Oleh: Sainul Hermawan
Sudah lama saya tidak mengikuti perkembangan cerita pendek di Kalimantan Selatan sejak sibuk mengkaji tradisi lisan. Akhir-akhir ini saya kembali mengikutinya setiap akhir pekan di dua media yang saya anggap memiliki reputasi cerpen yang relatif bermutu untuk dibaca karena diredakturi oleh sastrawan.
Pada 26 Februari 2012, kedua media cetak yang berbeda tersebut memuat dua cerpen yang berbeda pula tetapi ditulis oleh seorang penulis yang sama: Zian Armie Wahyufi. Kedua cerpen itu cukup mencengangkan dalam hal pencapaian kekuatan penceritaan dan pendayagunaan bahasa yang efektif, efisien, dan puitis. Ia memiliki keberanian untuk menjadikan cerita berjalan mengikuti keinginan cerita, bukan keinginan dirinya sebagai penulis. Ia tidak berpretensi menjejalkan moral dirinya kepada pembaca tetapi mengajak pembaca mendialogkan moral cerita dengan moral pembaca. Dengan cara ini ia tampak sangat paham bahwa cerpen bukan pelajaran agama, pelajaran akidah dan akhlak, peta penunjuk jalan, atau resep makanan siap saji. Cerpen adalah dunia yang penuh kemungkinan.
Cerpen “Secangkir Kopi Air Mata”-nya yang menjadi pemenang harapan ketiga dalam kontes cerita pendek yang diselenggarakan Radar Banjarmasin dan MGR pada 2011 dan dimuat di Radar Banjarmasin pada 26 Februari 2012 (halaman 5) menunjukkan talenta Zian yang cukup dapat diharapkan. Kekuatan cerpen ini terletak pada kemampuan penulisnya untuk mendialogkan yang global dengan yang lokal, dan menerjemahkan puisi ke dalam prosa. Cuplikan lirik lagu dengan sadar dijadikan sebagai foreshadowing tentang apa yang akan terjadi: perpisahan dua insan yang sangat saling mencintai. Bukan cuma itu, lirik lagu pun dijadikan titik akhir untuk melakukan flashback. Dengan teknik tersebut, apa yang akan dan telah terjadi bisa terus dikenang.
Kedua, sudut pandang yang dipilihnya pun menarik, yakni menggunakan sudut pandang “akuan”. Siapa aku dalam cerpen ini disajikan secara bertahap sebagai jangkar perhatian agar pembaca terus mengikuti cerita sampai akhir. Aku dalam cerpen ini adalah seorang perempuan, yang tanpa rencana berkenalan dengan lelaki di Taman Air Mancur Banjarbaru, di Tadarus Puisi pada bulan Ramadan. Lelaki itu penyuka puisi yang berjanji ingin menikahinya. Tetapi keinginan itu tak tercapai. Kemudian ia datang ke Mingguraya untuk memberikan ciuman perpisahan. Mungkin ini yang menjadikan cerpen yang secara bahasa sangat menarik ini terpaksa harus berada di posisi pemenang harapan karena dari segi tema sudah sangat biasa, yakni tentang cinta yang tak sampai.
Namun dari segi penggunaan bahasa cerpen ini sangat segar. Misalnya, cuplikan berikut ini:
Tapi cinta kita tak seperti warung-warung di Mingguraya, selalu ada yang datang setiap kali ada yang pergi meninggalkan. Puluhan malam telah menelikungkan sebuah ketidakpastian. Aku tak bisa seperti pendar cahaya lampu, seperti ketika awal dinyalakan oleh janjimu. Percayalah, aku ingin menangis saat wajahmu mulai gerimis....
Cuplikan ini hanya secuil contoh dari keseluruhan diksi-diksi Zian yang sangat puitis. Ungkapan tersebut tentu merupakan penemuan yang relatif sulit dan memerlukan perenungan sebelum memilih diksi-diksi menjadi penyampai suasana yang dianggapnya paling tepat. Memang sangat tepat dan tetap terikat pada lirik puitis yang mengawali dan mengakhiri cerpen ini.
Contoh lain yang cukup menarik adalah ini:
Dapat kulihat jelas wajahmu seperti puisi sedih yang menyimpan bait-bait irisan luka. Tanpa kata, di mataku kau menjelma menjadi puisi yang berserak. Tapi kau harus tahu, seperti dulu, aku tak pernah mengerti tentang puisi.
Sayangnya, logika cerpen ini bisa dianggap jadi agak terganggu oleh pembaca tertentu saat ungkapan ini dinyatakan oleh tokoh aku yang tak pernah mengerti tentang puisi. Namun, bisa saja ungkapan “tak pernah mengerti tentang puisi” juga merupakan strategi kreatifnya yang bertolak dari logika bahasa: berpura-pura tidak mengerti. Bukankah dalam situasi tertentu kita bisa menjumpai orang yang tiba-tiba mengaku tak mengerti tentang Banjarbaru padahal setiap saat orang itu melakukan yang terbaik untuk kota itu, atau sebaliknya ada pula orang-orang sok paham tentang kota itu tetapi tak setitik pun kebaikan dilakukannya untuk kemajuan kota itu. Zian telah menunjukkan kemungkinan tersebut.
Di samping tema, mungkin penggunaan sudut pandang yang tampak “keseleo” di bagian akhir turut jadi penyebabnya. Namun, cara itu dipilih dengan sengaja untuk membuat akhir yang absurd dan membuat pembaca bertanya-tanya.
Aku terus berlari tanpa menoleh saat kau berteriak memanggil namaku. Di sudut taman air mancur, aku berteriak memanggil namanya. Kenapa kau pergi?
Sebelum ungkapan ini muncul, Zian telah memberikan sinyal bahwa tokoh aku yang perempuan itu telah memiliki atau dimiliki oleh lelaki lain sebagai buah keputusan yang lahir dari masa-masa penuh ketakpastian. Jika tak ada konteks kemungkinan adanya orang ketiga, maka ungkapan tersebut bisa keliru. Jika ungkapan tersebut bisa kita benarkan, maka Zian memang ingin membuat akhir terbaca rumit. Kemungkinan pertama, perempuan itu lari, lelaki itu memanggil namanya. Perempuan itu memanggil nama lelaki yang lain. Lelaki itu pergi meninggalkannya. Jadi, dia kehilangan keduanya. Kemungkinan kedua, saat aku memanggil nama orang ketiga, lelaki pesantren itulah yang pergi. Kemungkinan lain, hanya Zian yang tahu.
Sebagai sebuah strategi menutup cerpen, tentu cara ini sangat menarik. Atas pertimbangan itu, cerpen Zian sebenarnya layak menjadi juara pertama tanpa ingin bermaksud melecehkan keputusan dewan juri yang terhormat. Pemuatan pertimbangan dewan juri atas keputusannya sangatlah bermanfaat bagi publik sastra Kalsel, apa pun hasilnya, dengan demikian peserta dan pembaca mendapatkan pelajaran tentang bagaimana dasar-dasar penilaian dewan juri. Mungkin di tempat lain hal semacam itu tidak biasa dilakukan tapi bukankah memang tidak ada gunanya latah pada ketiadaan? Dengan mencatatkan pertimbangan penilaian kita, kita belajar bersama menyongsong atmosfer cerpen Kalsel yang lebih dewasa dan bermartabat, paling tidak dalam lingkungan Kalsel sendiri. Saya yakin kita bisa kalau mau.
Cerpen Zian yang lain, “Jalan Pulang”, pada hari yang sama hadir di Media Kalimantan (halaman A5). Cerpen ini terbagi dalam lima segmen. Cerpen beralur linier ini menceritakan tokoh aku, orang Sungai Raya, Barito Kuala, yang insyaf dan ingin berdamai dengan orangtuanya. Cerpen ini menggunakan sudut pandang “kamuan” yang fungsinya sama dengan fungsi “dia-an” (pada sebagian segmen satu dan dua), sudut pandang “akuan” (pada segmen tiga sampai lima), dan “dia-an” (antara lain di sebagian segmen dua). Ya, pendeknya Zian menggunakan teknik multinarator. Bagi pembaca tertentu, perubahan narator yang terlalu cepat tetapi bukan sebagai strategi cerita yang memiliki implikasi makna, tentu melelahkan pembaca.
Kelancaran narasi Zian dalam cerpen ini belum diikuti kemampuan untuk terhindar dari tema klise. Misalnya, menjadikan tokoh ustadz sebagai tokoh pengubah perilaku tokoh utama dengan pesan-pesan moral yang jamak.
Saya sangat menikmati cerpen-cerpen Zian yang secara kebahasaan sangat bagus dan cerdas, tetapi pada unsur-unsur tema, ide cerita, sudut pandang, dan alur, Zian perlu terus menjelajahi kemungkinan-kemungkinan baru karena hanya dengan terbuka pada kritik dari pembacanya, karyanya akan semakin baik. Zian punya potensi besar untuk menjadi penulis fiksi yang hebat!
Pondok Cina, Depok, 11.03.2012
(Radar Banjarmasin, Minggu, 18 Maret 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar