Rabu, 09 Juli 2014

Kunat

Aku punya beberapa bekas luka yang tidak pernah hilang, orang Banjar menyebutnya kunat. Setiap kunat memiliki ceritanya sendiri. Namun ada salah satunya yang tak bisa kulupakan, yaitu cerita tentang kunat di jari tengah tangan kananku. Cerita yang meneguhkan keyakinanku bahwa aku memiliki nyawa ganda.
Kunat tersebut kudapat ketika aku masih kelas empat SD. Waktu itu, di rumahku, aku dan temanku Mansyah sedang bermain. Sebagai anak-anak kampung yang selalu bahagia, benda apa saja bisa kami jadikan mainan. Mainan kami kali itu adalah seutas kabel yang telah rombeng.
Di antara teman-temanku, Mansyah adalah yang terkenal paling kuat. Dengannya, aku biasa mengadu keberanian. Siang itu, kami akan beradu ketahanan dari listrik. Kami sebenarnya sama-sama tahu bahwa listrik akan menyetrum, dan penampilan orang kesetrum pun kami tahu seperti yang biasa kami tonton di televisi: rambut berdiri tegak, wajah gosong, telinga dan hidung mengeluarkan asap. Tapi karena itu hanya di televisi, kami tidak terlalu percaya. Kami berteori, listrik rumahan tidak akan seberbahaya itu. Yang bisa mengakibatkan hal demikian hanyalah setruman petir. Dan kami akan membuktikan teori kami.
Aku tidak ingat lagi siapa yang pertama memunculkan ide bodoh itu. Yang kuingat, salah satu ujung kabel itu kemudian kami colokkan langsung ke colokan listrik. Lalu Mansyah, sebagai orang yang berani, menyentuhkan ujung yang lain ke telapak kakinya.
"Nyetrum! Nyetrum!" teriak Mansyah sambil menjauhkan ujung kabel itu dari kakinya. Wajahnya tampak senang karena merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan.
Aku takjub. Ternyata listrik rumah juga bisa nyetrum, meskipun tidak menjadikan rambut tegak, wajah gosong, serta telinga dan hidung mengeluarkan asap.
Segera kuraih ujung kabel itu dan menggenggamnya, ingin merasakan kesenangan yang sama seperti yang dirasakan Mansyah. Sambil memegang ujung kabel itu, aku berdiri, berjalan, lalu menyanyikan lagu, "Spiderman, Spiderman.... Spiderman, Spiderman...."
Entah mengapa, dalam pikiranku, sengatan listrik akan mengakibatkan seseorang menjadi seperti Spiderman, memiliki kekuatan seperti Spiderman. Waktu itu sepertinya aku tidak tahu kalau Spiderman mendapatkan kekuatannya karena sengatan laba-laba jenis khusus, bukan sengatan listrik.
Kemudian, sebelum lagu itu kurampungkan, aku segera tertarik oleh kekuatan yang tidak bisa kulihat. Aku langsung jatuh terduduk. Tubuhku bergetar sendirinya. Tangan kananku masih menggenggam kabel itu, sementara tangan kiriku menggenggam tangan kananku. Kaki tertekuk seperti orang kedinginan. Tubuhku tidak bisa digerakkan!
Samar kudengar suara Mansyah, "Alah, jangan bagaya, Mi! (Alah, jangan bercanda, Mi)"  katanya dengan wajah santai.
Aku tidak bisa mengeluarkan suara, tubuhku masih tidak bisa kugerakkan, dan gemetar tubuhku semakin kuat.
Karena aku tak menjawab, wajah santai Mansyah berubah jadi wajah tegang. "Bujuran kah, Mi?! (Beneran ya, Mi?)"
Lalu, ditariknya kabel itu dari tanganku. Gemetar tubuhku mereda. Beberapa saat kemudian aku bisa menggerakkan tubuhku kembali. Kubuka tangan kiriku yang sebelumnya memegang tangan kananku. Telapaknya melepuh. Lalu kubuka tangan kananku. Melepuh dan penuh darah. Luka paling besar ada di jari tengah. Mansyah terdiam melihat semuanya itu.
Hari itu, aku berhutang nyawa pada Mansyah.
***
Orangtuaku, yang kemudian mengetahui tindakan bodohku itu, bukannya mengasihaniku, tapi justru memarahiku.
Aku juga ingat, sore harinya, merasa aku sudah baikan, aku ikut teman-temanku yang berenang di sungai depan rumah kami. Dari atas jembatan, aku langsung melompat. Begitu sudah di dalam air, tubuhku kembali kaku, mungkin karena listrik yang masih tertinggal di badanku. Aku nyaris tenggelam. Aku gugup. Dengan sekuat tenaga, kugerakkan tanganku semampunya. Butuh kekuatan luar biasa hingga akhirnya aku bisa sampai di tepian. Aku langsung berjalan, kembali ke rumah. Besoknya, aku tak masuk sekolah.
***
Setelah kejadian siang itu, berbulan-bulan, aku fobia terhadap kabel dan listrik, terhadap semua benda yang berhubungan dengan listrik. Aku tidak berani menyalakan televisi, lampu, kipas angin. Aku takut dengan benda-benda elektronik yang mempunyai kabel. Aku tidak berani dekat dengan kabel apapun, meski itu tidak tersambung dengan listrik. Aku bahkan tidak berani berjalan di bawah kabel listrik yang menjuntai dari tiang listrik ke rumah. Aku benar-benar trauma. Kondisiku itu dimanfaatkan oleh kakakku yang biasanya jengkel denganku. Dengan kabel dari benda-benda elektronik, ia menakut-nakutiku. Aku biasanya langsung lari. Atau kalau ia tidak ingin aku mengganggunya, Kakak biasanya membentangkan kabel kipas angin di depan pintu kamar, sehingga aku tak bisa keluar.
Semua itu berlangsung cukup lama. Entah berapa bulan, atau mungkin tahunan. Ibu memintakan air penawar pada orang pintar, tapi hal itu tetap tidak membantu.
***
Aku telah sembuh dari luka bakar sengatan listrik itu, juga dari fobia terhadap kabel dan listrik. Tapi bekas luka itu, kunat itu, masih tersisa. Dengan kunat itu, aku yang masih anak-anak terbantu untuk membedakan mana kanan dan mana kiri. Sebab ketika aku ragu, aku tinggal mencari kunat itu dengan jempol, maka itulah kanan. Bahkan sampai sekarang, ketika aku bingung mana sebelah kanan mana sebelah kiri, kedua jempol tanganku akan menelusuri jari-jari yang lain, mencari di sebelah mana kunat itu.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar