Jumat, 05 September 2014

Drama

Satu pekan ini, hidupku seperti drama. Semacam jalinan antara kesialan dan keberuntungan. Itu dimulai soal skripsi.
Karena penguji 1 dan 2 sudah dosen luar, kupikir penguji 3 sidang skripsiku nantinya dosen dalam seperti kawan-kawan yang lain, bukan orang lahan (perawat yang bekerja di tempat kami penelitian). Itulah kenapa aku memberanikan diri melakukan hal terakhir setelah jalan buntu selalu menyambutku: manipulasi data. Ternyata aku keliru. Saat aku mendaftar sidang, ternyata penguji 3-ku orang lahan! Maka hari-hari sejak aku tahu penguji 3 adalah orang lahan sampai tanggal sidang yang telah disepakati adalah hari-hari penuh kekhawatiran.
Penguji 3-ku itu adalah kepala ruangan yang terkenal punya dedikasi tinggi. Beliau bahkan hapal semua pasien di ruangan beliau. Ditambah aku yang tak pernah menampakkan diri di ruangan itu (karena aku mencari data hanya di Instalasi Rekam Medik), maka kemungkinan terbesar data manipulasiku itu akan ketahuan beliau. Itu berarti, aku harus penelitian lagi dari awal. Itu berarti, aku tak akan bisa ikut wisuda gelombang pertama!
Sebenarnya itu salahku kenapa memilih judul skripsi dan metode pengumpulan data yang memang susah. Tapi aku punya alasan tersendiri kenapa judul itu tetap kupertahankan. Ada cerita, yang karenanya aku semangat mengerjakan skripsi ini. Akhirnya, memang benar, data yang kuharapkan tidak kudapatkan. Setelah mencoba semua usaha yang bisa dilakukan, jumlah sampel minimal 30 pasien tak tercapai. Sampel yang kudapat hanya 2. Sementara tanggal terus bergeser mendekati deadline. Kebiasaanku menulis fiksi pun akhirnya tertuang pada lembaran-lembaran skripsi. Ah, mana ada skripsi yang sepenuhnya jujur, hiburku dalam hati. Dan kini, semuanya harus dipertanggungjawabkan di hapadan penguji 3.

Rabu, 27 Agustus 2014
Aku sidang dua kali, karena penguji 2 hanya bisa pada hari Sabtu. Inilah hari sidang pertama, di mana penguji 3 akan membongkar semua hal-hal fiksi dalam skripsiku. Jam 3 siang, penguji 1 dan 3 telah datang, juga fasilitator. Sidang dimulai. Skripsi kupresentasikan dengan kegugupan yang tak biasanya. Lalu berlanjut pada sesi pertanyaan dan saran dari penguji, dimulai dari penguji 3. Pertanyaan bertubi-tubi pun kuhadapi. Sebagian kujawab dengan baik, sebagian tidak. Lalu saran-saran yang begitu banyak untuk direvisi. Mungkin ini bukan sidang yang mulus, tapi aku senang. Sangat senang. Karena tak ada pertanyaan soal data yang kudapatkan!

