Minggu, 23 Februari 2014

Antara Aku, Buku, dan Sebuah Organisasi Kepenulisan

Harusnya ini menjadi sesuatu yang kulupakan, namun ternyata tidak. Setidaknya aku masih ingat ceritanya, meski tak sampai pada tanggalnya. Ini memang cerita lama, yang jarak lamanya sudah aku lupakan. Ini merupakan sepotong cerita antara aku dan sebuah organisasi kepenulisan (selanjutnya disingkat SOK).
Cerita ini dimulai ketika SOK akan mengadakan seminar kepenulisan dengan mendatangkan seorang penulis nasional. Ya, seminar kepenulisan, sesuatu yang sangat bodoh. Bagiku menulis ya menulis, bukan seminar, bukan organisasi, bukan pelantikan, bukan divisi ini divisi itu, bukan rekrutmen, bukan golongan (aku baru tahu di organisasi yang kumasuki itu ternyata anggotanya digolongkan menjadi tiga: muda, madya, dan entah apa). Memang, dulu aku sering ikut seminar kepenulisan, hingga kemudian aku menyadari betapa bodohnya itu, semakin tampak bodoh ketika pada akhir acara biasanya peserta dan panitia foto bareng dengan penulis yang diundang tadi. Entah apa yang ada di pikiran mereka, mungkin kalau foto bareng penulis mereka juga akan tampak seperti penulis. Sekali lagi, bagiku menulis adalah menulis. Dan si “penulis nasional” tadi, tulisannya sebenarnya tidak lebih bagus dari penulis-penulis lokal. Maka bisa ditebak, meski aku anggota dari organisasi itu, aku sama sekali tak tertarik untuk mengikutinya.
Tapi kemudian tiba-tiba saja aku menjadi terlibat. Bukan, aku bukan panitia, karena aku bukan “pengurus” SOK. Aku hanya anggota, yang rencananya saja aku tidak tahu. Demi kesuksesan acara itu, ketua panitia (selanjutnya disingkat KP) memintaku menyediakan atau mencarikan buku untuk doorprize. Sebagai imbalannya, aku dibolehkan jualan buku di sana. Aku tidak tertarik, karena aku tahu jualan buku di acara semacam itu keuntungannya sangat sedikit, jika tak bisa dikatakan tak ada. Yang ada hanya capek. Ini bukan pesimis, tapi perhitungan atas pengalaman berkali-kali.
“Memangnya para panitia pada ke mana?” tanyaku.
“Lha, kamu kan panitia juga, panitia bayangan,” jawab KP yang kemudian diiringi dengan kekehannya, kekeh khas dia.
Ia meminta bantuanku, tapi cukup berani mengusik saraf tersinggungku. Aku ingin menolak, tapi aku tidak tega. Aku ingin membantu, itu saja.
“Ya sudah, akan kuusahakan. Selain aku siapa lagi yang nantinya jualan buku di sana? Apakah si A juga?” Si A juga anggota SOK yang juga jualan buku, namun baru merintis.
“Tidak ada, kamu saja.”
Mudah saja bagiku mencari donasi buku, hampir semua penerbit lokal pemiliknya adalah temanku. Hanya lewat pesan singkat pada empat orang kawan, aku sudah dapat sekitar 40 buku, tinggal diambil saja. Salah seorang kawan malah menjawab, datang saja ke kantor, ambil berapa pun yang kamu perlukan.
Entah berapa hari atau berapa minggu setelah itu, KP kembali menghubungiku, menanyakan soal doorprize. Kujawab sudah dapat sekitar 40 buku. Ia terkejut, ia tak menyangka dapat sebanyak itu. Sebelumnya ia pernah mengajukan permohonan ke salah satu gudang penerbit yang ada di Banjarmasin dengan sejilid proposal namun hanya diberi 3 buku. KP juga menanyakan kapan aku ada di kontrakan karena ada yang ingin dibicarakan langsung, tak bisa lewat telepon.
Dugaanku benar, itu tentang sesuatu yang mungkin sulit kuterima. Di kontrakanku, ia menjelaskan penjualan tiket seminar dibantu toko buku Gramedia. Gramedia mendapat keuntungan sekian persen dari tiket yang terjual di toko bukunya. Namun selain itu, pihak Gramedia juga akan berjualan buku di acara seminar itu nanti.
Bukan hanya itu, KP menceritakan si A juga meminta jualan buku di sana, dan si B, teman KP dari Palangkaraya ingin nitip dijualkan bukunya.
Aku tak masalah dengan membagi keuntungan, karena aku tahu memang tak ada keuntungan yang nantinya bisa dibagi. Yang aku tak bisa terima ialah janji yang ia langgar. Aku selalu memegang janjiku. Aku hidup dengan menjunjung janji. Janji adalah sesuatu yang sakral buatku, bahkan mungkin lebih sakral dari shalat lima waktu. Karenanya, aku tak bisa terima jika seseorang melanggar janjinya terhadapku.
“Gimana?” tanyanya kemudian.
“Memangnya aku bisa apa?” jawabku.
Lalu kujelaskan aku mungkin tak jualan buku di sana karena ada kesibukan lain. Aku tak berbohong, pada hari H aku memang punya kesibukan lain yang kukorbankan demi membantu SOK. “Lagipula ini kesempatan buat si A untuk promosi,” tambahku.
“Tapi doorprizenya jadi kan?” tanyanya lagi, diiringi kekeh khasnya. Semacam kekeh tak berdosa.
“Bukunya belum kuambil. Kalau mau ambil sendiri saja di Banjarbaru.” Para donatur sebagian besar memang tinggal di Banjarbaru.
Saat aku ke Banjarbaru, kuceritakan masalah tersebut. Salah seorang kawan berkomentar, “Kamu punya harga diri. Jangan sampai itu diinjak orang lain.”
Kupikir selesailah sudah cerita ini, aku tak akan terlibat lagi, tak akan membantu lagi, juga tak mau tahu lagi bagaimana kelanjutannya. Urusanku sudah selesai. Tapi ternyata menjelang hari H, KP menghubungiku lagi.
“Gimana, jadi jualan?”
“Maaf, sepertinya tidak, hari H nanti aku cukup sibuk.”
“Kalau kamu sibuk panitia aja yang menjualkan buku-bukunya, gimana? Nanti kuambil bukunya ke tempatmu.”
Kuduga itu sebagai ucapan maaf, tapi katanya itu buat meramaikan.
“Gramedia gimana?” tanyaku saat KP sudah di kontrakanku memilih buku-buku yang ingin dibawa.
“Tidak jadi.”
“Kenapa?” Aku terkejut.
“Tiket yang dititipkan di sana tidak ada yang terjual.”
“Tidak satu pun?” Aku tidak percaya.
“Ya.”
“Kalau si A?”
“Tidak jadi juga.”
“Si B?”
“Sama.”
Lalu, dengan malu KP bertanya, di mana rumah donatur buku kemarin. Kupikir itu pertanyaan yang sungguh tidak tahu malu, meski akhirnya kujelaskan juga alamat salah satu temanku yang tentu saja, sudah tahu cerita sebelumnya.
Dari temanku tadi, aku tahu besoknya salah satu anggota SOK meneleponnya, menanyakan lebih rinci soal alamatnya, dan mendatanginya. Menurut kawanku tadi juga, si anggota itu sangat tidak ramah. Namun karena sudah janji, buku tetap ia berikan. Aku tidak ingat berapa jumlahnya.
Kupikir tak perlu kuceritakan apakah banyak buku yang kemudian terjual. Dari yang beberapa itu, keuntungannya untuk panitia, seperti yang sudah kujanjikan saat KP membawa buku-buku itu. Belakangan aku tahu, yang beberapa itu dibeli panitia sendiri agar tak malu saat mengembalikannya padaku.
Sampai situlah ceritanya. Dan karena beberapa pertimbangan, aku masih tergabung di SOK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar