Penghuni toilet itu menghilang. Ia tak ada di toiletnya. Selama ini, selain ke kampus, ia selalu berada di toiletnya ini. Tapi hari ini, hingga larut malam kutunggu, ia masih belum pulang.
Namanya Yoyo. Pertemuan pertamaku dengan Yoyo adalah ketika pengumuman kelulusan masuk di sebuah perguruan tinggi swasta di Banjarmasin.
“Bagaimana, lulus?” tanyanya dengan gaya seperti kami sudah lama kenal.
Aku mengangguk dan balik bertanya, sekadar basa-basi untuk menghargai ajakannya bicara.
“Iya, lulus juga. Sudah dapat kost?” Kupikir itulah hal sebenarnya yang ia ingin tanyakan.
Kujawab bahwa belum, dan kujelaskan bahwa sementara ini aku ikut tinggal di rumah saudara.
“Bagaimana kalau tinggal di kontrakanku saja? Sewanya kita bagi dua.”
Aku tidak langsung menjawab. Tinggal serumah dengan orang yang belum dikenal tentu bukan sesuatu yang bijaksana. Seolah membaca pikiranku, Yoyo mengulurkan tangan.
“Namaku Yoyo. Kamu tidak perlu khawatir, kalau ada barangmu yang hilang selama tinggal denganku akan kuganti.”
Aku menyambut tangannya dan menyebutkan namaku. Kutanyakan di mana kontrakannya.
“Cukup jalan kaki dari sini.”
Pertemuan itu selesai. Aku tidak langsung menerima tawarannya, hanya mengatakan akan memikirkannya. Untuk sementara tempat tinggal bukanlah masalah buatku karena ada saudaraku di kota ini.
***
Selama dua bulan kuliah, aku jarang bertemu dengan Yoyo karena kami beda jurusan. Hanya sekitar lima atau enam kali aku pernah bertemu dengannya, itu pun hanya sekadar menyapa, tanpa obrolan.
Setelah dua bulan kuliah itu pula, aku memiliki pacar. Cantik. Namanya Gina. Hal itu membuatku perlu tempat tinggal sendiri, tidak menumpang dengan saudara. Saudaraku dan orangtuaku orang yang taat agama, yang bila mengetahui aku pacaran pasti akan marah besar. Aku perlu bebas. Bebas dari pengawasan saudara, bebas pacaran, dan bebas membawa pacar ke tempat tidur.
Maka siang itu, ketika aku bertemu Yoyo, aku langsung menanyakan apakah tawarannya untuk patungan membayar rumah kontrakan masih berlaku.
“Tentu saja!” jawabnya dengan wajah tampak senang. “Kapan kamu mengangkut barang-barangmu?”
Kutanyakan apakah aku boleh lihat-lihat dulu.
“Boleh. Sekarang?”
Aku mengusulkan memakai motorku. Namun ia mencegah. “Kita jalan kaki saja. Cuma lima menit,” terangnya.
Dan memang hanya lima menit kami telah sampai di depan pintu kontrakan yang dimaksud. Ini sebuah rumah petak atau rumah bedakan dengan lima pintu yang masing-masing rumah hanya dipisahkan sebuah tembok.
“Ayo masuk,” katanya sambil membuka pintu.
Aku mengikuti di belakang. Sesuai dugaanku, di dalamnya hanya ada satu kamar untuk rumah sekecil ini. Hal ini membuatku ragu. Meskipun sama-sama laki-laki, tetap saja aku butuh privasi.
Kukatakan pada Yoyo bahwa berbagi kamar bukanlah ide yang baik.
“Ini akan jadi kamarmu,” kata Yoyo sambil tersenyum.
Langsung kutanyakan bagaimana dengannya, sambil melihat isi kamar tersebut. Saat aku melihat ke dalam kamar yang hanya satu-satunya itu, ternyata isinya kosong.
“Kamarku di belakang,” jawabnya.
Aku bingung dan langsung mengintip ke belakang. Di sana hanya ada dua kamar kecil yang kutebak merupakan toilet dan kamar mandi. Aku membuka salah satunya, benar, kamar mandi. Lalu kubuka lagi yang satu, dan benar, toilet. Tapi aku terkejut melihat keanehan di dalam toilet itu. Aku berpaling menatap Yoyo untuk meminta penjelasan, yang hanya ia jawab dengan senyuman. Lalu aku kembali memerhatikan isi toilet itu. Ada rak berisi buku yang memenuhi dinding sebelah kiri hingga ke langit-langit. Sementara di langit-langit bergelantungan plastik kresek yang berisi pakaian. Ada pula sebuah benda kecil yang difungsikan sebagai meja di pojok kanan. Di atasnya terdapat alat tulis dan buku tulis. Otomatis toilet yang sempit itu menjadi semakin sempit.
“Tidak dikunci, kamu bisa menggunakannya kapan saja kecuali kalau aku juga sedang buang hajat,” jelas Yoyo yang membuatku semakin bingung.
Dengan ragu-ragu kutanyakan apakah ia juga tidur di sini.
“Ya,” jawabnya tanpa sedikit pun ada nada bercanda.
Menaruh benda-benda itu di toilet sudah merupakan hal ganjil, namun bagaimana Yoyo tidur di situ adalah misteri yang lebih gelap lagi. Aku berkali-kali menuntut penjelasan akan semua itu. Tapi Yoyo tidak menjelaskan terlalu banyak. Satu-satunya penjelasannya yang masuk akal adalah bahwa ia sudah terbiasa menghabiskan hari—termasuk tidur, di dalam toilet.
Akhirnya aku menyerah untuk memintanya menjelaskan lebih jauh. Sementara mengenai tawarannya, kupikir aku tidak ada alasan lagi untuk menolak.
Dua hari setelahnya, semua barang-barangku telah berada di satu-satunya kamar tidur itu. Meskipun tinggal satu rumah, dalam banyak hal kami bisa dibilang individualis. Kami menyiapkan makan masing-masing, dan makan masing-masing, dan tentunya di ‘kamar’ kami masing-masing. Kami jarang mengobrol. Saat-saat aku bicara dengannya hanyalah ketika aku akan buang air. Aku mengetuk pintu ‘kamarnya’. Kukatakan mau kencing. Dan ia langsung keluar, dengan membawa salah satu bukunya, buku yang tampaknya sedang ia baca. Bahkan untuk beberapa hari berikutnya aku tak perlu lagi mengeluarkan suara, cukup mengetuk pintunya, dan ia langsung mengerti dan membiarkanku memasuki ‘kamarnya’.
Sementara itu, aktivitas pacaranku dengan Gina berlangsung mulus. Di kota besar seperti ini, semua tetangga mengurus urusannya masing-masing. Tidak ada yang bergunjing apalagi protes meski tiap malam Gina menginap di kontrakan kami dan baru pulang keesokan paginya. Yoyo pun tidak pernah menegur ataupun ikut campur. Bahkan ia tak pernah membicarakannya.
Awalnya Gina pun merasa sangat aneh dengan kebiasaan Yoyo, namun ia cepat terbiasa. Seperti aku, ia hanya perlu mengetuk pintu untuk mendapatkan akses ke toilet, dan Yoyo pun akan dengan sabar dan santai menunggu di luar sambil membaca sebuah buku.
Aku ingat Gina bercerita saat pertama kali menggunakan toilet itu untuk BAB. “Lima belas menit kotoranku tak juga mau keluar!” ceritanya sambil tertawa. Dan kami lalu kembali bercinta.
Tak peduli apa yang dilakukan Yoyo di toilet itu, entah apakah ia bisa tidur atau tidak, aku dan Gina terus bercinta. Siang dan malam.
***
Semakin lama, toilet di rumah kontrakan kami ini tampaknya semakin terasa sempit. Setelah mengamati baik-baik, barulah aku mengerti bahwa penyebabnya adalah koleksi buku Yoyo yang semakin banyak.
Sambil buang air besar, iseng aku mengamati buku-buku milik Yoyo. Ada buku-buku biografi seperti Tan Malaka, Soe Hok Gie, Wiji Thukul, W.S. Rendra. Ada buku-buku puisi. Novel-novel Pramoedya, buku-buku tentang PKI, Reformasi, Orde Baru. Bahkan ada pula buku-buku tua berbahasa Inggris dan Belanda.
Semakin kuperhatikan, aku menyadari sesuatu: label perpustakaan! Kuambil salah satu buku itu, dan benar saja, terdapat stempel perpustakaan kampus di dalamnya, dan juga terdapat kartu berisi nomor-nomor orang yang telah meminjam dan tanggal kapan buku tersebut harus dikembalikan. Kulihat tanggal terakhir yang tertera di sana adalah dua tahun lalu, yang berarti dua hal: tidak ada yang meminjam buku itu selama dua tahun terakhir, dan bahwa Yoyo tidak meminjam buku tersebut, tetapi langsung mengambilnya.
Aku kembali meletakkan buku itu. Selesai cebok aku kembali ke kamarku. Berbaring di samping Gina yang hanya mengenakan pakaian dalam. Malam ini entah mengapa aku tidak semangat untuk bercinta. Tak sampai lima belas menit aku sudah klimaks dan terbaring kelelahan.
“Ada apa, darling?” tanya Gina.
Aku pun tak tahu. Gina tidak menginap malam ini. Ia pulang ke kostnya dengan wajah kesal. Sementara aku hanya bisa mengatakan permintaan maaf padanya, dan menyuruhnya kembali lagi ke sini sepulang kuliah besok.
***
Sepulang kuliah, aku mengajak Gina ke rumah kontrakanku. Tapi ia tidak mau. Katanya ia hari ini capek dan mau istirahat saja di kostnya. Aku tak bisa memaksanya.
Aku pulang sendirian. Sampai rumah segera menuang air putih ke dalam gelas dan meminumnya hingga tandas. Entah mengapa, aku merasa begitu kesepian. Aku duduk bersandar di dinding kamar, dan memikirkan betapa tidak pedulinya aku dengan lingkungan sekitarku seperti seorang anak yang mengidap autis. Aku butuh teman untuk berbicara. Kupikir ini waktu yang tepat untuk mengobrol dengan Yoyo.
Ketika telah berada di depan toilet, aku bimbang. Aku tidak tahu apa yang akan kubicarakan dengan Yoyo. Tentang buku? Aku tidak tahu apa-apa tentang buku. Sastra? Pergerakan? Sejarah? Aku pun tak paham sedikit pun mengenai ketiga hal tersebut. Terlebih, aku tak tahu bagaimana caranya memulai obrolan.
Lantas aku kembali ke tempatku semula duduk. Kembali minum bergelas-gelas air putih. Dan mencoba mengirim pesan pendek pada Gina, yang tak kunjung mendapat balasan.
Entah berapa lama aku duduk, yang kutahu di luar sudah gelap. Lalu tiba-tiba muncul dorongan di kandung kemihku, barangkali karena tadi terlalu banyak minum. Aku segera berlari ke toilet dan mengetuk pintunya. Tidak ada yang membuka dari dalam. Kudorong sedikit demi sedikit, dan ternyata Yoyo tidak ada di dalam. Ke mana dia? Biasanya ia tidak pernah ke mana-mana selain di kampus dan, tentu saja ‘kamarnya’ ini.
Selesai buang air, aku segera menyambar ponselku untuk menelepon Yoyo, siapa tahu ia kenapa-kenapa. Kucari nomornya di daftar kontak, tapi kemudian aku tersadar: aku tidak pernah minta nomor ponselnya!
Malam ini aku tidak bisa tidur. Aku tidak pernah sekhawatir ini dengan Yoyo. Aku tidak pernah peduli bagaimana ia tidur di dalam toilet yang sempit itu, tapi justru ketika ia tidak ada, aku benar-benar khawatir. Aku masuk ke toilet dan berusaha mencari petunjuk. Aku memeriksa setiap halaman buku-bukunya, barangkali di sana ada brosur sebuah acara atau undangan rapat yang membuatnya tak bisa pulang semalaman. Aku juga memeriksa buku-buku catatannya, siapa tahu ada sesuatu. Tapi semua itu tidak menelurkan hasil. Aku terduduk di atas toilet, menutup mata, dan mencoba berpikir.
***
Aku terbangun keesokan paginya. Apa? Rupanya aku tertidur di toilet. Ya, tertidur di toilet. Yoyo masih belum tampak keberadaannya. Aku kembali khawatir. Semakin khawatir, seperti orangtua yang anak gadisnya tiba-tiba minggat dari rumah.
Segera aku mandi dan bersiap ke kampus. Siapa tahu di kampus aku bisa bertemu Yoyo. Aku tidak ikut perkuliahan hari ini. Sudah kutekadkan bahwa hari ini aku akan mencari Yoyo sampai dapat, agar aku tenang. Kepada teman-temannya di jurusan aku bertanya apakah mereka tahu di mana Yoyo. Aku ternganga mendapati jawaban semua mahasiswa yang kutanyai, mereka bukan saja tidak mengetahui keberadaan Yoyo, mereka bahkan tidak pernah tahu ada mahasiswa bernama Yoyo.
Aku ke perpustakaan. Bisa saja ia di sana, sedang membaca buku, atau memilih-milih buku yang akan ia bawa. Dua kali aku mengitari setiap rak buku, namun tidak juga melihat wajah si penghuni toilet itu.
Lalu kuputuskan untuk kembali ke rumah kontrakan kami. Bisa jadi, selama aku ke sana-kemari mencarinya di kampus, ia sudah kembali ke sarangnya dan dengan santainya membaca sebuah buku yang baru saja ia kepet dari perpustakaan kampus.
Sesampainya di rumah aku langsung menuju toilet. Pintunya terkunci dari dalam. Aku senang, karena itu berarti Yoyo sudah pulang. Namun sekaligus khawatir, sebab selama ini ia tak pernah menguncinya. Tanpa buang waktu kudobrak pintu toilet itu sekeras mungkin. Pintu terbuka. Di dalamnya, di antara buku-buku yang berserakan, samar karena cahaya yang kurang, kulihat Yoyo sedang bercinta, dengan pacarku Gina. Kami bertiga sama-sama terperanjat. []
Surgi Mufti, 19 Juli 2015
(Media Kalimantan, 8 Agustus 2015)