebut ke waktu yang semestinya. Esok paginya, kembali jam dinding itu terlambat satu jam! Bangsat!
Kami pun pasrah. Itulah ceritanya mengapa jam dinding di rumahku terlambat satu jam. Puncak peristiwa ini adalah ketika ponselku tertinggal di kantor. Karena buru-buru, tanpa sadar aku kembali melihat ke jam dinding. Hari itu adalah hari yang membuatku seperti orang tolol. Lagi-lagi aku terlambat tiba di kantor. Bisa ditebak, bos kembali marah dan kali ini ancamannya tidak main-main. Aku akan dipecat jika sekali lagi terlambat. Sialnya, ia tak percaya dengan cerita jam dinding yang terlambat satu jam itu. Alasan saja, katanya.
Tapi itu tak lagi jadi masalah, karena sekarang aku punya pekerjaan baru yang tidak lagi mementingkan ketepatan waktu, yaitu jadi anggota dewan. Dengan menjual sepeda motor dan sebidang tanah warisan orangtua, uangnya kujadikan modal untuk mencalonkan diri lewat salah satu partai yang baru berdiri.
O, ya. Semenjak aku jadi anggota dewan itu, muncul keanehan baru. Jam ponselku ikut-ikutan terlambat, kadang satu jam, kadang dua jam, kadang lima jam. Herannya lagi, kadang tanggalnya juga mulai nyeleneh, ikut-ikutan terlambat. Seperti halnya jam dinding kami di rumah, berkali-kali aku ganti ponsel baru sesuai trend, namun tetap saja jamnya telat. Sayangnya, kecuali istriku, tidak ada yang mau percaya dengan perkara jam itu. Apalagi rakyat! Emangnya, tahu apa mereka?! []
Puntik Dalam, 19 Desember 2011
(Media Kalimantan, Minggu, 29 Juli 2012)
(Lelaki Dilarang Menangis, Penakita Publisher, Juni 2014)