Rabu, 05 Februari 2014

Cerita dari Masa Lalu

Hari ini aku belajar bahwa semua kebaikan yang kita berikan pada orang lain pasti akan kembali pada kita, entah dengan jalan apa, entah lewat cara apa.
Siang tadi, usai shalat Jumat, aku ke Banjarbaru. Membeli buku, sekalian mengantarkan buku pesanan Hasan. Kami janjian di OnOff, karena memang di situlah kami biasa kumpul, sebuah pondok kecil yang saban Ahad menjadi kelas menulis novel. Aku dan Hasan merupakan siswa di sana, setidaknya aku sempat menjadi siswa di sana, sebelum akhirnya aku mengundurkan diri.
Kami banyak ngobrol, aku menanyakan soal pekerjaannya, dan ia menceritakannya. Kupikir Hasan termasuk orang yang luar biasa. Ia masih mahasiswa, semester akhir, sama sepertiku, namun ia telah lama menjadi guru tetap dengan gaji yang cukup besar di almamaternya, SMIH Martapura.
Tadi sore ia bercerita dengan panjang bagaimana ia bisa mendapatkan pekerjaan itu. Tapi aku tidak akan menceritakan itu, bukan itu yang ingin kuceritakan di sini. Yang ingin kuceritakan justru ceritanya ketika cerita tentang pekerjaannya itu selesai.

“Sekolah kami punya hubungan kuat dengan pesantrenmu itu, Al Falah.”
Aku diam, mencoba mengingat-ingat apakah pesantrenku dulu itu juga merasa punya hubungan kuat dengan SMIH Martapura. Kurasa tidak, nama SMIH saja aku baru kali ini mendengar. Tapi mungkin saja iya, hanya saja aku yang ketika di pesantren itu kurang bergaul jadinya tidak tahu.
Aku bertanya bagaimana hal itu bisa terjadi. Namun Hasan  tidak langsung menceritakannya. Ia justru menambahkan,”Kamu tahu, Zian, setiap ada anak Al Falah yang pindah ke SMIH pasti sangat dihormati...”
Aku semakin penasaran, kuburu ia dengan pertanyaan, hingga mengalirlah ceritanya....
“Cerita ini cerita yang terus diulang pimpinan kami. Kepala sekolah kami...”
Baik, kupikir ini akan menarik.
“Pimpinan kami itu, dengan pimpinan pertama pesantrenmu dulunya sama-sama belajar di Mekkah.”
Ya, almarhum K.H. Muhammad Tsani, pendiri Al Falah dulunya memang sekolah di Mekkah.
“Nah, ketika di sana, pimpinan kami itu kehabisan uang. Kamu pasti bisa menebak kelanjutannya. Ya, pimpinanmulah yang kemudian membiayai hidup pimpinan kami selama di sana...”
Aku takjub.
“Sekarang pimpinanmu itu masih hidup?” tanyaku.
“Ya, masih.”
“Dan cerita ini selalu beliau ceritakan ke murid-muridnya?”
“Ya, selalu.”
Ceritanya terus berlanjut. Saat aku akan pulang, dengan bercanda kukatakan padanya, “Berarti kamu juga berhutang denganku. Kamu harus membantuku ketika aku perlu bantuan.”
“Ya, pasti,” jawabnya.

Sabtu, dini hari, 1 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar