Bukit yang memiliki pemandangan menakjubkan ini mendadak booming setelah banyak yang mengupload foto dan menshare-nya di sosial media. Maka tidak mengherankan, jika satu bulan terakhir setiap akhir pekan bukit ini sangat ramai layaknya pasar.
***
Sebagaimana yang sudah kita maklumi bersama, jika perjalanan direncanakan jauh hari, biasanya justru gagal. Perjalanan kami ini terlaksana justru karena sifatnya yang dadakan. Malam Jumat Tri ke kontrakanku, saat itulah kami berdua merencanakan ini. Rencananya, agar tidak ribet kami hanya akan berangkat berdua saja tanpa mengajak teman yang lain. Malam itu juga aku mendapatkan nomor HP paman pemilik kapal yang biasa membawa pengunjung dari Riam Kanan ke Pulau Pinus, pintu masuk Bukit Batas. Setelah menanyakan harga, kami tercengang: 450 ribu! Dan itu tak bisa ditawar lagi.
Rencana kami hanya berangkat berdua pun harus kami ubah. Kami menghubungi kawan-kawan lain yang mungkin bisa diajak. Targetnya adalah 10 orang, sehingga kami hanya perlu patungan 45 ribu untuk ongkos kapal.
Sabtu siang, waktu yang telah kami sepakati untuk berangkat, terkumpullah 13 orang: aku, Tri, Rofik, Zehek, Abob, Ica, Ufik, Yudis, Rijal, Pacar Rijal, Teman Pacar Rijal, Aya (bukan perempuan), dan Pak Jarot (teman Aya di TNI). Enam orang pertama adalah mereka yang hari liburnya tinggal 2 hari itu.
Pukul 12.30 kami berangkat. Sekitar pukul dua siang, kami telah tiba di Riam Kanan dan di sana telah menunggu Paman Otong, pemilik kapal yang kami sewa. Namun kata Paman Otong dia tidak bisa mengantar karena kesibukan, dan akan digantikan teman sejawatnya, Abah Nisa. Sebelum naik kapal, kami mengisi perut dulu di Riam Kanan. Lalu kami naik kapal yang ukurannya cukup besar. Bahkan terlalu besar untuk kami ber-13.
Sekitar satu jam, kami sampai di Pulau Pinus yang merupakan pintu masuk menuju Bukit Batas. Di sini, kami foto-foto dulu sejenak. Dari Pulau Pinus, kami menyeberang jembatan ke 'pulau' di sebelahnya.
Pulau Pinus |
Jembatan Antar Pulau |
Dari sinilah perjalanan mendaki dimulai. Kami melewati perkampungan warga, di mesjid kami singgah untuk shalat dan buang hajat. Melewati rumah kepala RT 2, kami dikenakan retribusi sebesar 5 ribu rupiah perorang. Bukan masalah, karena menurut teman yang sering ke sini dana itulah yang digunakan untuk biaya pembersihan Bukit Batas dari sampah-sampah yang ditinggalkan pengunjung. Kami juga mengisi semacam buku tamu. Dari situ kami tahu bahwa di atas sana sudah ada 80-an orang mendaki.
Pendakian berlanjut, dan permukiman warga sudah tidak tampak lagi. Semakin ke atas, jalan semakin curam. Zehek yang punya kebiasaan merokok berkali-kali 'tersandar' bahkan 'terbaring'. Beda sekali dengan Aya dan Pak Jarot, jalan mendaki ke Bukit Batas bagi dua tentara ini tampaknya upil belaka.
Sampai di atas, kami tercengang, bukan hanya oleh pemandangan yang memukau, tapi juga karena beberapa warung yang ada di sana. Kami yang telah membawa banyak minuman dan makanan benar-benar kecewa. Kalau tahu begini, tak perlu repot-repot bawa bekal! Tapi sekali lagi, pemandangannya memang luar biasa.
Warung yang Bikin Kecewa Para Pembawa Bekal |
Kami berisitirahat, main UNO, ngobrol sama bule dari Swiss, dan tentunya, apa lagi kalau bukan: foto-foto!
Kami juga menyiapkan tenda. Hanya ada satu tenda, dan itu untuk para perempuan dan untuk menaruh tas. Sementara para laki-laki akan tidur tanpa tenda di atas matras (dalam hal ini karpet, tikar plastik, dan jas hujan). Kami juga membeli beberapa ikat kayu bakar di warung untuk menghangatkan malam nanti.
Siluet Abob dan Ica, Menikmati Sunset Berdua |
Sunset di Bukit Batas |
Para pengunjung kian berdatangan. Begitu banyak. Menurut Dilah dan Kak Nanda, teman yang tiap akhir pekan ke sini dalam rangka jasa paket trip, minggu yang lalu saja ada 700-an yang naik, entah hari ini. Selain Dilah dan Kak Nanda, dari sekian banyak orang itu aku juga bertemu Wahyu, Subhan, dan Haji Halim. Mereka adalah teman saat di pesantren dulu.
Langit gelap. Malam merambat. Pengunjung masih terus berdatangan. Kartu UNO yang kami bawa benar-benar memberikan manfaatnya malam ini. Entah berapa jam waktu yang kami habiskan untuk memainkannya dan menertawakan yang bernasib sial hingga perut keram.
Potongan kecil tikar yang dibawa Abob tak henti-hentinya jadi bahan olok-olokan teman-teman. Malam itu sungguh menyenangkan, dan beruntung sekali karena tidak turun hujan.[]
Foto-foto di Pagi Hari |
Si Bule Pulangnya Nebeng Kami |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar