Hari I
Belangian merupakan sebuah desa di Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan yang menjadi pintu masuk ke Gunung Kahung. Untuk sampai ke sana diperlukan waktu kurang lebih empat jam: 2 jam lewat darat, dilanjutkan 2 jam menggunakan perahu mesin (kelotok).
Aku dan Tri berangkat sekitar jam 2 siang hari Jumat kemarin (28/2/14) dari Banjarmasin menggunakan motor Mio-ku. Sebagai pemula yang tidak mengerti bagaimana naik gunung, tidak banyak yang kami siapkan, hanya beberapa lembar pakaian, sarung buat selimut, peralatan mandi, sebuah tenda yang kami pinjam dari Adit (teman yang mengajakku, lalu aku mengajak Tri), dua botol besar air mineral, beberapa bungkus roti, dan beberapa bungkus mie instan. Saat itu kami terlalu bodoh untuk berpikir apakah makanan sesedikit itu cukup untuk 3 hari, dan apakah pakaian semacam itu mampu melindungi tubuh kami dari dinginnya udara malam di pegunungan. Kami benar-benar menyesali kebodohan kami setelahnya.
Sekitar jam 4 sore, tibalah kami di dermaga Riam Kanan, meeting point para peserta yang akan berangkat ke Lembah Kahung. Bersamaan dengan kami, tiba juga 2 orang MAPALA yang nantinya akan memandu kami karena sudah sangat hapal dengan Gunung Kahung. Setelah kami, datang 4 peserta lagi yang keempatnya merupakan mahasiswa IAIN. Maka lengkaplah sudah peserta yang akan berangkat, yaitu 21 orang.
Dari dermaga, kelotok membawa kami menyusuri air bendungan PLTA Riam Kanan dengan pemandangan yang sungguh memikat. Deretan pegunungan sambung menyambung di kanan-kiri, perumahan penduduk, serta binantang-binatang peliharaan.
Sekitar jam 6, kelotok menepi di dermaga Desa Belangian. Sebuah papan bertuliskan Selamat Datang di Desa Belangian yang dipaku di cabang pohon menyambut kami. Di sini sinyal sudah tidak ada, dan power ponselku hanya tersisa sedikit. Kami berjalan menuju rumah kepala RT untuk melapor dan membeli beberapa keperluan.
Trekking pun dilanjutkan. Perumahan warga sudah kami lewati. Kami mulai memasuki hutan dengan jalan setapak yang sudah dicor semen dan sesekali berupa jalan titian kayu ulin. Gelap semakin merambat, hingga melingkupi seluruh permukaan langit, menampilkan percikan-percikan bintang. Dan sejauh ini tidak ada masalah kecuali kaki yang mulai terasa pegal.
Jalan semen telah habis. Yang tersisa tinggal jalan tanah yang tidak lebih lebar dari sebelah tanganku dan seringkali muncul kubangan becek. Kami beberapa kali istirahat. Yang cukup lama ialah di jembatan gantung, bersebelahan dengan shelter 1. Pemandangan malam hari ternyata cukup memukau, apalagi dengan kawanan kunang-kunang yang berterbangan, makhluk indah yang terakhir kali kulihat ialah saat masih SD. Hingga sampailah kami di pepohonan yang (mungkin) merupakan sarang kawanan kunang-kunang itu. Ada sungai kecil di bawahnya. Saat senter kami matikan, maka semakin jelaslah kunang-kunang yang tak terhitung jumlahnya berterbangan mengitari pepohonan itu. Setelah lama terpukau oleh pemandangan menakjubkan tersebut, kami melanjutkan trekking. Saat itu kami tidak sadar bahwa barisan telah terbagi dua, ada jarak yang cukup jauh antara barisan di depan dan barisan di belakang. Aku sendiri berada di barisan depan.
Tak jauh setelah kerajaan kunang-kunang tadi, kami tiba di sungai yang lebih besar dengan air yang cukup deras. Salah seorang kakak MAPALA membantu kami menyeberang, sementara yang satunya lagi memimpin di depan. Kami melanjutkan perjalanan, tapi kemudian terhenti saat jalan tidak terlihat jelas di depan kami. Kami memanggil kakak MAPALA yang memimpin di depan, namun ternyata beliau sudah cukup jauh di depan sehingga tak mendengar panggilan kami. Tri juga ikut menghilang di depan bersama kakak MAPALA itu tadi. Maka kami pun menunggu kawanan di belakang. Cukup lama, hingga sadarlah kami bahwa kami sudah terpisah cukup jauh. Dan sekarang lebih parah, karena kelompok terbagi menjadi 3.
Karena sangat lama, kami mulai curiga kawanan di belakang tersesat. Kakak MAPALA yang tadi membantu kami menyeberang mengajakku untuk mencari kawanan di belakang. Kami berdua pun bergegas berbalik arah, dan berjalan ke tiap tikungan yang kami temukan sambil teriak-teriak memanggil. Aku cukup kewalahan mengiringi langkah cepat kakak MAPALA tersebut. Setelah kesana-kemari berteriak dan memberi tanda-tanda lewat senter, kami tak juga menemukan tanda-tanda keberadaan kawanan yang lain. Lalu lewatlah dua orang warga dengan menggunakan motor. Mereka merupakan para pemburu Menjangan. Kepada mereka, kami menanyakan apakah ada melihat kawan-kawan kami. Namun jawabannya adalah "kadada malihat". Kami berdua kembali melanjutkan pencarian. Namun hasilnya tetap nihil.
"Ya sudah, besok pagi saja kita mencarinya. Malam begini memang susah," demikian akhirnya kata kakak MAPALA tadi. Maka kami pun berjalan kembali menuju kawan-kawan yang menunggu di depan.
Lalu, di dekat istana kawanan kunang-kunang tadi, kami menemukan belokan yang sebelumnya luput dari pencarian. Kami berdua sepakat untuk mencoba mencari ke belokan tersebut. Setelah masuk cukup jauh, teriakan kami pun mendapat balasan. Kami lega. Dari salah seorang yang tersesat itu, aku tahu bahwa mereka beruntung karena bertemu dengan rumah seorang warga. Beliaulah yang memberitahu mereka bahwa mereka salah jalur, dan bersedia mengantarkan mereka kembali ke jalur yang tepat.
Rombongan pun meneruskan perjalanan. Kakiku sudah sangat capek karena sebelumnya ke sana-sini mencari. Di perjalanan kami bertemu dengan kakak MAPALA yang sebelumnya memimpin di depan. Beliau sudah sampai di shelter 2, berpesan pada Tri untuk membuat api unggun, dan berjalan berbalik mencari kami.
Kemudian, entah bagaimana, aku dan si kakak MAPALA yang tadi membantu menyeberanglah yang kemudian berada paling depan. Kami berjalan cepat, sehingga menciptakan jarak yang cukup jauh dengan kawan-kawan di belakang. Tapi si Kakak MAPALA itu jauh lebih cepat, sehingga aku tertinggal. Aku malas menunggu yang di belakang, aku ingin cepat istirahat. Tanpa senter, aku memberanikan diri berjalan sendirian, dengan lebih cepat, sehingga tak terlihat lagi kawan-kawan di belakang. Tak bisa kubayangkan seandainya saat itu aku tersesat, hanya sendirian. Namun beruntung, akhirnya aku tiba di shelter 2, dan langsung berbagi kisah dengan Tri dan kakak MAPALA yang sudah lama tiba di sana. Entah jam berapa saat itu, mungkin jam 10 atau 11. Yang pasti aku sangat kelelahan. Yang kupikirkan hanyalah istirahat.
Hanya beberapa langkah dari shelter, sungai besar dengan air yang sangat deras memenuhi pendengaran kami dengan gemuruhnya. Malam yang pekat. Hamparan bintang membentang di hadapanku. Aku tertidur, terbangun, pindah ke "loteng", tertidur, dan terbangun lagi. Dinginnya sungguh tak terbayangkan. Dingin yang tak bisa kulawan hanya dengan baju lengan panjang, celana panjang, dan selembar sarung. Aku memakai jaket. Mencoba tidur lagi, namun tak bisa karena kakiku masih kedinginan. Aku mengambil celana panjang di dalam tas, lalu melapisi celana yang sudah kupakai. Memasukkan tubuh ke dalam sarung, dan mencoba tidur kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar