Minggu, 12 Mei 2013
Ke Solo, Ikut Asean Blogger Festival Indonesia 2013 #5: Sedikit Kisah dari Balik Istana Keraton Surakarta
Hari 5
Mengikuti Asean Blogger Festival Indonesia 2013 membuatku selalu berkenalan dengan orang baru, dan orang baru yang kukenal hari ini ialah Agustinus Wibowo, penulis buku-buku catatan perjalanan: Selimut Debu (Gramedia Pustaka Utama, 2010), Garis Batas (Gramedia Pustaka Utama, 2011), dan yang terbaru Titik Nol (Gramedia Pustaka Utama, 2013). Aku berkenalan dengannya ketika sarapan.
Usai sarapan, aku bergegas menaiki bus. Acara pagi ini ialah: naik kereta api uap. Kereta wisata yang hanya terdiri dari dua gerbong tersebut modelnya sangat klasik, entah sudah berapa tahun usianya. Dengan tut tut tut-nya, kereta antik itu berjalan membelah lautan manusia di tengah kota, di jalanan yang setiap pagi Ahad ditutup bagi kendaraan bermotor dan hanya dipenuhi penduduk yang sedang jogging, jalan kaki, bersepeda, atau naik becak.
Siangnya, peserta dikumpulkan di Istana Keraton Surakarta untuk acara penutupan. Di sini peserta juga bisa mengakses internet gratis dengan Wifi.Id, persembahan dari Telkom Indonesia. Dalam sambutan yang disampaikan pihak Keraton, disampaikan bahwa pemerintah Indonesia masih tidak mengerti akan pentingnya Keraton Surakarta. Aku mendapat penjelasan yang lebih detail dari pihak Keraton Surakarta yang duduk di belakangku, seorang ibu dan seorang bapak.
Mereka menjelaskan bahwa Keraton Surakarta dulunya ialah negara, dan memiliki batas-batas wilayah yang sah. Kerajaan Surakarta berjasa besar akan merdekanya bangsa Indonesia. Wilayah-wilayah kepemilikan kerajaan Surakarta digunakan untuk Negara Indonesia. Karenanya, dalam UUD 1945 Surakarta mendapat keistimewaan (Daerah Istimewa), seperti halnya Yogyakarta dan Aceh, bahkan jauh lebih layak. Namun, karena banyaknya PKI waktu itu yang menggerogoti pemerintahan Surakarta, jadilah Surakarta atau Solo menjadi kota biasa dengan walikota yang memiliki tampuk kekuasaan. Keraton Surakarta lalu hanya sekadar penjaga budaya dan adat. Seiring berjalannya waktu, dan PKI sudah musnah dari Indonesia, Surakarta tetap hanya sebagai penjaga budaya dan adat.
“Walikotanya sudah keenakan, jadi ya mana mau memperjuangkan Keraton,” terang yang ibu, menjawab keherananku.
“Padahal, di UUD 1945 jelas disebutkan bahwa Surakarta adalah daerah yang diistimewakan!” tambah yang bapak.
“Kalo Jokowi gimana?” tanya Pak Samsuni.
“Sama aja!” tegas dijawab yang ibu.
Tak cukup sampai di situ, bahwan aset-aset yang sebenarnya milik Keraton Surakarta pun diakusisi oleh Pemerintah Kota. Banyak aset yang dimiliki Keraton Surakarta: tanah, sekolah, tempat ibadah, kereta api, jalan, dan sebagainya. Tentu saja, karena sebelumnya Surakarta memang sebuah negara.
Satu tahun terakhir jauh lebih miris, dana yang diberikan pemerintah untuk gaji para abdi dalem telah dihentikan. Dana tersebut sebenarnya adalah ganti rugi, atau lebih tepatnya uang sewa, karena Indonesia memakai aset-aset milik kerajaan Surakarta.
Dalam sejarah, jelas orang Keraton tadi, Surakarta adalah kerajaan terbesar di Nusantara yang kekuasaannya tak hanya di lingkup Indonesia, tapi menyebar di seluruh dunia. Kerajaan-kerajaan di Indonesia semuanya adalah keturunan dari Kerajaan Surakarta. Semuanya punya ikatan darah dengan Surakarta.
Banyak lagi yang mereka ceritakan tentang Keraton Surakarta. Pak Samsuni mungkin akan menuliskan lebih lengkap.
Saat jamuan makan siang, aku jadi merasa tak enak. Bukan karena makanannnya, tapi lebih pada “rasa berdosa”.
***
Sore hari, aku dan Pak Samsuni naik kereta dari Setasiun Balapan menuju Jogja. Sebelumnya barang-barang kami taruh di hotel Istana Griya 2, tak jauh dari hotel Kusuma Sahid. Kami keliling Jalan Malioboro dengan andong :)
Jam sepuluh malam, kami kembali ke Solo dengan menumpang bus. Kami naik becak dari terminal munuju hotel Istana Griya 2. Beginilah Indonesia, kawan...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar