Senin, 18 Mei 2015
Jri
Jri.
Tetes infus, lalu aku membayangkan gerimis ketika engkau tengah duduk di tepi sungai, senja hari. Lalu kubayangkan pula jari yang menari di atas layar handphone, entah menunggu seseorang, atau bosan dengan orang-orang. Ya, pada akhirnya kita memang perlu setidaknya sebotol Ringer Laktat untuk jalan yang mempertemukan tanganmu dan genggamanku. Tak harus deras, kita hanya perlu gerimis, dan senja, di tepi sungai.
Seperti orang-orang yang berlalu lalang itu, bisakah mereka tiba-tiba saling menyapa, mempersembahkan bunga, dan membacakan bait-bait sajak? Engkau tidak perlu menolakku, tidak harus. Lalu keruwetan-keruwetan jalan kota akan meringkusmu sementara engkau masih dengan derai itu, atau cekikik tawa. Kesedihan yang manis, adalah suara gerimis.
Jam berapa sekarang? Kita mulai tak tahu waktu, ya. Bukankah katamu, perjalanan paling menyenangkan adalah ketika kita benar-benar telah membunuh waktu, bahkan kalau perlu melempar jam tangan dan telepon genggam dari Puncak Kantawan ke dasar Amandit? Biarkan arus dan batu-batunya yang mengkilat menelannya.
Ini telah senja, namun itu tidak berarti apa-apa, bukan? Kecuali jus alpukatmu yang tinggal seperempatnya, dan nasi goreng yang tinggal setengah piring yang enggan kau makan lagi.
Ah, tapi entah mengapa, aku tak pernah bisa benar-benar menahan masa lampau, bahkan ketika mimpiku. Padanyalah kenangan itu menerobos dan menyuntikkan ke arteri terdalam tubuhku, bahkan ke pembuluh syarafku. Kukatakan, aku mencintaimu. Kamu boleh tak memercayainya. Sederhana saja. Menjadi masalah kemudian, ketika hal itu terlupakan.
Dan aku melukismu seperti seorang anak kecil yang melompat-lompat. Menyimpan kecemasan.
Sebentar lagi, lampu jalan dan beberapa dosa, dihidupkan.
Mungkin itulah yang membuatmu memilih sejarah. Perang dan agama, apa menariknya? Bukankah angka nol lebih potensial? Nol adalah malapetaka, seperti persetubuhan yang tanpa wajah. Nol adalah titik temu semua yang kau rindukan, tak terkecuali sang mantan.
Tapi kau pun tak boleh mempercayaiku, terlebih dalam usahaku menulis ini. Gempa besar seringkali diiringi tsunami!
Nah, bagaimana dengan bibirmu? Semakin maniskah? Aku selalu senang membuatnya diam. Kukatakan, ini bukan makan, tapi bersantap. Hidup ini tidak serius, ia tak pernah berujung pada kekalahan ataupun kemenangan.
Begitulah caraku mengulitimu, tanpa pesan, tanpa jalan lurus berupa kepastian.
Engkau bilang, kau akan pergi lagi. Seperti asma yang kambuh, atau luka yang tak pernah kering. Jarak akan menjadi guru kita, katamu lagi. Agar kita membangun Rumpiang, kataku. Lalu kau tertawa, dan bertanya hal yang itu-itu saja.
Kosmos ini bukan rahim, dan aku bukan plasenta. Dan kunang-kunang menjadi dirinya hanya pada malam. Menjadi Sukab dan Alina sesungguhnya ide kita berdua.
Hei, ini hari ulang tahunmu, ya? Selamat, karena gerimis telah menjelma menjadi hujan, dan langit senja tertutup malam. Engkau menyukai keduanya, namun aku tahu, tak pernah sungguh-sungguh betah berada di dalamnya. Ya, semoga hidupmu selalu bahagia.
Sebentar, pelayan itu membawakan pesananmu, jus alpukat gelas kedua. Dunia dalam telepon genggam masih berdansa dengan matamu. Kita sampai jam berapa? Pertanyaan yang keterlaluan, jawabku. Kita menunggu hujan reda, atau menunggu hubungan kita reda? Tanyamu lagi. Kali ini aku tertawa.
Ah, masih tetap mengental, dirimu dalam jilbab biru, dan dua judul buku. Itu membuatku sulit menebak, bagaimana engkau. Membuatku terus bertanya-tanya. Haruskan aku mencoba lagi, berusaha tanpa melihat daftar panjang lelahku dan kesia-siaan dalam hidupku? Aku perlu morfin untuk meredam nyerinya. Skala empat, barangkali.
Sebuah buku kubuka, lalu film tentangmu berputar di mataku. Buku kututup, di film itu kamu menari. Buku kulempar, di film kamu terkikik manja. Aku membakar diriku, membakar orang-orang di dekatku, membakar dirimu.
Curigailah aku. Jangan terlalu percaya. Melupakan sesuatu membutuhkan teman, bukan waktu.
Seperti kata game Ingress, dunia yang kamu lihat sesungguhnya bukanlah seperti itu. Di dunia ini ada portal-portal yang harus saling dihubungkan, layaknya tangan yang saling bergenggaman.
Kesedihan itu, jika tak mampu kau tangiskan, letakkan di mataku. Hujan akan meminjamkanmu sedikit waktu untuk berbahagia. Malam ini, tidak ada yang akan pergi.
Dan perlu kutegaskan bahwa ini lebih dari sekadar koran pagi di hari minggu yang halaman sastranya kian berkurang dari hari ke hari. Ingatlah, di sana hanya akan engkau temui seonggok puisi yang telah dimuat berkali-kali layaknya ikan peda yang berkali-kali dipanaskan.
Tak ada yang perlu engkau khawatirkan. Sakit dan rasa nyaman selalu hadir bersamaan. Kita hanya tinggal merasakannya memenuhi setiap sel-sel tubuh kita, seperti napas dalam yang sering kuajarkan padamu, menghirupnya, merasakannya, menghembuskannya. Rasakan, betapa nikmatnya hidup, bernapas.
Juga bukan sekadar film yang kita tonton di bioskop, semacam sesuatu yang tak kita rencanakan pasti. Seperti ledakan molekuk, atau diagnosa yang tak bisa ditegakkan.
Sayang, malam ini semakin dingin. Sejak tadi selalu kuperhatikan caramu menatap, tersenyum, dan menangis. Cukupkah jaketmu itu menahan dinginnya? Kita masih saja sering keseleo membedakan keinginan dan kebutuhan, sesuatu yang berasal dari hati dan pikiran.
Kita belum benar-benar hidup, kita bahkan telah mati sebelum kita sempat hidup. Ingat kata-kata motivator kemarin? Masalah besar membuat kita semakin besar. Kita memang harus hidup, lebih lama lagi, lebih lama lagi, lebih lama lagi. Tidakkah kamu ingin melihat bagaimana semua ini berakhir, meski kita tahu hidup ini bukan seperti novel atau film yang memiliki kata tamat. Hidup terus berlanjut, melesat cepat dalam lintasannya.
Mari kita rumuskan lagi apa-apa yang telah berlalu, yang kita lewatkan begitu saja, apa yang kita petik begitu saja, yang akan terjadi, yang akan terlupakan, dan yang tak kunjung terjadi. Tanyakanlah sesuatu, jawab, dan putuskan. Sederhana, bukan?
Ini minggu yang berat, untuk kita berdua, tetapi percayalah, selalu ada napas yang ringan setelah kita berhasil melewatinya, selalu ada udara yang lebih segar setelah hujan usai mengguyur. Rapatkanlah jaket, tersenyumlah dengan lebih dewasa, sambutlah tempias hujan yang memercik di meja.
Aku cemas bukan saja karena siang paling bodoh itu, tapi tentang dirimu. Itulah kenapa sepanjang Banjarmasin Martapura kubuntuti laju motormu. Ironis juga ketika dulu aku mengutuki anak-anak yang mencoret baju mereka setelah pengumuman lulus lalu membonceng pacarnya keliling kota hingga larut malam. Aku sama bodohnya dengan mereka.
Jika kamu adalah sungai ini, aku ingin mandi dan tak ingin kembali.
Lantas engkau kemudian bertanya, kemanakah mengalirnya sungai ini? Menuju rahim layaknya sperma? Mungkin saja, jawabku. Mungkin pula ia tak pernah pergi jauh, selalu kembali pada waktunya.
Ya, selalu pulang, alangkah indahnya. Kamu bisa bilang tak ada yang lebih indah daripada berbaring di pantai dengan udara dan hari yang cerah. Namun bagiku, pulang, bagaimanapun cuacanya, selalu menjadi momen yang tak bisa digantikan. Semacam impian-impian kecil yang lalu terwujud.
Kupikir perjalanan kita juga tak pernah ke mana-mana, semoga engkau tidak cepat bosan dengan itu. Berdiam pun menyenangkan, bukan? Aku menyukai cara lama, memutar musik-musik sendu, menziarahi tempat-tempat yang menyisakan berkas kenangan, dan membiarkan hujan membasahi tubuhku.
Hujan reda, orang-orang mungkin memiliki alasan untuk beranjak. Kamu ingin pergi? Tidak, kita tidak pernah menunggu hujan berhenti. Kita justru menunggu hujan turun lagi. Aku memesan secangkir kopi. Hujan mengajarkan kita bahwa beberapa perasaan, butuh kehangatan.
Bukalah kotakmu. Semua orang memiliki kotak, aku ingin tahu isi kotakmu. Barangkali di sana ada foto kecilmu bersama saudaramu, puisi yang pernah ditulis seseorang untukmu, buku harian sejak engkau SMP, atau sebuah batu warna jingga yang kau peroleh entah dari mana, mungkin dari rumah sakit jiwa. Kotak yang sangat pribadi. Tentang bayangan-bayangan dari masa silam. Dengan itu aku bisa menyelamimu. Melewati gang demi gang hingga ke depan rumahmu, atau bisa saja memeluk dan menciummu.
Tapi kita pun harus merasakan yang lebih pedih lagi. Kesenangan gampang usang, namun tidak dengan kepedihan. Sesuatu yang lebih gelap dari malam, lebih mengiris dari silet yang menembus pergelangan serta memutus vena dan arteri.
Dan kematian pun, seperti kehidupan, mesti dirayakan dengan suka cita. Dengan senyum dan doa. Karena ada sungai yang mengalir dari debar jantungku menuju tubuhmu. Kematian yang wangi, seperti yang kubayangkan malam ini, aroma parfum yang biasa engkau pakai. Kematian yang harus dinikmati dengan debarnya sendiri.
Biarlah dunia terus terjaga, tidak ada yang harus merisaukan kesepian, biarkan ia bernyanyi bersama kemunafikan dan terus meletus seumpama kembang api pada malam tahun baru. Engkau akan terus menjadi wanitaku. Telah engkau bangun peradaban dalam diriku, sekalipun pada akhirnya aku, berikut kota ini, akan engkau tinggalkan untuk membangun peradaban yang lain, peradaban dalam dirimu. Itu memang kepastian yang terkutuk, dan aku ingin terus menghindarinya, lewat buku-buku, lewat kata-kata dan kalimat-kalimat tak pasti, lewat caraku menunda membalas pesan singkat yang engkau kirimkan.
Setiap hendak terlelap, impian-impianku menampakkan tubuhnya, sebuah rumah kayu, pohon, rerumputan, dan sungai. Engkau selalu di sana, tidak kemana-mana. Di antara rak-rak buku, tengah memilih buku puisi apa yang ingin engkau bawa ke balkon untuk membacanya. Engkau, wanitaku, akan merajuk di dadaku. .
Sudah larut malam, tidakkah engkau, dalam bayanganku, mengantuk dan ingin segera menghempaskan diri di tempat tidur? Aku akan mengantarmu, jika engkau mau.
Cinta tidak pernah mengenakkan, aku setuju. Hanya berisi bualan-bualan memuakkan. Tapi engkau terus mencumbu darahku, ada apakah? Apakah yang engkau hunuskan hingga memiliki menjadi satu-satunya jawaban?
Maka sebelum engkau pergi jauh lagi, sebelum perjalanan memagari keinginan-keinginan itu lagi, harus kutegaskan sekali lagi, kebahagiaan yang sederhanalah yang akhirnya menjadi tujuan terakhirmu. Peganglah tanganku, hiduplah, dan tertawalah! []
Surgi Mufti, 16-5-2015
(Media Kalimantan, Minggu, 17 Mei 2015)
Jumat, 08 Mei 2015
Have a Good Time in Bangkok & Pattaya, Thailand (Day 4)
Foto sebelum pulang |
Selesai mandi dan packing, saat nya say good bye ke staff hostel yang baik hati. Sebenernya mau pamit juga ke penghuni yang lain, tapi yah... masih pada molor juga. Segera kami sarapan di lobby sambil membawa backpack yang beratnya bertambah. Karena penuh, sampai-sampai ruang untuk barang tambahan ga ada lagi. Yah, bisa-bisa naik pesawat nenteng kresek nih, karena masih ada beberapa barang yang harus saya beli untuk oleh-oleh orang rumah. Seperti biasa, saya selalu menyempatkan diri untuk berfoto bersama staff hostel. Dan baru kali ini saya sempatkan diri untuk menulis testimony untuk hostel karena memang saya sangat puas dengan pelayanannya. Sampai hari kepulangan kami pun masih di sambut hangat si penjaga hostel. Sayang saya ngga sempat tau nama penjaga hostel yang laki-laki. Orangnya baik dan lucu. Bukan cuma staff nya yang baik, penghuni yang lain pun cukup mudah bersahabat. Dengan gampang Ndah dapat pertolongan untuk minta foto kan kami bertiga ditambah si Mr. X staff hostel. Sampai mau keluar pintu pun Mr. X berpesan : "Are you going back to Indonesia? I hope you will come back here, soon." Pastinya..!
Joging Pagi yang Kesiangan
Lumpini Park pagi hari |
Belanja ala Backpacker Kere
Moh Boon Krong |
Sibuk milih kaos buat oleh-oleh |
Celana Thai Boxing, keren nih |
Tas depan belakang saking banyaknya bawaan |
Chatuchak Weekend Market
Nasi kuning ala Thailand |
Ya sudahlah, makan aja, yang penting kenyang. Selesai makan pastinya harus minum dong. Di meja ada 5 air minum botolan. Kami di sediain gelas dan es batu, mungkin maksudnya untuk diisi air minum ini. Eits, tapi tunggu dulu... saya ingat masih punya air putih banyak di botol minum saya. Dengan ngumpet-ngumpet saya isi gelas nya pakai air minum dari botol saya, dan you know what? Dudi dan Ndah ikutan nekat kayak saya haha... ga mau rugi keluarin duit 10 baht lagi karena bayar untuk air minum. Selesai makan, si pelayan menghitung jumlah piring dan jumlah botol minum yang ada diatas meja. Karena ngga berkurang satupun dia pun sampe bingung "No drink?" katanya. "No..." kata kami tanpa dosa. Dan kami cuma di tagih makanan aja yang per porsinya cuma 40 baht. Maaf ya mas, abisnya sayang masih punya air minum, makasih gelas dan es batunya hahaha...
Kembali ke Don Mueang Airport
Akhirnya nemu bus A1 |
3 jam kemudian daratan Jakarta kelihatan dari jendela pesawat. Kelap kelip lampu jalan Jakarta terlihat lebih terang di banding Don Mueang. Kami pun di jemput bus Air Asia sampai ke pintu imigrasi. Dan, inilah saatnya berpamitan pada ke2 teman saya.
Setelah berpetualang selama 4 hari non-stop ini mata saya makin terbuka akan dunia diluar sana yang ternyata lebih aneh, unik dan menyenangkan. Bukan berarti di sini ngga menyenangkan, tapi sesekali kita menjelajah ke negeri seberang bisa membuka mata, pikiran dan persepsi kita. Pikiran bahwa masyarakat Bangkok yang ngga bersahabat atau situasi negara yang menyeramkan rasanya hilang begitu saja. Bahkan saya akan merekomendasikan Bangkok sebagai destinasi yang menyenangkan kepada teman-teman saya. Ngga ada keraguan lagi untuk membuat pernyataan : Thailand destinasi terbaik se-Asia Tenggara.
Dan, itulah yang saya dapat dan berikan selama 4 hari bersama teman baru saya. Semoga kalian yang membaca ini ngga ragu untuk merasakan pengalaman unik seperti yang saya alami. Atau mungkin suatu hari nanti kita bisa bertemu di trip lain. Sampai jumpa di jalan-jalan berikutnya :)
- DT-
Kamis, 07 Mei 2015
Have a Good Time in Bangkok & Pattaya, Thailand (Day 3)
Bangkok pagi hari |
Ok, skip dulu soal pasang bule mesum itu, kita fokus ke hari ke 3 ya. Setelah melewati malam yang berat itu akhirnya saya paksakan diri saya bangun dari tempat tidur walaupun agak kesiangan. Rencana bangun jam 7 tapi telat sampe jam 8 kurang. Langsung mandi dan sarapan sehat di lobby. Karena hotel tempat menginap Amel berbeda dengan kami ber3, kami harus janjian di satu tempat. Karena hari ini kami rencana ke Madame Tussaude jadinya kami janjian di depan Siam Discovery. Kebetulan jarak dari hotel Amel menginap cuma selemparan batu (halah bahasa marketing apartemen nih) jadinya kita ber3 yang harus kabarin kalo udah mau berangkat. Satu-satunya cara komunikasi adalah lewat WhatssApp via wifi di hostel. Jadi setelah sarapan selesai, bersiap, kabarin via WA, putusin wifi, lalu berangkat. Ngga percaya? percayalah #ikiopo?
Ketemu Pak Presiden Di Siam
Seolah udah tinggal lama di Bangkok, kita udah lancar banget naik bus. Berdiri di halte, tunggu bus, lihat bus no 47, angkat tangan kiri, dan voila! bus berenti dan buka pintu. Kita pun udah ahli cari recehan koin untuk naik bus. Cari koin 5 baht, 1 baht dan 5 satang (alias sen). Kayaknya orang Bangkok itu pemalu ya, karena sesama mereka ngga saling ngobrol. Bahkan kalo ngga sengaja saling tatap mereka langsung nunduk atau buang muka. Ngga tau memang pemalu atau memang aturan disini tuh begitu. Dan yang saya perhatikan sampai hari ke 3 ini, walaupun ada gap antara si miskin dan si kaya, mereka tetep saling berbaur. Keren. Kelihatan banget kalo kita lagi di BTS, si kaya dengan pede nya keluarin iPhone seri terbaru mereka, dan saat naik bus si miskin cuma sanggup pamer Asus Zenphone nya. Tapi begitu si miskin dan si kaya bertemu ngga ada lagi yang merasa lebih hebat, mereka menganggap sama. Kapan ya di Jakarta bisa ngilangin gap kayak gini?
Sekitar 20 menit kami sudah sampai di Siam Discovery dan ga susah ketemu dengan Amel (karena saya yang nemuin Amel duluan waktu dia lagi sbuk pencet-pencet layar iPhone nya haha..) Langsung kita ke dalam, tapi ternyata mall buka jam 10, terpaksa lah kita nunggu di pintu barengan pengunjung lain yang udah nunggu juga daritadi. Sepenting apa sih orang-orang ini ngantri di mall belum buka? Setelah ditilik dan ditelaah lebih dalam (eh mulai lagi) ternyata ada Big Sale 70% off produk sepatu di Siam Discovery. Maunya ikut antri sih karena saya juga suka produk sepatunya (saya penggemarnya malah) tapi karena ingat disini bayarnya pake baht, ya... nunggu sale di Jakarta aja deh hahay. Kami cuma lewatin antrian panjang untuk beli sepatu, kami langsung naik ke lantai 5 (kalo ga salah) menuju rumahnya Madam. Karena saya sudah pesan via online, jadinya saya ngga perlu beli-tiket lagi. Dan keuntungan saya beli via online, diskonnya bisa sampe 40% loh. Bukan ngiklan, tapi info aja biar kita bisa ngirit. Saya dapat diskon 40% tapi harus datang sebelum jam 12 siang. Keuntungannya selain diskon yang lumayan gede tadi, kita juga bisa leluasa foto-foto karena jam 10 itu relatif masih sepi (apa memang sepi terus ya?). Waktu baru berapa langkah masuk aja kita udah dibuat amaze karena melihat sosok Presiden pertama Indonesia menyambut. Walaupun belum pernah liat aslinya, tapi bentuk dan rupa nya persis banget seperti di foto. Dan ternyata bukan grup kita aja yang ribet mau foto di deket Soekarno, ternyata turis Indo yang lain (mbak-mbak arisan kayaknya) juga ngatri foto disana. Dengan berniat baik (dan memang butuh sih) saya inisiatif untuk bantu foto mereka, asal... mereka juga mau fotoin kita haha..
Ketemu om Einstein, cihuy! |
Soekarno, Presiden pertama RI |
Mahatma Gandhi |
One Direction beserta kru dadakan..haha.. |
Lagi di-interview Oprah nih |
Ngerasain 1 penjara bareng Hannibal.. hii |
Lumayan nih buat motong buah |
"Tante Oprah lagi sibuk apa sekarang?" |
Stasiun bus Ekkamai |
Harganya 119 Baht |
Nih stasiun bus Pattaya |
Ini yang namanya Songthaew |
Ripley's Believe it or Not? |
Pantainya Pattaya nih |
Ngga sengaja malah nemu ini |
Ketemu juga bundaran Dolphin ini |
Semangat makin naik begitu melihat papan biru. Ya, kita sudah hampir sampai di stasiun. Begitu sampai di stasiun saya langsung masuk ke mini market dan membeli minuman dingin. Oh, good heaven.Walaupun terlambat 15 menit dari jam 8 malam, untungnya masih ada keberangkatan jam 8,20 malam, itu artinya kita tinggal tunggu beberapa menit lagi untuk cuss ke Bangkok. Yeah, semoga ngga jadi patungan taksi haha...
Jalan tol di malam hari sama sepi nya seperti di sang hari tadi. Dan untunglah pak supir injakan gas nya lebih dalam, jadinya kami ngga harus sampai 3 jam ke Bangkok. 2 jam lebih sedikit ternyata sudah sampai di Ekkamai dan thank GOD BTS masih rame, dan artinya masih beroperasi yang pada akhirnya kami baru tau kalau BTS beroperasi sampai jam 12 malam. Tapi tetap aja lah, ngga berani jalan malam di Bangkok, apalagi harus naik bus lagi.
Insya Allah, HALAL. |
Ngga pake lama Pad thai pun ludes. Pingin nambah tapi ngga jadi ah. Akhirnya kami berjalan menuju hostel. Fiuh... ternyata acara ngebolang kali ini adalah acara bolang paling aneh tapi nyata. Besok tinggal hari terakhir, mau kemana lagi ya? Lanjutin bacanya ya...
Rabu, 06 Mei 2015
Have a Good Time in Bangkok & Pattaya, Thailand (Day 2)
Bule, kenalan dong :) |
Berlanjut ke hari-2. Syukurlah saya bisa tidur nyenyak walaupun kaki saya masih kaget menerima tuntutan jalan bertubi-tubi haha. Sudah lama saya ngga latihan kardio jadi kaki mulai letoy di tambah dehidrasi karena panasnya Bangkok kemarin. DImulai dengan bangun dari tempat tidur lalu mandi pagi. Rasa dingin dan gelap kamar dorm yang saya tempati membuat saya agak malas bangun, tapi kalo ngga bangun dari pagi bisa ngaret jadwal itinerary saya. Seperti yang lalu-lalu, setiap bangun dari kamar dorm di luar negeri pasti keadaan masih gelap dan penghuninya masih pada molor. Biasa lah, mungkin masih pada jetlag para bule itu. Sebenarnya itu sebuah keuntungan buat saya karena saya bisa leluasa pakai kamar mandi. Ngga perlu buru-buru dan santai ga takut di gedor karena kelamaan pake toilet haha.. Tapi kerugiannya saya jadi ngga bisa kenalan sesama penghuni dorm yang sepengalaman saya sesama backpacker biasanya cepat akrab.
Sarapan Ala Kadar Tapi Mewah
Sarapan sehat jam 7-11 am |
Begitu selesai mandi dan bersiap untuk berpetualang lagi, saya sempatkan untuk sarapan di lobby hostel. Saya sih ngga berharap banyak karena setau saya sarapan di hostel sekitar roti, selai, kopi dan teh. Tapi nyatanya sekarang beda. Baru kali ini saya disuguhi sarapan sehat, lebih sehat darpada sarapan sehari-hari saya dirumah hahaha... Di meja bukan cuma disuguhi roti tawar dan selai, tapi juga ada sandwich isi telur, tuna, salad, bahkan buah segar. Minumannya bukan cuma kopi dan teh tapi ada juga hot choco dan orange juice. Mantap! Saking shock nya karena disuguhi sarapan bergizi, saya sampe ragu untuk mengambil sandwich yang terbungkus rapi di meja. "Ini gratis kan?" haha... Oh my GOD, that was so embarrassing. Sambil intip di tulisan kecilnya ada tulisan FREE. Yeah! Jackpot! comot 1, semangka 2, hot choco segelas. Begitu cicipin sandwich nya, Oh my goodness, this is great! mau ngambil lagi malu haha.. Andai sarapan saya tiap pagi dirumah ada beginian, mungkin saya rajin sarapan dirumah hihi..
Bon apetite! |
Keliatan ngga tulisan FREE nya? :D |
Setelah kenyang sarapan (sebenernya mau ngambil sandwich nya buat bekal tapi malu) dan rapih-rapih akhirnya petualangan dimulai lagi. Langit hari itu sepertinya lagi bersahabat karena settingan sinar mataharinya ngga di pasang full hehe.. Cerah tapi berawan membuat suasana adem. Suasana sekitar tempat kami menginap juga agak sepi, mungkin karena masih pagi jadi yang ada cuma penjual sarapan seperti kue-kue basah macam pasar kue subuh. Yang asik disini keadaan disini ngga beda jauh dengan Jakarta tapi lebih teratur. Ngga ada tuh penjual yang ngambil separuh trotoar untuk jualan. Mereka tertib walaupun ada juga yang naruh barangnya di trotoar, tapi itu trotoar depan tokonya sendiri.
Berkunjung Ke Rumah Raja Siam
Menurut petunjuk dari staff hostel, menuju Grand Palace (GP) ngga jauh kok "Only 20 minutes by foot." katanya. Iya, 20 menit jalan kaki gaya jalan cepat atlit olimpiade kali ya.. hahaha... Kalo jalan kaki gaya backpacker narsis kayak kita gini bisa 30-45 menit, itu pun kalo ngga nyasar. Mulai dari perempatan Khok Wua kami mulai jalan sambil liat-liat kegiatan warga Bangkok pagi hari. Ngga jauh beda sama di Jakarta. Banyak toko baru buka. Suasana jalan raya di pagi hari disini ngga se crowded di Jakarta. Waktu melewati toko-toko yang baru buka, banyak toko perlengkapan militer mulai dari baju, topi, binocular dll. Dan ada 1 toko yang menjual bendera Thailand. Saya kepikiran untuk membeli nya untuk souvenir, tapi apakah boleh bendera di perjual belikan untuk turis? Daripada kenapa-kenapa mending saya ga beli deh, tau sendiri kan aturan militer & kerajaan di Thailand ini agak-agak galak soal beginian.
Ministry of Defence |
Lebih dari 20 menit kami jalan, belum keliatan pucuk GP, malah ketemu ladyboy mau nipu kami. Seperti banyak blog yang bilang kalo di dekat GP banyak scam yang menawarkan kebaikan dibalik penipuan #halah. Dan benar aja, si ladyboy tua bilang "GP is closed today, you better go to another place" Hmm... maaf deh mbak.. eh mas.. eh apalah... kita udah tau akal bulusnya, maaf ga ketipu nih yee. Kami cuma melengos pura-pura ngga denger sambil terus jalan. Setelah melihat kuncup GP langsung jalan kami semangat lagi. Di tambah bisa foto-foto selfie lagi di depan markas besar Militer. Bukan mabes sih, tepatnya gedung kementrian pertahanan. Padahal GP nya udah tinggal nyeberang eh yang lain malah asik-asik foto di gedung menteri #salahfokus.
Tuh liat OPEN EVERY DAY segede gaban? |
Akhirnya sampe juga ke GP dengan rekor waktu 40 menitan. 2 kali waktu yang ditetapkan staff hostel haha.. Waktu mau masuk udah banyak turis berjubel mau ikutan masuk juga #yaiyalah. Ada yang bawa bendera untuk ngasih tau ketua grupnya, ada yang pake payung.. nah kalo kita pake tongsis aja, toh cuma ber 4 haha.. Tapi anehnya di ribuan orang ngomong pake bahasa beda-beda (mandarin, thai, english dll) ada satu bahasa yang bikin nengok, yaitu bahasa Jawa. Yeay, ternyata ada orang indo juga di kumpulan turis ini, tapi mana dia orangnya? Mirip semua, sipit, putih, pegang hp ber kamera. Ngga mau kalah heboh sama turis yang lain, saya pun bikin ke hebohan sendiri yaitu selfie pake camcorder saya. Yeah, yang lain cuma punya tongsis foto, saya video..haha #sombong.
Dan akhirnya kami sudah ada didalam rumahnya Raja Siam. Gede sih, tapi rela bagi-bagi? tapi susah bergerak karena senggol-senggolan terus sama turis lain. Rame nya ga ketulungan. Tapi emang keren sih di dalam. Detail kuil nya itu loh yang bikin tempat ini banyak yang datang. Ada juga beberapa bagian yang ngga boleh diambil gambarnya didalam untuk menghargai orang-orang yang sedang ibadah. Dan memang tempat-tempat seperti ini yang saya suka kalo datang ke negri lain. Dari situ saya bisa tau asal muasal negri itu dan sejarah singkatnya. Dengan demikian pikiran jadi terbuka dan bisa menghargai bangsa lain.
Selembar sih, tapi mahal. |
Tiket Grand Palace dan seisinya |
Riweuh euy... |
Keren |
Pose mahal nih. |
Yah, si bapak merusak moment :( |
Selesai capek muterin rumahnya Raja, kami keluar untuk pindah lokasi. Sekarang waktunya ke Wat Pho atau Reclining Buddha Tempe alias Kuil Buddha Berbaring. Lokasinya ada di belakang GP. Jalan cepatnya yaitu keluar dari pintu masuk tadi langsung aja jalan ke kiri. Saran saya sih mending kita nyeberang aja supaya bisa lihat-lihat kehidupan orang lokal disini. Ada yang jual makanan, minuman, buah sampe barang perintilan ga jelas. Kalo mau belanja disini hati-hati, jangan main ambil aja karena harganya bisa 3 kali lipat di tempat lain. Seperti yang dialami teman saya Amel, dia main pesan buah potong aja. Untungnya saya iseng nanya harganya "How much?" trus kata abangnya "Thirty.". Apaan? buah segitu 30 baht? oh, salah denger kali mungkin maksudnya 13, tapi aneh aja harganya nanggung gitu. Karena saya ingat kemarin saya beli buah melon harganya cuma 10, akhirnya saya tawar "10 baht ya?" eh, abangnya geleng-geleng. Ya elah, cuman kurangin 3 baht aja ga boleh. Taunya dia jawab lagi "Ok, 20 baht!" Lah, ternyata bener dia getok harga 30 baht? Eh, blom pernah kelilipan golok nih abangnya, tapi karena emang lagi ga pegang golok akhirnya diikhlaskan deh itu buah seplastik seharga 20 baht. Makannya sambil ngedumel tapi hahaha...
Tiket nya cuma 100 Baht, tapi fasilitasnya... |
Sampai di Wat Pho keadaannya lebih baik karena ngga terlalu ramai. Ditambah free mineral water. Yihaa.. Dan bukan cuma air botolan aja yang gratis dan bisa refill, ternyata gratis wifi juga. Modal 100 baht bisa dapet banyak, beda sama rumah Raja tadi yang mahal (500 baht) tapi cuma bisa ngadem aja di museum nya. Karena semangat ga mau rugi nya naik lagi, akhirnya bukannya kita masuk ke patung Buddha tapi malah pada repot log in wifi sambil minum di dekat air mancur ahaha... Puas update status, kami pun masuk untuk foto di depan patung Buddha. Gilee, ini patung emas gede amat ya? boleh cuil dikit ga? buat bikin cincin kawin hahaha... Masih terkesima sama ukurannya, dan keinget sama video game Street Fighter yang background nya patung Buddha tidur ini. Karena tempatnya cuma satu itu dan agak sempit jadinya harus dulu-duluan foto daripada posisinya diambil orang lain. Tapi asik sih turis-turis nya ga liar, jadi bisa antri untuk foto.
Majestic banget nih pose.. |
Kalo burem salahin Dudi yang motret :P |
Teteup... |
Pad Thai HALAL, Alhamdulillah |
Wat Pho sudah di kelilingi, sekarang waktunya cari makan siang karena udah siang juga. Jam di Bangkok sama persis seperti di Jakarta (+7) jadinya kalo ngeliat waktu di jam itu jam 1 siang, ya memang udah jam 1 siang. Pantesan perut udah teriak. Kami nyeberang menuju Pier yang menuju ke Wat Arun. Disana banyak penjual makanan termasuk makanan HALAL. Bingo! Akhirnya dapat juga Pad Thai HALAL setelah seharian kemarin susah payah cari makanan HALAL di Khaosan. Penasaran rasa Pad Thai akhirnya saya pesan untuk makan siang saya. Tapi sayangnya yang lain malah pesan Nasi Goreng seafood. Hadeh, jauh-jauh ke TH cari makanannya sama aja kayak di depan rumah. "Tapi kan disini bayarnya pake Baht" kata Ndah. Iya juga sih hahaha... Dan setelah sharing makanan, bener kan... mereka iri sama makanan saya. Pad Thai saya lebih enak dibanding nasi goreng mereka. Rasa Pad Thai mirip kwetiaw tapi mie nya ngga kenyal kayak kwetiaw, di tambah balutan #halah telur dan campuran sayuran makin cihuy rasanya. Walaupun harusnya bisa lebih enak daripada ini. Pad Thai seharga 60 baht ini lahap saya habiskan. Mau nambah sih tapi sisain tempat buat jajan aja ah, hehe.. Di dekat situ juga ada penjual sticky rice with manggo alias ketan campur mangga. Si ibu penjualnya aja tau kalo kita dari Indo. "Ketan!" katanya. Lah, apa emang bahasa Thai nya sticky rice itu ketan juga? Wallahu alam.
Pad Thai tampak atas |
Pad Thai tampak samping, Yummie.. |
Ini loh sticky rice alias ketan + mangga itu |
Wat Arun lagi dikarungin :'( |
Sudah makan kenyang, sudah jajan ketan waktunya lanjut jalan. Kami menyeberang ke Wat Arun pakai ferry seharga 3 baht. Murah banget ya? Cuma 5 menit udah sampe ke seberang. Tapi kami kecewa begitu tau Wat Arun sedang di renovasi. Ngga tau lagi ada perbaikan atau cuma dibersihin, yang pasti kuil nya lagi ditutupin. Yah, ga jadi naik ke atas deh. Tapi karena udah sampe seberang, ga sah kalo ngga foto-foto disana. Ambil background seadanya kami pun siap menambah koleksi foto kami. Ngga berapa lama kami kembali ke Pier dengan ferry tadi untuk pindah boat menuju ke Pier Marine Dept. Sebelum naik ke boat sebaiknya pastikan dulu warna bendera boat & jurusannya, karena harga nya berbeda tiap warna bendera. Karena cari yang paling murah #teteup kami memilih perahu dengan bendera orange. Menuju Marine Dept (N8) cuma 15 baht. Perahunya kurang lebih sama, cuma kenyamanannya aja beda. Kurang lebih 20 menitan kami sudah sampai ke Marine Dept. Untuk yang baru pertama kali naik boat kayak saya, sebaiknya selalu perhatikan nama Pier yang dilewati karena ngga semua Pier dilewati. Takutnya kita berpikir N8 masih jauh, trus ngitung sekian Pier baru turun, itu salah. Lebih baik begitu naik boat langsung duduk atau berdiri di sisi kiri boat dan lihat nama Pier nya. Ibu kondektur nya (eh, kondektur juga bukan ya kalo boat) sih teriak nama Pier, tapi in Thai jadi ngga jelas dia teriak apa, lebih baik usaha liat ke Pier ya.
Wajah kecewa ga bisa naik Wat Arun |
Tapi tetep gila-gilaan dong... |
Wat Traimit |
Karena saya, Dudi dan Ndah mau ke Godlen Buddha (Wat Trimit), jadinya kami turun di Marine Dept. Tapi karena Amel ada acara lain di daerah Siam, makanya dia lanjut sampai Pier Center & lanjutkan naik BTS Saphan Taksin. Ternyata Pier tempat kami turun ini ada belakangnya Departemen angkatan laut, jadi begitu keluar kita ngelewatin beberapa gedung kantornya. Dan setelah keluar gedung kantor terlihat lah gang dan warga perkampungan disana. Ahay, kita main ke kampung orang haha.. Gang nya agak besar sih, jadi bisa dilewati 1 mobil dan 1 motor. Menurut yang saya lihat di google maps harusnya keluar gedung Marine Dept, kita belok kiri, lalu gang besar pertama kenan dan ketemu jalan besar belok kiri lagi sampai ketemu perempatan. Tapi karena agak ragu dan sulit bertanya karena ternyata kami sudah ada di Chinatown yang mayoritas Chinese semua. Untung GPS saya lagi berfungsi dengan baik akhirnya ketemu juga Circle Odeon yang saya cari. dan tinggal belok ke kanan disitulah Wat Traimit.
Di google maps ini namanya Circle Odeon, ga tau nama aslinya. |
Sawatdee khap :) |
Lumayan selfiable nih lokasi. Depan MRT Hua Lampong |
Harga sesuai tinggi badan (foto : Ndah) |
Asiatique The Riverfront |
Sampai di stasium Silom, kami transit ke BTS Silom menuju Saphan Thaksin. Di bawah stasiun BTS sudah ada Pier untuk menunggu boat gratis menuju Asiatique. Yeah GRATIS, itu yang membuat kami datang kemari. Sepanjang jalan menuju Asiatique kami disuguhi pemandangan yang lebih bagus dibanding perjalanan ke Marine Dept. tadi. Ditambah suasana sore yang menjadikan suasana makin cihuy, dan teman sebangku saya yang... ah sudahlah. Sampai di Asiatique suasananya makin asik apalagi waktu si Ndah mergokin artis ibukota lagi liburan disitu juga. Shanty yang penyanyi dan pemain film itu loh, dia lagi jalan-jalan sore sama mamah nya disitu. Dan sontak (halah bahasanya makin sadis) Ndah minta di fotoin sama artis itu. Jepret, Eh si Dudi juga minta, Jepret lagi. Begitu selesai foto Dudi si artis ini langsung pamit. "Ngga mau ikut foto sama artis, Dit" kata Ndah. "Mana ada artis foto sama artis?" kata saya sambil ngeluyur hahaha...
Jadwal boat gratis |
Naik boat sore-sore menuju Asiatique |
Ternyata ada Buddha tidur lagi, tapi ga tau ini dimana |
Ini loh artis ibukota nya, yang baju biru? Bukan! |
Kalo yang pernah ke Clarke Quay di SG pasti langsung akrab sama suasan ini. Ya, 11-12 lah suasananya cuma disini harganya lebih murah sedikit daripada di SG #yaiyalah. Muter-muter ga jelas sambil liatin ABG Bangkok becanda, akhirnya kami bela-belain beli kaos seharga 200 baht disana. Hmm, bukan harga backpacker sih tapi lumayan lah. Apalagi si Dudi dapet pesanan dari teman kantornya, sepatu Monobo (kalo ga salah). Udah dicari ke semua outlet ternyata cuma versi sendal aja yang ada, versi sepatu nya ga beredar disana kali. Ah, untunglah ga ada yang berani nitip barang sama saya. Teman-teman saya cuma berani bilang "Jangan lupa oleh-oleh." tapi ngga spesifik. Ok, saya kasih koin baht sisaan liburan juga oleh-oleh kan namanya? hahaha...
Tetap bersenang-senang... (foto : Ndah) |
Ini loh kaos 200 baht itu |
Keren kalo sore ajah |
Pulangnya bisa liat ini. Majestic banget. |
Berburu Barang Belanjaan
Foto : Ndah |
Karena harga di Asiatique diluar budget backpacker kami, akhirnya kami pindah ke lokasi lain. Takut boat GRATIS nya habis, jadinya kami pulang dari Asiatique ngga berani malam-malam. Jam 6 sore kami langsung cuss menuju BTS Saphan Taksin lagi dan lanjut menuju Siam. Lokasi yang kami tuju berikutnya adalah Moh Boon Krong alias MBK. Kalo di SG ada Lucky Plaza, di KL-MY ada Sungei Wang, nah di Bangkok ada MBK. Begitu masuk, ya biasa aja sih. Seperti ITC di Jakarta banyak dijual barang-barang yang ngga perlu. Yang kita cari sebenernya souvenir murah sekitar kaos, gantungan kunci, magnet kulkas, tas tangan dll. Niatnya memang bukan mau belanja sekarang, takutnya ribet bawa belanjaan segambreng. Akhirnya kita cuma mampir ke supermarket untuk survey coklat, keripik atau makanan yang ngga ada di Indo.Niatnya mau liat-liat aja tapi malah nyomot ini itu dan jadinya harus dibayar deh haha... Saya beli keripik durian, keripik kelapa dan beberapa dried fruit. Dudi beli keripik dan jajalan lain (saya lupa dia ambil apa aja, tanya sendiri aja ya) dan Ndah malah beli bumbu dapur haha... Dia kira belanja bulanan kali. Tapi alasan dia super banget "Biar bisa bikin Thai food dirumah". Baiklah kalau begitu.
Coklatnya mahal :'( |
Masih ada keripik & dried fruit |
Solar dried natural... halah... PISANG SALE! |
Khaosan Road |
Udah capek jalan seharian kamipun kembali ke hostel. Dari MBK kami keluar dan cari Bus 47 lewat sana. Tapi dasar bandel, udah dibilangin naik bus disini harus di halte. Ndah dan Dudi maksa nunggu di pinggir jalan, ya dilewatin terus sama bus nya haha... Ketemu bus 47, bayar 6,5 baht dan samai lah kami di Khok Wua. Jalan sedikit ketemu Khaosan Road. Karena belum makan malam saya langsung ngeluyur ke dalam KFC. Saya dengan pede nya memesan Nasi dan Ayam. Tapi saya kecewa waktu pesanan saya di tolak. Kok bisa? Padahal kemarin saya beli Nasi dan Ayam goreng oleh pegawai yang sama. Kemarin bisa kenapa sekarang ngga bisa? Saya sempat berdebat sedikit sama leader outlet nya. Dia kekeuh cuma jual yang ada di kartu menu. Malah saya sampe bilang "Yesterday, I can buy Rice and Fried Chicken. You can ask her." sambil nunjuk ke mbak yang satu. Kasian juga sih, tapi ya abisnya dia diem aja ga belain. Karena kecewa dipaksa beli maenu yang ada di kartu, akhirnya saya bilang "Ok, thank you. I'm done!". Saya langsung instruksi yang lain untuk keluar dari sana.
Abang Kebab Ganteng (foto : Ndah) |
Yah, masa malam ini ngga makan? Untungnya baru beberapa langkah ada gerobak kebab Turki dan ada tulisan HALAL segede abangnya (ya ga juga sih). Ngga pake mikir langsung nanya harganya cuma 60 Baht. Ok, malam ini saya makan kebab. Cuma saya dan Dudi yang pesan. Ndah ngga mau makan malem katanya takut ndut. Padahal udah saya bujukin "1 kebab ngga apa-apa kali. Apalagi abangnya ganteng tuh, masa ngga beli?" haha... Abangnya mesem-mesem aja, jangan-jangan dia ngerti kita ngomong apa. Selain makan kebab ternyata Dudi masih sanggup jajan coconut ice cream. Dan ternyata rasamya...? Biasa aja katanya hahaha... Waktu makannya ga mikir apa-apa, begitu selesai dia bingung buang sampai batok kelapa nya dimana? FYI, di jalan agak jarang ada tempat sampah umum.
Coconut Ice Cream |
Lumayan, kebab 60 baht buat ganjel perut malam ini. |
Makan kebab sambil jalan menuju hostel di malam hari yang sepanjang jalan kedengaran ajeb-ajeb tapi mulai sunyi begitu dekat ke hostel. Ya, hostel kami berjarak 300 meter dari pusat ajeb ajeb jadinya bisa tidur nyenyak malam ini. Perut kenyang, kaki pegel, hati senang. Sampai ketemu besok hari di petualangan lebih menantang lagi.
Langganan:
Postingan (Atom)