Jumat, 29 Agustus 2014
Revisi berdasarkan saran-saran dari penguji 1 dan 3 sudah kukerjakan. Pagi-pagi aku menyalin semuanya ke flashdisk dan membawanya ke tempat jasa print karena aku tak punya printer. Kemudian naskah skripsi yang telah kuperbaiki itu kubawa ke Banjarbaru untuk diserahkan pada penguji 2 yang akan menyidangku besok.
Jam 12 siang barulah aku tiba kembali di kontrakan. Dua temanku di kontrakan ini, Kamal dan Iqbal tidak ada di kontrakan. Mungkin sedang dinas di Rumah Sakit. Aku berbaring beberapa menit mengistirahatkan tubuh setelah perjalanan ke Banjarbaru. Setelahnya langsung mandi dan berangkat ke mesjid.
Pulang dari mesjid, aku singgah di salah satu kios membeli mie instan. Mie instan itu segera kumasak begitu tiba di kontrakan. Pintu kamar Iqbal yang sebelum berangkat ke mesjid tadi tertutup kulihat terbuka. Berarti tadi dia sempat balik ke kontrakan dan sekarang mungkin masih di mesjid. Mie instan matang. Aku membawanya ke kamar agar bisa makan sambil nonton One Piece yang beberapa hari sebelumnya ku-copy dari teman.
Sampai di dalam kamar, aku langsung terkejut. Laptop yang tadinya kutaruh di atas meja tidak ada. Aku mencari ke ruang tengah, tidak ada. Ke kamar Iqbal, mungkin ia meminjamnya, tapi tidak ada, bahkan Iqbalnya sendiri juga tidak ada. Aku panik. Aku mencari ponselku untuk menghubungi Iqbal atau Kamal. Ponsel itu sebelum ke mesjid tadi kutaruh sembarang di kasur. Dan ternyata ponsel itu juga raib! Itu ponsel yang baru saja dibelikan Ayah… Dua benda hilang sekaligus, tidak ada kemungkinan lain selain pencurian!
Aku teringat kamar Iqbal yang sebelum aku ke mesjid tadi pintunya tertutup dan kini terbuka. Kucek ke kamarnya. Sebuah netbook yang biasanya ada di mejanya juga hilang tanpa bekas. Kucek juga ke kamar Kamal, tapi kamarnya dikunci. Sebuah keberuntungan buatnya karena punya kebiasaan mengunci kamar, berbeda dengan aku dan Iqbal. Iqbal selalu membiarkan kamarnya tidak dikunci, sementara aku parah lagi, aku bahkan selalu membiarkan pintu kamarku terbuka.
Aku benar-benar panik kali ini. Aku harus memberitahukan masalah ini kepada dua temanku itu terlebih dahulu. Kucari ponselku yang satunya di dalam tas, beruntung ponsel itu tidak ikut lenyap. Pulsanya habis. Dan sialnya, saat itu uangku benar-benar sedang habis, bahkan minus. Aku tidak sempat berpikir ataupun mengecek bagaimana dan lewat apa maling itu masuk ke kontrakan kami. Yang kupikirkan hanya bagaimana memberitahu dua temanku itu terlebih dahulu. Lalu dengan motor yang bensinnya hanya tersisa sedikit, aku ke Handil Bakti ke rumah kakakku untuk meminjam uang. Dengan uang itu aku membeli pulsa. Sambil memacu motorku kembali ke kontrakan, aku mencari-cari nomor Kamal dan Iqbal. Lagi-lagi sial, nomor mereka berdua tidak ada di ponselku yang ini.
Sampai kontrakan, beruntung Kamal sudah ada di sana. Berarti hanya perlu memberitahu Iqbal, dan Kamal pastilah punya nomor Iqbal. Aku segera menceritakan kejadian barusan padanya. Ia tampak lega karena kamarnya dikunci, sehingga barangnya tidak ada yang dicuri. Sekarang tinggal menghubungi Iqbal. Tapi Iqbal tidak mengangkat ketika kami telepon, pastilah ia sedang sangat sibuk karena lagi dinas di Rumah Sakit. Pesan pendek kukirim kepadanya, menyuruhnya segera pulang karena ada suatu masalah di rumah.
Aku dan Kamal mengecek lewat mana maling itu masuk. Ternyata ia masuk lewat jendela kamar yang kami jadikan gudang. Jendela itu memang berada di sudut yang cukup terlindung. Di jendela itu juga ada bekas dicongkel dengan linggis. Satu jendela lagi juga tampak terbuka, kutebak itu jalan ia keluar (setahuku, ada aturan bagi maling bahwa jalan masuk dan keluar tidak boleh sama).
Iqbal masih tidak membalas pesan singkatku, hingga jam 4 sore. Ia segera pulang.
“Ada masalah apa, Kak?” tanyanya begitu tiba di depan pintu.
“Cek kamarmu, apa saja yang hilang,” jawabku.
Ternyata memang netbooknya yang hilang. Dan ia beruntung karena hanya itu yang hilang, uang yang ia taruh di lemari bahkan tidak dicuri si maling. Berarti akulah yang paling sial dalam insiden ini. Tapi aku beruntung, karena skripsiku sempat kusalin ke flashdisk tadi pagi. Aku juga beruntung karena tulisan-tulisanku sebagian sudah kuposting di blog, meskipun sisanya, juga data-data penting lainnya tak selamat.

Sabtu, 30 Agustus 2014
Ini sidang skripsiku yang kedua. Jam 11 aku maju sidang. Kali ini sidangku benar-benar lancar. Aku tampil dengan sangat percaya diri. Memangnya apa lagi yang bisa membuatku gugup? Penguji 2-ku ini tak akan tahu soal data yang kumanipulasi. Selain itu, karena aku sudah pernah sekali mempresentasikannya, maka semuanya telah kukuasai. Sidangku berlangsung dengan sangat singkat. Penguji 2-ku itu bahkan tampak sekali kebingungan mencari kekurangan skripsiku. Selesai sidang, aku memohon pada fasilitator agar mau memperlihatkan nilaiku. Nilaiku tinggi, di atas rata-rata.

Selasa, 2 September 2014
Aku baru menginap di rumah Bang Harie karena ada beberapa urusan di Banjarbaru, salah satunya meminta tanda tangan pada penguji 2-ku. Pulangnya aku mampir ke rumah Pak Aliansyah karena aku sudah janji kalau ke Banjarbaru akan mampir ke rumah beliau untuk memperbaiki setting Ms. Word beliau yang bermasalah. Tapi ternyata masalah itu sudah teratasi.
Saat kuceritakan soal insiden kemalingan di kontrakanku, beliau langsung mencari-cari sesuatu di lemari.
“Aku punya laptop, tapi rusak. Tidak mau nyala. Keyboardnya juga rusak. Buat kamu aja. Tinggal diperbaiki.”
Tentu saja pemberian itu kuterima dengan suka cita. Katanya, sudah dua tahun yang lalu laptop itu rusak, tidak bisa nyala. Beliau juga malas memperbaikinya karena kata beliau mengetik di laptop sangat tidak nyaman. Pointer sering terpindah sendirinya karena tangan tidak sengaja menyentuh touchpad.  Layaknya barang rusak, anak-anak beliau bahkan menjadikannya buat mainan.
Aku menduga, itu hanya masalah baterai. Dan saat kucoba, memang benar. Hanya baterainya yang rusak. Itu tidak masalah karena seperti yang kawan tahu, tanpa baterai pun asalkan sambil dicolok ke listrik tetap bisa nyala. Lalu kucoba keyboardnya. Tidak rusak! Semua tutsnya berfungsi dengan baik.
“Memang rejeki kamu, Zian…” komentar istri Pak Aliansyah.

Kamis, 4 September 2014
Melengkapi keberuntunganku, kakakku memberiku uang. Cukup banyak. Untuk beli hp baru, katanya.
Hari ini, naskah skripsiku selesai dijilid, demikian pula dengan manuskripnya, dan file PDF-nya telah kuburning dalam keping-keping CD. Semuanya telah siap dikumpul. Setelah itu, hanya yudisium dan wisuda yang kutunggu.
skripsi zian armie wahyufi
Selesai juga akhirnya... :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar