Jika sebelumnya aku pindah "rumah" di dunia maya, kali ini aku pindah rumah di dunia nyata. Sebuah rumah kontrakan.
Seperti halnya blog yang sudah berkali-kali pindah, pindah kontrakan kali ini pun bukan yang pertama kalinya. Jika dihitung, selama aku kuliah sudah empat rumah kontrakan yang kutempati. Itu tidak termasuk rumah saudaraku di Handil Bakti yang mana dulu, saat pertama kuliah, aku numpang tinggal di sana, lumayan ketimbang harus bolak-balik dari rumah orangtuaku di Mandastana (Sekitar 20 Km dari Banjarmasin).
Tapi karena tak enak terlalu lama numpang di rumah keluarga saudaraku itu, aku pun memutuskan mengontrak rumah di Banjarmasin. Bukan keputusan yang mudah, karena orangtuaku tak akan membiayai sewanya. Aku sendirilah yang harus menanggung biayanya jika ingin ngontrak rumah.
Kalau ingatanku tak salah itu saat semester tiga. Kebetulan temanku Tri juga ingin ngontrak. Saat itu ia ngekost dekat kampus, sebuah kost-kostan seadanya namun mahalnya luar biasa. Maka bersama Tri aku mencari rumah kontrakan dua kamar.
Ada seorang tante yang pekerjaannya memang mencarikan rumah kontrakan untuk mahasiswa, maka dengan tante tersebut kami minta bantuan. Setelah meninjau rumah-rumah yang ditawarkan tante tadi, pilihan akhirnya jatuh pada sebuah rumah bekas salon di samping jalan Jahri Saleh. Tempatnya cukup nyaman dan sangat mudah ditemukan. Terlebih di depan rumah kontrakan kami itu ada sebuah mushalla. Ada cerita tersendiri menyangkut mushalla tersebut, tapi tidak sekarang aku menceritakannya.
Hanya tiga bulan tinggal di kontrakan tadi, kami harus pindah, padahal kami sudah membayar sewa untuk empat bulan. Rumah itu ternyata tergadai, dan sudah jatuh tempo. Uang sewa kami yang sisa satu bulan itu pun dikembalikan.
Kami lalu kembali menghubungi si tante pencari kontrakan. Karena waktu itu buru-buru, kami ketemu rumah bedakan satu kamar. Tempatnya sangat nyaman, bersih, dan tenang. Hanya saja, selain kamarnya yang cuma satu (walaupun besar), lokasi kontrakan itu lumayan jauh dari kampus, di Sungai Jingah ujung, sangat ujung, sampai jalan aspalnya hampir habis. Lima bulan di sana, kami kembali pindah.
Nah, kepindahan berikutnya ini aku dan Tri berpencar. Ia mencari kontrakan bersama kawan-kawan Batu Licin-nya, sementara aku bersama Kamal, kawan saat di pesantren dulu. Ia juga kuliah di STIKES Muhammadiyah, namun baru semester satu. Awalnya aku dan Kamal mencari rumah dua kamar, tapi kemudian ada Agus, teman Kamal yang katanya juga mau ikut ngontrak, maka kami pun mencari yang tiga kamar. Kembali lewat jasa tante pencari kontrakan, kami ketemu rumah yang cukup waw. Rumah besar bertingkat dengan fasilitas lengkap; sofa, lemari es, lemari pakaian, kasur, rak buku, dan banyak lagi, namun harganya cukup ringan. Terlebih, lokasinya sangat dekat dengan kampus, dan mudah ditemukan, di belakang Mesjid Jami. Mudahnya ditemukan menjadi hal penting bagiku, karena buat usaha jualan buku, supaya mereka yang mau mengambil bukunya langsung bisa dengan mudah mencari lokasiku. Tanpa banyak pertimbangan, kami langsung sepakat ngontrak di sana.
Seperti segala sesuatu yang diputuskan dengan gegabah, biasanya ada hal tidak baik dari keputusan itu yang luput dari pandangan: rumah itu ternyata gadaian!
Namun selama rumah itu belum dibayar si pemilik sebenarnya, kami cukup tenang di sana. Setelah beberapa bulan, formasi penghuni kontrakan mengalami perubahan. Agus tidak bisa lagi mengontrak karena harus menemani ibunya. Kami lalu mencari penggantinya. Tidak sanggup kami membayar sewanya jika hanya berdua. Seorang mahasiswa baru di kampus kami kemudian menjadi pengisi kamar yang sebelumnya ditempati Agus. Tapi hanya satu bulan, mahasiswa baru itu berhenti ikut ngontrak karena ada rumah keluarganya di Banjarmasin yang bisa ia tempati. Terpaksa kami mencari penggantinya lagi, dan sementara pencarian itu terpaksa sewa kami tanggung berdua saja. Kemudian, lewat pelangganku, kami ketemu penghuni baru, namanya Iqbal, masih sekolah kelas dua di SMK jurusan farmasi.
Jika dihitung mulai pertama kami mendiami kontrakan di belakang Mesjid Jami itu mungkin sudah hampir setahun. Uang pinjaman dilunasi kakaknya si pemilik asli. Rumah gadaian pun diserahkan. Oleh kakak si pemilik asli, bisa saja rumah ini akan ditempati sendiri, disewakan, atau digadaikan lagi. Tidak jelas, sama tidak jelasnya dengan orang-orang bank yang kadang masuk ke rumah untuk meninjau rumah tersebut. Ya, rumahnya hanya satu, namun digadaikan ke mana-mana. Entah bagaimana bisa demikian.
Kami tak ingin lagi pusing dengan status rumah yang tak jelas itu. Ya, kembali tante pencari kontrakan kami hubungi. Maka, di sinilah aku saat ini. Di sebuah rumah kontrakan baru yang cukup nyaman, di sebuah komplek yang tenang, di kawasan Sultan Adam.
Capek memang, tapi percayalah, pindah itu menyenangkan. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar