Tadi siang aku baru pulang sehabis menginap di rumah Bang Harie di Banjarbaru. Setiap akhir pekan aku memang biasa menginap di rumah Bang Harie, buat belajar apa saja. Di perjalanan pulang, hujan mendadak turun, padahal aku baru sampai daerah Gambut, masih jauh untuk sampai di kontrakanku di Banjarmasin. Sialnya, hari ini aku lupa bawa mantel. Maka mau tak mau aku harus berhenti untuk berteduh.
Banyak tempat untuk sekadar bernaung sebenarnya, tapi karena kebetulan aku belum makan siang, maka kuputuskan berhenti di warung makan saja. Beberapa warung makan kulewati, tidak singgah, karena dilihat sepintas saja sudah tampak penuh, bahkan mejanya tidak cukup. Maklumlah, banyak pengendara motor yang juga ingin berteduh, menunggu hujan reda sambil makan.
Setelah cukup jauh kehujanan akhirnya ketemu juga warung makan yang masih banyak meja kosongnya. Warung makan itu biasa saja, tidak terlalu besar dan mewah. Mejanya mungkin hanya kisaran 10 buah. Aku segera memarkir motor dan ingin memesan makanan. Ada beberapa orang pelayan—yang semuanya wanita--di warung tersebut. Seorang pelayan tampak sibuk menyiapkan pesanan pengunjung. Anehnya, tak ada yang melayaniku.
Aku berpikir, mungkin ini tipe warung makan yang duduk dulu, memilih menu dari daftar menu yang tersedia, dan sang pelayan akan mencatatnya. Aku pun langsung memilih tempat duduk. Tapi setelah aku duduk, pelayan tak juga mendatangiku. Dan tak ada daftar menu di meja seperti yang kupikirkan. Aku lantas kembali ke depan, ke tempat lauk-lauk dipajang, tempat seorang pelayan yang sibuk tadi menyiapkan makanan. Pelayan yang sibuk tadi kini mengantarkan makanan ke meja si pemesan. Setelah itu barulah pelayan lain, yang sebelumnya hanya berdiri saja, menghampiriku dan menanyakan mau makan apa. Aku menyebutkan pesananku. Barulah aku kembali ke meja tadi.
Itu tentu hal biasa saja, bukan sesuatu yang perlu diributkan. Nah, yang menggelitik hatiku justru ketika aku tengah makan, sebuah mobil menepi di depan warung. Bisa diduga kalau orang di dalam mobil tersebut ingin mampir dan makan pula. Bukan, bukan itu yang aneh. Yang aneh ialah sikap para pelayan, yang setelah kuhitung berjumlah 5 orang itu. Seorang yang tampaknya pimpinan—mungkin juga pemilik warung makan ini—dengan sigap langsung menyuruh anak buahnya menyiapkan payung untuk menjemput si orang dalam mobil tadi. Bukan anak buahnya yang ternyata menjemput, tapi langsung si pimpinan. Dua orang ibu dan anak yang keduanya bertubuh gemuk keluar dari pintu mobil setelah payung sudah siap menaungi di depan pintu mobil. Pelayan yang lain juga langsung bersiap di tempat menyiapkan makanan, siap menunggu pesanan. Pelayan yang lain lagi, yang sebelumnya menyodorkan minuman pesananku juga bersiap di sana.
Aku bingung, kenapa bisa begitu? Bukannya yang naik mobil dengan yang naik motor bayarnya sama saja, tidak ada yang lebih mahal?
Aku jadi teringat dengan cerita seorang teman lama teman yang baru-baru tadi mampir ke kontrakanku. Temanku itu kuliah perhotelan di Bali, dengan kiriman uang dari orangtua cuma 600 ribu perbulan. Jadi untuk tetap bertahan hidup ia bekerja apa saja. “Aku merasa betul bagaimana bedanya tatapan orang saat aku bekerja jadi tukang sampah dan ketika aku bekerja di hotel,” cerita temanku itu.
Aku dengan cepat menyudahi makan siangku. Meski hujan belum reda betul, aku memutuskan untuk tetap pulang. Tak jauh dari warung tadi, hujan kembali menderas. Aku menyerah, segera mencari tempat berteduh. Ternyata, hujan pun lebih berpihak pada yang naik mobil!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar