Salah satu yang menarik manakala membaca cerpen Zian Armie Wahyufi dalam kumpulan Lelaki Dilarang Menangis (bersama Aliansyah Jumbawuya, 2014) yaitu keberhasilan Zian menampilkan cerpen suasana. Dari tujuh cerpen Zian yang terhimpun dalam kumpulan tersebut, ada beberapa cerpen yang termasuk dalam cerpen suasana. Pada cerpen suasana, yang menonjol yaitu suasananya. Cerpen suasana bisa saja berangkat dari hal-hal yang mungkin dianggap kecil. Akan tetapi suasana pada cerpen tersebut yang (kadang-kadang) disajikan dengan bahasa puitis sebagaimana layaknya sebuah puisi, justru membuat cerpen menjadi semakin memikat.
Dalam penulisan cerpen di Indonesia, cerpen suasana tentu saja bukan sesuatu yang baru. Cerpen suasana dapat dibaca misalnya pada cerpen Korrie Layun Rampan dalam kumpulan Malam Putih (1983), pada cerpen Umar Kayam dalam kumpulan Sri Sumarah (1995), pada cerpen Sapardi Djoko Damono dalam kumpulan Pengarang Telah Mati (2001), dan pada cerpen Seno Gumira Ajidarma dalam kumpulan Sepotong Senja untuk Pacarku (2002). Sementara pada pengarang Kalimantan Selatan, cerpen suasana dapat dibaca misalnya pada cerpen Sandi Firly dalam kumpulan Perempuan yang Memburu Hujan (2008) dan pada cerpen Ratih Ayuningrung dalam kumpulan Pelangi di Ujung Senja (2013).
Pada cerpen suasana, suasana dapat dibangun misalnya (terutama) berdasarkan deskripsi dengan bahasa yang puitis sebagaimana layaknya sebuah puisi. Cerpen suasana juga dapat dibangun misalnya berdasarkan deskripsi dan (terutama) dialog.
Pada pengarang Kalimantan Selatan, cerpen suasana dapat dibangun misalnya berdasarkan (terutama) deskripsi, dialog, dan monolog. Hal tersebut dapat dibaca misalnya pada cerpen “Perempuan yang Memburu Hujan” karya Sandi Firly (2008:86-95). Cerpen suasana juga dapat dibangun misalnya berdasarkan (terutama) deskripsi dan dialog. Hal tersebut dapat dibaca misalnya pada cerpen “Pelangi di Ujung Senja” karya Ratih Ayuningrum (2013:37-46).
Berdasarkan beberapa contoh cerpen suasana seperti disebutkan di atas, bagaimana dengan cerpen suasana Zian Armie Wahyufi? Pada cerpen Zian, suasana tampaknya pertama dibangun dengan deskripsi dan dialog. Hal tersebut dapat dibaca misalnya pada cerpen “Jalan Pulang” (2014:91-102). Suasana yang sangat terasa pada cerpen tersebut terutama perpaduan antara rasa rindu, sedih, dan cemas. Dalam rangka menyajikan suasana tersebut, pengarang terutama mendeskripsikannya dengan latar waktu pada sore hingga senja hari dengan diiringi tetesan hujan. Hal itu sudah tampak pada permulaan cerpen tersebut seperti pada kutipan berikut:
“Di luar, rintik-rintik hujan kembali menderas. Ricisnya seperti berjatuhan di dasar hati. Sore yang murung. Kaca jendela di sampingku yang mengembun sudah beberapa kali kuusap, sehingga mataku bisa lebih leluasa memandangi sungai kecil di sepanjang sisi kiri jalan yang diguguri tetesan hujan itu” (2014:91).
Cerpen tersebut menceritakan mengenai seorang lelaki – sebagai tokoh utama – yang kembali pulang kepada orangtuanya. Dalam perjalanan pulang, terutama dari terminal Handil Bakti menuju Marabahan, dalam taksi colt dengan suasana hujan lelaki tersebut teringat dengan masa lalunya. Lelaki tersebut ternyata pergi meninggalkan orangtuanya. Mengenai kepergian lelaki tersebut meninggalkan orangtuanya pengarang mengatakan:
“Kamu, lelaki yang naik taksi colt dengan hati dilanda badai. Orangtua yang tak pernah menghentikan pertengkaran, orangtua yang selau menganggap salah apa yang kamu lakukan, orangtua yang menghinamu sekeji binatang jalanan, orangtua yang selalu menyebutmu anak durhaka tanpa bosan. Kamu muak! Kamu memasukkan beberapa lembar pakaian dan barang-barang penting dalam tas yang biasa kamu pakai untuk sekolah. Kamu memecahkan celenganmu dan memunguti uang-uang receh itu dengan tergesa. Kamu berlari menerobos hujan, di atas jalan setapak yang becek menuju jalan raya. Kamu melambaikan tanganmu pada taksi colt yang merangkak pelan” (2014:92).
Setelah pergi, lelaki tersebut diceritakan akhirnya terdampar di kota Banjarbaru. Di kota Banjarbaru, lelaki tersebut menjadi pengamen, pengemis, dan tumbuh menjadi preman. Bertahun-tahun kehidupan semacam itu digelutinya. Lelaki tersebut juga pernah terluka dan harus dioperasi hingga sembuh. Hingga diceritakan ia sekolah pada sebuah pesantren. Ketika di pesantren itulah seorang ustadz, Zamakhsyari namanya, meminta agar lelaki tersebut segera pulang menemui orangtuanya.
Pada malam hari, lelaki tersebut sampai di kota Marabahan. Kemudian ia naik ojek, menuju tempat tinggalnya, Desa Sungai Raya. Sejak di dalam taksi colt, hingga naik ojek, rindunya kepada orangtua semakin mendalam. Namun ketika naik ojek menuju desanya, lelaki tersebut terpana karena dari kejauhan dilihatnya cahaya begitu terang. Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalanya. Rasa rindu merayap pada kecemasan. Ketika tempat dengan cahaya yang sangat terang itu semakin dekat, alat-alat berat tampak jelas dalam sinar lampu. Ternyata benar, tempat tersebut memang tepat pada lokasi rumah orangtuanya.
Ketika berada di depan tempat dengan cahaya yang sangat terang itu, lelaki tersebut terpaku. Setelah sekian tahun ia tinggalkan, segalanya telah berubah. Tidak ada jalan setapak yang dulu ia tinggalkan. Jalan itu kini digantikan dengan jalan lebar dan mobil-mobil perusahaan yang hilir mudik di atasnya. Tidak ada satu pun rumah di sepanjang sisi jalan itu. Pagar-pagar tinggi dari besi mengelilinginya. Tepat di ujungnya, tempat dengan cahaya yang sangat terang itu, ternyata lokasi pengeboran minyak.
Lelaki tersebut mendekati tempat itu. Ketika berada di depan pintu masuk, lelaki tersebut diminta pergi oleh satpam yang menjaga lokasi itu. Namun tak lama kemudian, seseorang keluar dari pos dan mendekatinya. Seseorang itu pakaiannya tampak rapi. Lelaki tersebut sontak kaget saat wajah orang itu terlihat jelas di depannya. Seseorang itu juga terlihat kaget. Mereka terdiam. Mata mereka bertumbukan. Hanya gemuruh alat-alat besar yang memenuhi udara. Malam terasa pucat.
Cerpen di atas, memang diakhiri secara terbuka oleh pengarang. Pembaca diberi kebebasan untuk menafsirkan, misalnya siapa seseorang yang menemui lelaki tersebut di akhir cerita. Apakah itu ayahnya atau bukan? Kemudian, pembaca juga diberi kebebasan untuk menafsirkan, misalnya apa yang terjadi setelah lelaki tersebut (andaikata) bertemu dengan ayahnya seperti pada paragraf terakhir dari cerpen tersebut. Begitu seterusnya.
Cerpen dengan akhir yang terbuka, memang kadang-kadang seperti sebuah teka-teki. Pembaca diberi kebebasan untuk menjawabnya. Begitu pula pada cerpen tersebut. Bahkan tidak hanya di akhir cerita, beberapa peristiwa pada cerpen tersebut memang ada juga yang menimbulkan pertanyaan. Misalnya, mengapa orangtuanya tidak suka kepada lelaki tersebut? Hingga lelaki tersebut harus pergi meninggalkan orangtuanya. Pertanyaan lain, mengapa lelaki tersebut kemudian akhirnya diceritakan sekolah di pesantren? Selain itu, mengapa lokasi rumah orangtuanya akhirnya menjadi tempat pengeboran minyak?
Sebuah cerpen memang bisa saja menimbulkan (beberapa) pertanyaan atas suatu peristiwa yang dikemukakan oleh pengarang. Akan tetapi, kalau penjelasan mengapa (setiap) peristiwa itu terjadi dianggap perlu, tentu saja akan lebih baik. Lebih-lebih pada saat cerita itu masih berlangsung (bukan pada akhir cerita). Soalnya, peristiwa yang tanpa penjelasan akan dapat mengaburkan pemahaman bagi pembaca untuk kepaduan sebuah cerita pada cerpen yang tengah dibacanya.
Terlepas dari hal tersebut di atas, jelas bahwa cerpen Zian yang berjudul “Jalan Pulang” merupakan cerpen suasana. Begitu pula dengan cerpen Zian yang berjudul “Barjarbaru, Kafe, dan Hujan” (2014:112-120). Pada cerpen tersebut, suasana tampaknya dibangun dengan deskripsi dan monolog. Suasana yang sangat terasa pada cerpen tersebut terutama perpaduan antara rasa sepi, cemas, dan rindu. Dalam rangka menyajikan suasana tersebut, sebagaimana cerpen “Jalan Pulang”, pengarang terutama mendeskripsikannya dengan latar waktu pada sore hingga senja hari dengan diiringi guyuran hujan. Hal itu sudah tampak pada permulaan cerpen tersebut seperti pada kutipan berikut:
“Bagiku, Banjarbaru ialah romansa. Pohon-pohonnya berdaun puisi, dan bunga-bunganya adalah cerita cinta. Hujan masih deras. Ruahnya seperti ikut berjatuhan di dasar hati yang nelangsa. Di sini, aku termangu menunggumu, menatap ke luar jendela pada rumput-rumput yang terendam, ‘puisi-puisi’ kering yang dibawa hanyut air, dan ‘cerita-cerita cinta’ yang kuyup” (2014:112).
Cerpen tersebut bercerita dari dua sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang seorang perempuan. Perempuan tersebut berasal dari Pesantren Al-Falah Puteri. Kedua, dari sudut pandang seorang lelaki. Lelaki itu berasal dari Pesantren Al-Falah Putera. Pada suatu sore mereka berjanji akan bertemu pada sebuah kafe. Kafe tersebut, kafe Jus namanya, terletak di depan Gang Antara. Diberi nama Gang Antara karena gang tersebut berada di tengah-tengah antara Pesantren Al-Falah Puteri dengan Pesantren Al-Falah Putera.
Dari sudut pandang perempuan, diceritakan pada sore hari ia menunggu lelaki itu di kafe Jus. Pada sore itu hari hujan. Hingga senja, hingga magrib, lelaki itu tidak datang, tidak memenuhi janjinya. Perempuan tersebut benar-benar merasa kesepian. Pada saat seperti itu, ia sering menumpahkan perasaannya di buku saku yang covernya berwarna ungu. Meskipun demikian, sejak peristiwa itu, bila sore hari ia masih terus menunggu di kafe tersebut. Kemudian diceritakan perempuan tersebut kuliah di Surabaya. Beberapa tahun kemudian, ketika pulang, perempuan tersebut kembali menunggu lelaki itu di kafe Jus. Apakah lelaki itu akan datang menemuinya?
Dari sudut pandang lelaki, lelaki itu mengemukakan mengapa ia tidak bisa datang menemui perempuan tersebut pada suatu sore sebagaimana yang sudah mereka sepakati. Kata lelaki itu ia tidak bisa menemui perempuan tersebut pada sore itu bukan karena hujan. Kalau begitu apa alasannya? Kata lelaki itu ia tidak datang memenuhi janjinya kepada perempuan tersebut karena pada sore itu ia tidak mendapat izin keluar dari pihak pesantren. Soalnya, ia sudah sering meminta izin keluar pesantren dengan berbagai alasan. Selain itu, pihak pesantren tidak memberi izin karena besoknya ujian akhir akan dimulai di Pesantren Al-Falah Putera. Hingga setelah selesai ujian, lelaki itu harus berangkat ke Bandung melanjutkan studinya ke perguruan tinggi.
Sekali waktu, ketika lelaki itu kembali ke Pesantren Al-Falah, ia pun menyempatkan diri ke kafe Jus. Pada saat itu, sore hari, sore yang juga basah oleh hujan, sebagaimana sore yang dulu mereka sepakati untuk bertemu di kafe Jus. Ketika lelaki itu berada di kafe, kafe tampak sepi. Meskipun demikian, semua kenangan yang dulu pernah mereka rajut di kafe itu, kembali hadir. Lelaki itu menyangka pada sore itu tidak ada siapa-siapa di kafe Jus. Namun, ketika dilihatnya di atas meja ada sebuah buku saku dengan cover berwarna ungu, lelaki itu jadi tersentak. Ketika lelaki itu mau meraih buku saku terebut, tiba-tiba seorang perempuan berjilbab masuk. Perempuan tersebut melangkah menuju meja lelaki itu. Wajah perempuan tersebut dapat terlihat dengan jelas oleh lelaki itu. Seketika itu pula lelaki itu dapat menerka bahwa cerita lama antara dirinya dengan perempuan tersebut masih punya kelanjutan.
Begitulah akhir dari cerpen “Banjarbaru, Kafe, dan Hujan”. Sebagaimana cerpen “Jalan Pulang”, cerpen “Banjarbaru, Kafe, dan Hujan” juga diakhiri secara terbuka. Pembaca diberi kebebasan untuk menafsikran, misalnya siapa perempuan berjilbab yang melangkah menuju meja lelaki itu? Apakah perempuan itu perempuan yang dulu menunggunya pada sore hari sesuai dengan janji yang mereka sepakati ketika mereka sama-sama masih sebagai santri di Pesantren Al-Falah? Dari buku saku dengan cover berwarna ungu yang terletak di atas meja, tampaknya dapat dinyatakan bahwa buku saku tersebut memang milik perempuan yang selama ini dirindukannya. Hal tersebut, sebagaimana sebelumnya dikemukakan pada cerita yang berdasarkan dari sudut pandang perempuan, dikatakan bahwa perempuan tersebut sering menumpahkan perasaannya di buku saku yang covernya berwarna ungu. Selain itu, pada cerpen tersebut pembaca juga diberi kebebasan untuk menafsirkan, misalnya apa yang terjadi setelah lelaki itu akhirnya bertemu dengan perempuan tersebut? Begitu seterusnya.
Selain kedua cerpen di atas, pada cerpen Zian, suasana tampaknya juga dapat dibangun dengan deskripsi, dialog, dan monolog. Hal tersebut dapat dibaca misalnya pada cerpen “Secangkir Kopi Air Mata” (2014:75-82). Suasana yang sangat terasa pada cerpen tersebut terutama perpaduan antara rasa sepi, rindu, dan sedih. Berbeda dengan dua cerpen sebelumnya, jika dua cerpen sebelumnya pengarang terutama mendeskripsikannya dengan latar waktu pada sore hingga senja hari dengan diiringi tetesan hujan, pada cerpen “Secangkir Kopi Air Mata” pengarang terutama mendeskripsikannya dengan latar waktu pada malam hari. Hal itu sudah tampak pada permulaan cerpen tersebut seperti pada kutipan berikut:
“Lagu dari Avril Lavigne mengalir lembut. Secangkir kopi hitam masih mengepulkan asap beraroma sedap. Namun sejak tadi kau hanya menatap kopi itu tanpa sedikit pun menyentuhnya. Dapat kudengar desah napasmu kian berat meski tersamar oleh musik sendu yang mengalun lembut dari Pojok Mingguraya. Malam belum tua, namun udara Banjarbaru telah menusukkan dinginnya hingga ke balik switer yang kukenakan” (2014:75).
Cerpen tersebut diungkapkan berdasarkan sudut pandang seorang perempuan mengenai seorang lelaki. Perempuan tersebut mengungkapkan pertemuannya kembali dengan seorang lelaki pada suatu malam di Mingguraya, Banjarbaru. Mereka kembali bertemu setelah sekian tahun berpisah. Pertemuan mereka pertama kali juga di Mingguraya. Mereka bertemu pada saat ada acara Tadarus Puisi, acara pembacaan puisi yang sudah beberapa tahun diadakan setiap bulan Ramadhan di Mingguraya, Banjarbaru. Pada saat itu, lelaki itu mengatakan bahwa ia seorang santri Pesantren Al-Falah Putera. Ia berasal dari Grogot. Pada malam acara Tadarus Puisi tersebut, lelaki itu membacakan sebuah puisi yang berjudul “Gadis Senja” yang dipersembahkan khusus untuk perempuan yang baru dikenalnya pada malam itu.
Setelah pertemuan pertama itu, mereka masih sering bertemu. Bahkan hampir setiap bulan mereka bertemu di tempat yang sama (Mingguraya, Banjarbaru). Hingga tanpa disadari oleh perempuan tersebut, ternyata ada debar-debar aneh yang memikat hatinya terhadap lelaki itu. Namun, pada suatu hari lelaki itu menelepon bahwa satu minggu lagi merupakan waktu kelulusan baginya sebagai seorang santri. Setelah itu lelaki itu akan pulang ke Grogot dan tidak bisa dipastikan kapan kembali lagi ke Banjarbaru. Akan tetapi perempuan tersebut mengatakan bahwa ia akan tetap menunggu. Sementara lelaki itu mengatakan bahwa ia pasti suatu saat akan kembali ke Banjarbaru dan ia berjanji akan menikahi perempuan tersebut. Meskipun usia perempuan tersebut, lebih tua dari lelaki itu.
Setelah pertemuan terakhir itu, setelah mereka saling berjanji, mereka pun berpisah. Beberapa bulan mereka saling memberi kabar melalui telepon genggam. Semula lancar saja. Akan tetapi kemudian, nomor ponsel milik lelaki itu tidak lagi bisa dihubungi. Komunikasi antar mereka kemudian terputus. Lelaki itu seperti menghilang. Berbagai cara telah diusahakan oleh perempuan tersebut agar ia bisa berkomunikasi dengan lelaki itu, namun hasilnya nihil. Sementara itu, orangtua perempuan tersebut terus mendesak agar anaknya – perempuan tersebut – segera menikah mengingat usia anaknya yang semakin menua.
Setelah sekian lama berpisah, pada suatu malam mereka bertemu kembali di Mingguraya, Banjarbaru. Pada saat itulah lelaki itu menumpahkan kerinduannya sekaligus kesedihannya. Bahkan tetesan air mata lelaki itu menyatu pada pekatnya kopi hitam dalam cangkir yang ada di hadapannya. Itulah sebabnya, barangkali, cerpen tersebut diberi judul “Secangkir Kopi Air Mata”. Namun, mengapa lelaki itu begitu bersedih ketika kembali bertemu dengan perempuan tersebut? Jawabnya tidak lain karena perempuan tersebut ternyata sudah bersuami dengan lelaki lain. Kemudan perempuan tersebut, pergi menemui suaminya, meninggalkan lelaki itu.
Dari ketiga cerpen suasana Zian Armie Wahyufi sebagaimana dikemukakan di atas, jelas bahwa ketiga cerpen tersebut bernada sendu. Bahkan antara cerpen “Jalan Pulang” dengan “Banjarbaru, Kafe, dan Hujan” memiliki latar yang kurang lebih sama, terutama dengan latar waktu sore dan senja yang diiringi dengan tetesan bahkan guyuran hujan. Sementara antara cerpen “Banjarbaru, Kafe, dan Hujan” dengan “Secangkir Kopi Air Mata” memiliki cerita yang kurang lebih sama, yaitu mengenai seorang perempuan yang bertemu kembali dengan seorang lelaki setelah sekian lama berpisah. Meskipun pada cerpen “Banjarbaru, Kafe, dan Hujan” pertemuan kembali antara seorang lelaki dengan seorang perempuan menumbuhkan kebahagiaan, sementara pada “Secangkir Kopi Air Mata” pertemuan kembali antara seorang lelaki dengan seorang perempuan menimbulkan kesedihan.
Satu hal yang perlu dicatat, bahwa Zian tampaknya berupaya menampilkan teknik bercerita yang berbeda antara cerpen yang satu dengan cerpen lainnya. Pada cerpen “Jalan Pulang”, Zian menggunakan sudut pandang akuan, yaitu seorang lelaki. Pada cerpen “Banjarbaru, Kafe, dan Hujan”, Zian menggunakan dua sudut pandang akuan sekaligus, pertama sudut pandang akuan dengan seorang perempuan, kedua sudut pandang akuan dengan seorang lelaki. Sementara pada cerpen “Secangkir Kopi Air Mata”, Zian memang juga menggunakan sudut pandang akuan. Akan tetapi berbeda dengan kedua cerpen sebelumnya, pada cerpen “Secangkir Kopi Air Mata”, Zian menggunakan sudut pandang akuan dari seorang perempuan yang bercerita mengenai seorang lelaki.
Teknik bercerita dengan bervariasi seperti di atas, tentu saja sesuatu yang sangat menggembirakan bagi perkembangan cerpen Zian untuk masa selanjutnya. Lebih-lebih bila Zian akan terus mengembangkan cerita suasana yang juga dengan berbagai variasi hingga semakin menarik bagi pembaca. Meskipun bagi pembaca yang kurang jeli, terutama karena menggunakan sudut pandang akuan yang berbeda pada ketiga cerpen di atas, bisa menyulitkan pemahaman terhadap cerpen yang tengah dibacanya. Untuk itu, sekali lagi, semoga pada masa mendatang Zian akan lebih baik lagi dalam mengembangkan cerpen suasananya. Semoga. []
Daftar Pustaka
Ajidarma, Seno Gumira. 2002. Sepotong Senja untuk Pacarku. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
Ayuningrum, Ratih. 2013. Pelangi di Ujung Senja. Banjarmasin: Penerbit Tahura Media.
Damono, Sapardi Djoko. 2001. Pengarang Telah Mati. Magelang: Penerbit IndonesiaTera.
Firly, Sandi dan Harie Insani Putera. 2008. Perempuan yang Memburu Hujan. Banjarmasin: Penerbit Tahura Media.
Kayam, Umar. 1995. Sri Sumarah. Cetakan Ketiga. Jakarta: Penerbit PT Dunia Pustaka Jaya.
Rampan, Korrie Layun. 1983. Malam Putih. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Wahyufi, Zian Armie dan Aliansyah Jumbawuya. 2014. Lelaki Dilarang Menangis. Banjarbaru: Penerbit Penakita Publisher.
(Media Kalimantan, Minggu, 14 Desember 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar