Sebenarnya, perjalananku ke Batulicin tidak ada niat buat jalan-jalan, melainkan karena suatu urusan.
Minggu, 7 Februari 2016. Aku berangkat dengan naik taksi (mini bus/L300) dari terminal Km. 6 setelah sebelumnya motor aku titipkan di rumah teman yang tidak jauh dari terminal. Ongkos taksi 85 ribu, dan berangkat ketika jumlah penumpang sudah 11 orang. Jumlah 11 orang itu cukup nyaman, karena artinya di baris belakang hanya ada 3 penumpang untuk setiap barisnya. Tidak sesak.
|
Perjalanan ke Batulicin kali ini ditemani 'Cerita tentang Rakyat yang Suka Bertanya' dan tetes-tetes hujan yang mengembun di jendela. |
Berangkat pukul 9.30, dan sampai di
terminal Batulicin tepat ketika jarum jam menunjuk angka 4. Saat aku sampai di terminal, temanku Tri yang rencananya akan menjemput, saat itu masih ada kesibukan, dan baru bisa menjemput beberapa jam lagi. Nah, ketika di terminal inilah aku menangkap pembicaraan orang lain tentang
Hari Imlek.
Ah, aku baru sadar, bahwa besok adalah
Hari Imlek, yang artinya libur nasional, yang berarti kantor-kantor akan tutup.
Sambil menunggu Tri, aku naik ojek ke
Taman Education, taman yang baru selesai dibangun (Tukang ojek tidak familiar dengan nama
Taman Edukasi, mereka menyebutnya
Taman Pasar Minggu). Taman tersebut cukup ramai, dan semakin sore semakin banyak orang yang nongkrong di taman ini. Aku kurang mengerti di mana letak 'education'-nya, kupikir di sini terdapat taman bacaan, poster-poster berisi ilmu pengetahuan, benda-benda fisika, atau sebagainya. Ternyata hanya ada huruf-huruf berukuran besar.
|
Tanah Bumbu Education Park / Taman Pasar Minggu, Batulicin |
Ketika Tri datang menjemput, kami ke rumahnya yang ada di
Desa Bulurejo, Kecamatan Mentewe. Perjalanan menuju rumah Tri didominasi oleh kebun sawit di kiri-kanan jalan. Kutebak, separo lebih dari
Tanah Bumbu isinya adalah kebun sawit! Selain kebun sawit, mataku juga menangkap hal unik, yaitu rumah-rumah warga Hindu dengan ciri khas di pekarangan setiap rumah terdapat bangunan semacam sesembahan dengan bentuk unik. Ini pertama kalinya aku melihat yang seperti ini. Kata Tri, ini adalah
perkampungan orang-orang Bali. Sedangkan kata Google, bangunan suci di pekarangan tersebut namanya
pelinggih.
Sampai rumah Tri, aku lebih memilih tidur dan istirahat setelah sebelumnya berkenalan dengan kedua orangtua Tri. Perjalanan yang cukup melelahkan.
Senin, 8 Februari 2016.Karena 'suatu urusan' yang kurencanakan harus ditunda hingga besok, hari ini kami jalan-jalan ke
Goa Liang Bangkai (namanya memang cukup menyeramkan). Dari rumah Tri, letak goa ini tidak begitu jauh, masih di kecamatan yang sama. Banyak belokan dan persimpangan yang harus dilewati untuk sampai ke goa ini, tapi kita tidak akan kesulitan untuk menemukannya karena di setiap persimpangan terdapat papan penunjuk.
|
Papan penunjuk arah ke Goa Liang Bangkai |
Mendekati goa, kita akan menyaksikan deretan pegunungan dan perbukitan yang seolah seperti dinding raksasa. Goa itu sendiri adalah kaki dari bukit kapur.
|
Perbukitan Kapur yang menghiasi jalan menuju Goa Liang Bangkai |
|
Pintu masuk menuju Goa Liang Bangkai meski ada semacam loket, tapi masuknya gratis kok... |
Tidak banyak orang ketika kami tiba. Hanya penjaga warung dan beberapa pemandu untuk ke puncak bukit. Kami masuk ke mulut goa, dan beginilah suasana di dalamnya...
Karena saat ini musim hujan, terdapat genangan air yang membuat kami mau tak mau harus menyingsingkan celana agar bisa meneruskan masuk ke dalam goa.
"Kalau tidak musim hujan tidak begini," jelas Tri.
Bagian tengah goa cukup luas, namun sayangnya, seperti kebanyakan goa-goa lainnya yang ada di Kalsel, kondisi dalam goa sangat gelap karena tidak adanya penerangan. Berbeda jauh dengan goa-goa di pulau Jawa yang dikemas lebih baik oleh pemerintah daerahnya.
Di tengah goa juga tampak sebuah lubang yang menghubungkan dengan goa bagian bawah. Sayangnya goa di bagian bawah tersebut sedang tergenang air. Padahal, kata Tri, di bawah sana cukup luas.
"Seperti kerajaan," katanya. Entahlah.
|
Lubang menuju goa bagian bawah Hanya yang bernyali tinggi yang berani masuk |
Dan inilah ujung goa, yaitu bagian belakang dari bukit tadi.
Selesai foto-foto, kami keluar. Minum dan menyantap mie instan di warung. Pada anak laki-laki penjaga warung, Tri bertanya rute ke puncak bukit tersebut. Si anak laki-laki menjelaskan, dan mengatakan bersedia mengantarkan kami ke puncak kalau mau.
Maka usai makan dan minum, kami berangkat ke puncak.
Bagian pertama dari rute pendakian adalah tebing yang sangat-sangat curam, dengan kemiringan 90 derajat! (Ini bukan miring lagi namanya) Meskipun ada tali tambang untuk melewati tebing tersebut, aku tetap ragu. Tapi akhirnya kupegang juga tali tambang itu, dan mulai mendaki. Masa aku kalah dengan anak SMP?
Rute ke puncak diwarnai dengan batu cadas, tebing curam, dahan-dahan pohon, akar, dan goa (namanya Goa Kayangan, kalau tidak salah). Goa itu sendiri bercabang-cabang, jadi jika tidak ada pemandu jangan coba-coba mendaki, kalau tidak ingin tersesat.
Si anak SMP yang memandu kami tampak sangat lincah mendaki tanjakan, berbeda jauh denganku yang setiap langkah diiringi keragu-raguan.
Langit tampak mendung sejak kami tiba di sini, dan saat kami hampir sampai puncak, tetes-tetes hujan mulai berjatuhan satu persatu. Kami berhenti. Tidak ada tempat berteduh di tempat kami berhenti, hanya ada pohon-pohon kecil yang tidak akan mempan menghalau guyuran air hujan. Kami sempat memutuskan untuk turun saat itu, namun berubah keputusan dan melanjutkan pendakian. Sialnya, semakin ke atas, rute semakin mengerikan. Sangat curam, dan nyaris tidak ada pijakan. Jika jatuh dari tempat setinggi ini, aku tidak yakin apakah nyawaku masih betah tinggal di tubuh. Ditambah dengan hujan, membuat pijakan menjadi licin dan pandangan tidak begitu jelas. Sepertinya, ke puncak bukit ini benar-benar bukan ide yang baik.
Tapi, dengan perlahan-lahan, serta semangat yang dipaksa-paksakan, akhirnya kami sampai di puncak. Beberapa foto sempat kami ambil dengan terburu-buru, sebelum kemudian hujan menjadi sangat deras, dan HP segera kami sembunyikan agar tidak terlalu basah.
Ada sensasi aneh ketika berada di puncak. Sensasi yang sama setiap kali berada di puncak manapun, yaitu sensasi ingin foto-foto narsis.
Beberapa menit duduk di puncak, berlindung dari serbuan hujan di bawah pohon kecil yang sama sekali tidak membantu, serta dengan kondisi hujan yang tidak ada sedikit pun tanda-tanda akan berhenti dalam waktu singkat, kami pun turun. Perjalanan turun ternyata jauh lebih mengerikan ketimbang saat naik.
Di dalam goa, kami berhenti sejenak untuk mengistirahatkan lutut yang kelelahan. Lalu kembali turun, dengan rute yang berbeda dengan rute saat naik. Kata si pemandu, rute tersebut kalau untuk turun lebih enak, meski lebih jauh.
Sampai di bawah, kami memberi uang pada si anak SMP yang memandu kami, lalu kami pulang. Dan langit masih saja menumpahkan hujan.
Jalan-jalan kali ini, lebih banyak bahayanya, sebenarnya, daripada senangnya.
Selasa, 9 Februari 2016Kami menyelesaikan urusan kami hari ini. Saat pulang ke rumah Tri, kami mampir di sebuah Pura dan foto-foto di sana. Seorang teman mengira aku sedang di
Bali saat foto ini kujadikan pic BBM.
|
Pura di kecamatan Mentewe, Tanah Bumbu |
Janur kuning tampak menghias di setiap depan rumah warga Hindu. Kata warga sekitar, besok adalah
Hari Galungan, makanya meriah. Aku menyimpulkan umat Hindu adalah orang-orang kreatif yang memiliki cita rasa seni yang tinggi.
Perjalananku ke
Batulicin kali ini sepertinya memberikan cukup banyak pengalaman baru.