Rabu, 02 Juli 2014
Pesantren, Santri dan Karya Tulisnya
Oleh: Harie Insani Putra
Empat tahun lalu, tepatnya 20 Agustus 2007, dua anak muda ‘berpeci’ punya mimpi besar. Mereka ingin mendirikan forum yang bergiat di dunia penulisan. Akh, bukankah forum semacam ini sudah banyak dan tidak lagi termasuk mimpi besar?
Dua anak muda berpeci itu adalah M. Noor dan Zian Armie Wahyufi. Saat itu mereka masih belajar di Pondok Pesantren Al Falah, Banjarbaru. Nah, kemarin (15 April 2011) ustadz Hadi sudah menyampaikan uneg-unegnya di hadapan para santri dalam acara peluncuran buku kumpulan cerpen Forum Pena Pesantren (FPP) yang berjudul “Tembok Suci” diterbitkan oleh minggurayaPRESS. “Aktivitas dunia penulisan di pondok pesantren memang belum tumbuh subur. Padalah, aktivitas menulis sudah dilakoni para ulama-ulama terdahulu dan karya-karya mereka menjadi acuan belajar pada santri,” kata ustadz Hadi di Ponpes Al Falah Putera.
Apakah M. Noor dan Zian sedang ingin menjawab sekaligus membuktikan sesuatu kepada ustadz Hadi lalu memproklamirkan FPP di Ponpes Al Falah? Entahlah. Toh ada rentang waktu yang jauh saat FPP didirikan dengan apa yang diucapkan ustadz Hadi. Atau jangan-jangan dua anak muda ‘berpeci’ tadi sudah memiliki pemikiran yang sama.
Terlepas dari itu, untuk membiasakan sesuatu, apalagi urusan menulis, memang butuh perjuangan dan pengorbanan sekaligus dukungan. Dengan jumlah anggota seadanya, dengan kondisi dan pun seadanya, FPP merangkak tumbuh menyebarkan karya tulis mereka lewat buletin bernama “Literasi”. Buletin dengan cetak fotokopian dalam jumlah terbatas itu mereka sebar. Wilayah penyebarannya pun terbatas di beberapa pesantren yang siap bekerjasama dalam hal distribusi. Itu pun tidak cari untung berupa materi, yang penting tersebar dan terbaca. Maka bisa ditebak, setiap kali ingin terbit, anggota FPP harus mengorbankan uang jajan mereka demi menerbitkan “Literasi”. Untungnya, semangat ‘mengorbankan uang jajan’ itu tidak pernah mereka permasalahkan demi sama-sama maju, sama-sama berkarya.
Waktu terus berjalan, regenerasi FPP terus melaju. Kepercayaan diri dalam menghasilkan karya tulis bisa dilihat dari seringnya karya mereka tercetak di berbagai media massa di Kalsel. Rentetan perjalanan itu, dari buletin ke media cetak lalu menjadi buku adalah suatu prestasi yang membanggakan. Saya pikir inilah mimpi besar itu, sebuah forum yang mampu mencetak generasi penulis dengan karya-karya yang bisa dibanggakan.
Sederet cerita di atas hanyalah tentang FPP yang termaknai laiknya sebuah organisasi. Lantas bagaimana dengan kualitas karya mereka? Siapapun berhak menilai. Tapi ada beberapa hal yang perlu dicatat adalah, sekalipun mereka di dalam sana (pesantren), jika memungkinkan, sesuatu yang ada di luar hampir-hampir tak pernah mereka tinggalkan. Mereka terus belajar dan belajar. Jika di luar sana ada pengetahuan tentang dunia tulis-menulis, makan akan mereka kejar. Memang begitulah seharusnya ‘rumus jitu pintar menulis’. Jka tak salah informasi, bukankah hampir-hampir di Kalsel ini tak ada pelajaran menulis di sekolah? Sebuah pelajaran yang memang khusus mengajarkan anak didiknya agar kelak pandai menulis. Jangankan hal itu, sanggar-sanggar penulisan pun tampaknya minim. Pun jika ada, belum bisa maksimal dan hanya sayup-sayup terdengar.
Begitulah. Keberadaan FPP atau sejenisnya memang sangat diperlukan. Saya rasa tidak hanya di pesantren, tapi juga penting diadakan di tiap-tiap sekolah. Dari sana kita bisa berharap banyak, semoga kelak akan muncul barisan penulis handal. Akhirnya, selamat kepada Forum Pena Pesantren. Imagination is more important than knowledge, begitu karya Albert Einstein. [] hariesaja@gmail.com
(Radar Banjarmasin, Minggu, 17 April 2011)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar