Sabtu, 05 Juli 2014

Malam Sebelum Ia Mati

Malam aku bertemu dengannya ialah malam pertama kalinya aku bercinta. Aku mengingatnya sebagai malam yang tidak hujan, di mana pada bulan itu nyaris setiap malam selalu turun hujan. Bertahun-tahun setelahnya, saat tidak terhitung lagi berapa kali aku tidur dengan seorang wanita, aku tahu bahwa malam itu adalah malam terbaik yang pernah ada. Itu juga menjadi malam terakhir aku bertemu dengannya, hingga malam kemarin, ia mengetuk pintu rumahku dan aku membukakan pintu. Andai hari ini ia tidak mati, mungkin aku tidak akan mengingat malam kemarin sejelas ini.
"Kopimu masih ada kan?" tanyanya sambil tersenyum, cantik sekali.
Aku balas tersenyum dan mempersilakannya masuk. Ia mengikutiku saat aku berjalan ke dapur dan langsung menarik kursi makan lantas mendudukinya. Aku membuat kopi dua cangkir.
“Bagaimana kuliahmu?” tanyaku.
“Tidak naik semester,” jawabnya ringan.
“Aku tidak terkejut.” Kami tertawa.
"Aku kemari ingin mengembalikan bukumu," katanya sambil membuka tas, merogoh dalamnya, dan mengeluarkan sebuah novel: The Virgin Suicides, karya Jeffrey Eugenides. Novel tentang gadis-gadis yang memutuskan bunuh diri.
Sudah bertahun-tahun yang lalu, tapi tentu saja aku masih mengingatnya. Aku ingat semua buku koleksiku serta siapa-siapa yang meminjamnya.
Kuletakkan di hadapannya secangkir kopi yang baru kubuat sementara yang satu kupegang. Kutarik kursi di hadapannya dan duduk di sana. "Kupikir kamu tak akan mengembalikannya. Itu salah satu novel kesayanganku."
Ia meraih cangkir kopi di hadapannya, mencium aromanya, cukup lama, sebelum kemudian mencecapnya. "Memangnya ada novel yang tidak kamu sayangi?" Lalu ia tertawa, dan aku tersenyum.
"Sebenarnya, beberapa aku bahkan tidak berniat untuk membacanya,” kataku. Lalu kuhirup kopiku.
Ia menyusul menghirup kopinya, satu tegukan. “Ah, tetap saja kamu lebih menyayangi mereka ketimbang wanita!” Ia merengut. Aku suka ia saat merengut, karena saat itu ia justru tampak lebih cantik.
Lalu hening. Mataku tenggelam dalam cangkir kopi dan sesekali memandanginya yang juga sedang menatap cangkir kopinya. Kami saling berpandangan. “Kamu...” kata kami bersamaan untuk kemudian saling tersenyum.
“Kamu duluan,” kataku.
“Tidak, kamu saja yang duluan,” pintanya.
“Kamu saja,” kataku.
“Ah, kamu memang sialan dan tidak pernah mau mengalah,” umpatnya.
Aku tertawa.
“Kamu sekarang dengan siapa?”
Aku sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Aku diam sejenak. Kulihat ia seperti tidak sabar dengan jawabanku. “Tidak dengan siapa-siapa,” kataku akhirnya sembari tersenyum.
Ia kembali merengut. “Dulu kamu juga bilang begitu, nyatanya ada foto cewek di dompetmu.”
“Aku tidak pernah menduga kamu melihat foto di dompetku waktu itu.”
“Aku ingin lebih kenal lelaki yang tidur denganku.”
“Aku selalu bertanya-tanya kenapa kamu tidak pernah ke sini lagi selama bertahun tahun. Rupanya itu jawabannya.”
Aku bangkit mengambil dompetku di kamar dan album foto keluarga dalam lemari. “Dia adik kandungku,” kataku sambil mengeluarkan foto itu dari dompetku dan meletakkannya di hadapannya. Kemudian kuletakkan juga album foto tadi di hadapannya. “Kalau tidak percaya, kamu bisa melihat-lihat isinya.”
Ia mengambil album foto itu dan membolak-balik isinya. Ia hanya bisa terdiam saat melihat foto-foto itu.
“Kamu memang sialan!” Lalu ia tertawa. “Sekarang giliranmu!”
Aku diam sejenak, menunggu ia menatapku.
“Kamu cantik sekali.”
“Apa?” Matanya melebar.
“Kamu cantik sekali!”
“Sudahlah, kamu jangan merayuku lagi.” Ia memalingkan wajah. Wajahnya merona, cantik sekali.
Aku memegang tangannya, kemudian menggenggamnya erat. “Aku kangen kamu, selalu.”
Ia kembali menatapku. “Kamu memang sialan...”
Dan kami berciuman. Lama.
***
Aku sedang menyantap makan siang yang kumasak sendiri ketika kabar kematiannya kuterima. Teman yang dulu memperkenalkan aku dengannya meneleponku, menceritakan kejadiannya; ia melompat dari kamar apartemennya di lantai 10. Ketika itu aku langsung teringat perbincanganku dengannya malam kemarin, saat kami usai bercinta.
“Aku tidak menstruasi selama beberapa bulan setelah malam itu.”
Aku langsung bangkit begitu mendengar itu, memandangi wajahnya untuk mencari tanda-tanda bercanda. Namun aku tidak menemukannya. “Kamu serius?” tanyaku.
Ia tidak menjawab dan malah melanjutkan ceritanya. “Aku tahu kamu tidak akan siap waktu itu mendengarnya, tapi aku jauh lebih tidak siap.”
Ada jeda. “Aku pergi ke dokter, lalu menggugurkannya...” Butiran bening mengalir dari sudut matanya.
Aku tidak tahu harus berkata apa.
Ia kemudian menghapus pipinya yang basah dan mencoba tersenyum. “Hei, novel yang kupinjam itu ternyata memang bag...”
Aku cepat memeluk dan menciumnya. “Kamu harusnya cerita... harusnya cerita... Aku akan mendatangi orangtuamu, melamarmu, menikahimu...”
“Sudahlah... Itu sudah berlalu. Aku sudah melaluinya. Lagipula, sekarang kudengar pacarmu banyak. Aku takut kamu akan jarang tidur di rumah bila kita memang sudah menikah.” Ia tertawa. Matanya kembali basah.
Aku kembali memeluknya, erat.
***
“Aku akan secepatnya mendatangi orangtuamu.” Hanya itu yang bisa kukatakan ketika mengantarnya keluar rumah.
Ia membuka pintu taksi. “Aku tidak akan memintamu memegang kata-katamu,” jawabnya sebelum ia masuk dan menutup pintu taksi.
Aku kembali ke dalam rumah. Saat aku berjalan ke dapur untuk membuat kopi, aku melihat secarik kertas di meja makan. Novelku yang harusnya masih di sana tidak terlihat lagi. Aku tersenyum, pasti pesan bahwa ia kembali meminjamnya. Kuambil kertas itu lalu membacanya.
Kamu bahkan tidak bertanya di mana rumah orangtuaku!
***
Sekarang aku tahu di mana rumah orangtuanya. Aku bertanya pada temanku di mana rumah orangtuanya dan pergi ke sana untuk menghadiri proses pemakaman.
Bunuh diri karena kembali tidak naik semester. Demikian keluarganya menjawab ketika aku bertanya penyebab kematiannya. Tidak ada yang mengerti, bahwa akulah yang membunuhnya.[]

Sultan Adam, 28 April 2014

(Lelaki Dilarang Menangis, Penakita Publisher, Juni 2014)
(Radar Banjarmasin, Minggu, 26 Juli 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar