Hari II
Udara pagi terasa sangat segar. Aku memulai pagi dengan mandi di sungai besar yang airnya sangat deras dan sarapan sebungkus mie instan. Pagi ini kami akan melanjutkan trekking ke shelter 4 kemudian ke air terjun. Rencana semula, setelah ke air terjun kembali ke shelter 3 dan menginap di sana, namun rencana itu berubah karena ada dua orang cewek yang tidak bisa trekking hari ini lantaran fisik yang tidak memadai, sehingga setelah tiba di air terjun rencananya akan kembali langsung ke shelter 2. Kupikir itu akan jadi perjalanan yang sangat melelahkan. Dari yang kudengar, perlu 3 jam untuk sampai ke shelter 4, lalu dari shelter 4 perlu 2 jam lagi untuk tiba di air terjun. Kalau bolak-balik berarti 10 jam! Untuk menemani 2 cewek yang tinggal di shelter 2 tadi, kakak MAPALA yang pada malam harinya membantu menyeberang juga ikut tinggal.
Jam 8 pagi, 18 peserta yang akan trekking ke air terjun siap berangkat. Karena tidak ada acara menginap, aku dan Tri hanya membawa satu tas yang kami sepakati akan dibawa bergantian (meskipun akhirnya Tri-lah yang paling lama dapat jatah membawa :D). Perjalanan lebih banyak mendaki. Jalur trekking banyak yang berada di tepi jurang, sehingga harus benar-benar hati-hati. Sandalku yang alasnya sudah licin berkali-kali tergelincir, untungnya tidak sampai menimbulkan celaka.
Selama beberapa jam, belum ada masalah yang berarti. Hingga kemudian kawanan lintah menyerang kami. Akulah yang pertama diserang, setidaknya akulah yang pertama menyadarinya. Ia bersembunyi di bawah jari kaki kiriku dan sudah banyak mengisap darahku. Yang kedua juga aku, kali ini di tangan. Semakin ke atas, udara semakin lembab, dan lintah semakin banyak. Entah sudah berapa puluh lintah yang mengisap darahku selama perjalanan. Ia menyelinap ke balik baju, menyerang ketiak dan dada. Yang paling banyak ialah di kaki. Sedangkan kawan-kawan lain yang sudah terbiasa dengan lintah membiarkannya saja menempel di kaki. Saat di sungai barulah dibersihkan. Tidak terasa sakit memang, karena saat mengisap ia mengeluarkan semacam zat anastesi, jadi yang dihisap tidak merasa apa-apa dan tahu-tahu darah sudah banyak terisap. Tapi melihat puluhan lintah mengisap darah di kaki rasanya sungguh mengerikan. Sedikit tips, jangan memakai celana panjang dan sepatu, karena lintah suka bersembunyi di bagian-bagian tubuh yang tertutup. Juga berjalanlah dengan cepat agar lintah tidak sempat melompat ke kaki kita.
Di shelter 3, kami istirahat sejenak, lalu kembali berjalan menuju shelter 4. Lintah semakin banyak!
Sekitar jam 1 siang, barulah kami tiba di shelter 4 dan beristirahat sejenak. Jauh lebih lama dari perkiraan karena perjalanan banyak terhenti untuk membersihkan lintah yang menempel di tubuh. Aku minum sebanyak-banyaknya air sungai di dekat sana karena air yang kami beli sudah lama habis. Airnya jernih dan sangat dingin seperti air es. Kawan-kawan lain kulihat juga mengandalkan air sungai untuk minum, diminum langsung.
Di shelter 4, beberapa orang menyatakan menyerah untuk melanjutkan ke air terjun, kebanyakan yang cewek (hanya 1 cewek yang ikut lanjut ke air terjun). Tri yang fisiknya memang kuat tanpa ragu memilih lanjut. Sementara aku ragu-ragu. Tubuh terutama kakiku sangat capek, maka kupikir lebih bijaksana jika isitirahat lebih lama, lalu berbalik, sebab jika ikut lanjut fisikku pasti tidak akan sanggup, dan perjalanan pulang pastilah sampai malam hari. Meski ada kakak MAPALA yang memandu dan beliau bilang "tenang saja", tetap saja perjalanan malam hari sangat mengerikan. Di sini benar-benar hutan rimbun, berbeda dengan jalur dari desa Belangian menuju shelter 2 pada malam sebelumnya. Maka aku pun memutuskan tidak melanjutkan. Tapi.... sudah sejauh ini, sayang sekali jika tidak lanjut. Lalu, tiba-tiba aku berubah pikiran. Aku akan lanjut. Pada diriku sendiri kukatakan bahwa aku akan sanggup!
Namun, setelah beberapa puluh meter melangkah, fisikku tak lagi bisa ditoleransi. Ia benar-benar membutuhkan istirahat.
"Kenapa?" tanya Tri.
"Sepertinya aku sebaiknya balik saja," jawabku. Tas kuserahkan pada Tri. Kami berbagi roti yang masih tersisa.
Aku pun berbalik arah. Dengan cepat, dengan berlari. Aku takut kawan-kawan yang memutuskan hanya sampai shelter 4 tadi sudah berjalan balik. Lalu mendadak kakiku sakit. Keram. Ia tak bisa ditekukkan, jika ditekuk pasti sakit. Padahal shelter 4 tinggal sedikit lagi, bahkan sudah kelihatan. Terlihat pula kawan-kawan yang masih beristirahat di sana sambil mencelupkan kaki ke sungai. Mau tidak mau aku hanya bisa terduduk sambil merenungi betapa bodohnya tindakanku barusan, berlari-lari setelah kaki dipakai selama berjam-jam.
Beberapa menit, kakiku sudah bisa digerakkan lagi. Di seberang sungai, kawan-kawan menanyaiku kenapa kembali. Kujawab karena kakiku keram. Padahal keramnya baru saja.
Ternyata di shelter 4 mereka cukup lama istirahat. Kekhawatiranku akan ditinggal terlalu berlebihan. Aku bahkan masih sempat tiduran di atas batu. Jam 2 siang, barulah kami kembali dengan meninggalkan pesan pada kawan-kawan yang meneruskan perjalanan.
Kami berjalan dengan cepat, meski beberapa kali terhenti karena bingung menentukan jalan yang tepat. Siang saja membingungkan apalagi kalau malam, pikirku. Karena berjalan dengan cepat, hanya sedikit lintah yang berhasil melompat ke kaki kami. Lagipula kami sudah mulai terbiasa dengan lintah. Langkah kami semakin cepat ketika melihat ada babi hutan. Selama perjalanan kembali itu aku sempat terjatuh dan mengakibatkan celanaku robek di bagian bokong. Sekitar jam 5 sore, kami, 8 orang yang tak sanggup meneruskan perjalanan ke air terjun itu sudah tiba kembali di shelter 2.
Yang kupikirkan saat tiba di shelter 2 hanyalah mandi. Aku mandi sangat lama. Usai mandi dan ganti baju aku memasak mie instan dengan meminjam kompor milik kakak MAPALA yang membantu menyeberang. Sambil menyantap mie instan aku terlibat perbincangan menarik dengannya. Dan saat itulah kakak MAPALA itu memberitahuku, bahwa gunung Kahung ini sebenarnya sangat angker, terutama di shelter 4. Nama desa Belangian sendiri artinya ialah "balai berkumpulnya makhluk halus".
Selesai menyantap mie instan, aku meneruskan membaca Into the Wild-nya Jon Krakauer. Dan tak lama, tanpa kuduga, kawan-kawan yang tadi melanjutkan perjalanan ke air terjun sudah tiba kembali di shelter 2, termasuk Tri.
"Gimana?" tanyaku.
"Mantap bro air terjunnya!"
"Kok cepat banget?"
"Kami berjalan tanpa stop..."
Kami juga membicarakan logistik kami yang hampir habis, hanya tersisa 2 bungkus mie instan. Jadi malamnya mau tak mau aku dan Tri menerima ajakan makan kawan-kawan lain.
Tidak banyak yang terjadi malam itu, kecuali udara dingin yang semakin ganas dari malam sebelumnya. Dan bayangan lintah yang menempel di kaki terus membayang hingga aku tertidur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar