Malam kemarin, kepercayaan diriku benar-benar diuji, kepercayaan diri di hadapan paman penjual sate.
Cerita ini sebenarnya dimulai sejak beberapa minggu, atau beberapa bulan yang lewat. Aku tidak tahu kapan tepatnya. Itu adalah malam pertama kalinya aku membeli sate di tempat paman sate yang kumaksud di atas. Paman sate itu kelihatan masih cukup muda dan sepertinya masih lajang. Ia biasa memakai baju kotak-kotak. Dan rambutnya gondrong. Kita namai saja dia Paman Sate Berambut Gondrong.
Berapa tusuk biasanya kalau kamu beli sate? Bisa kupastikan jawabanmu adalah 10. Karena memang itulah angka kebiasaan seseorang bila ingin membeli sate untuk satu porsi. Tapi bagiku, yang cuma bisa mengharap uang 'jatah bulanan' dari orangtua sehingga harus hidup sehemat-hematnya, 10 tusuk rasanya terlalu banyak. Sebenarnya, kalau cuma untuk satu kali makan, 7 tusuk pun sudah cukup buatku. Jumlah itulah yang kupesan beberapa minggu, atau beberapa bulan yang lalu ketika pertama mencoba beli sate di tempat Paman Sate Berambut Gondrong.
"Tujuh, Man," pesanku.
"Hah?" tanyanya meyakinkan pendengarannya, seolah tidak percaya ada yang memesan 'cuma' 7 tusuk.
Aku merasa tidak enak. Pikiran cepatku mengatakan tak apalah menambah 3 tusuk lagi daripada terlihat memalukan, toh hanya menambah beberapa ribu rupiah. Pesanan pun kuralat. "Eh, sepuluh aja, Man."
"Sepuluh?" tanyanya lagi.
"Iya."
Sepuluh potongan kecil daging ayam yang ditusuk pun ditaruh di atas tungku. Si Paman Sate Berambut Gondrong mengipas-ngipasnya hingga matang. Sate yang sudah matang dibungkus, lengkap dengan sambal kacangnya.
"Pakai lontong?"
"Tidak." Tentu saja tidak. Aku punya nasi sendiri di kontrakan. Aku biasa memasak, dengan beras yang kubawa sendiri dari kampung hasil bertani orangtuaku.
Aku bertanya berapa, Paman Sate Berambut Gondrong menyebutkan harganya, aku membayar, Paman Sate Berambut Gondrong menyerahkan sate pesananku.
Tiba di kontrakan, sate dan sambalnya kutuang ke piring. Piring itu lalu kupenuhi dengan nasi hasil masakku. Aku makan. Dan seperti yang kupikirkan sebelumnya, 10 tusuk sate ini kebanyakan. Bahkan 5 tusuk pun sebenarnya sudah cukup.
Peristiwa itu kulupakan, hingga malam kemarin...
Entah mengapa--mungkin karena bosan dengan menu rutin yang selalu berupa telur dadar, tiba-tiba malam kemarin aku ingin beli sate lagi, di tempat Paman Sate Berambut Gondrong. Saat itulah aku kembali mengingat-ingat peristiwa beberapa minggu, atau beberapa bulan yang lewat. Ketika itu pula aku menyadari, bahwa pertanyaan 'Hah?' Paman Sate Berambut Gondrong hanyalah senjata yang ia siapkan jika menghadapi orang-orang sepertiku, orang-orang yang memesan di bawah angka 10 tusuk. Dengan kesadaran yang baru muncul itu, aku menggas motor matic-ku ke tempat Paman Sate Berambut Gondrong. Sekarang hanya soal kepercayaan diri, demikian ucapku berulang-ulang dalam hati.
Beberapa saat, motor matic-ku sudah tiba di tujuan.
"Tujuh, Man," pesanku.
"Hah?" serangnya, seolah mengatakan: tidak pernah ada saya menemui orang yang memesan 'cuma' 7 tusuk, kamu miskin atau apa?
Tapi kali ini aku sudah siap. "Tujuh," tangkisku percaya diri.
"Tujuh?" tembaknya lagi, mencoba meruntuhkan kepercayaan diriku.
"Iya, tujuh," jawabku lagi, semakin mantap.
Aku menang, ia kalah. Benar-benar budeg bila masih saja si Paman Sate Berambut Gondrong bertanya berapa tusuk.
Tapi ternyata, ia masih punya senjata cadangan. "Tujuh apa?" tanyanya seperti orang bingung. Memangnya 7 apa lagi?!
"Tujuh tusuk, Man," jawabku tenang.
"Oh... tujuh tusuk..."
"Iya, 'tujuh' tusuk." Aku memberi penekanan pada kata tujuh.
Dengan lesu, Paman Sate Berambut Gondrong itu pun lalu meraih tusukan-tusukan satenya yang masih mentah kemudian meletakkannya di panggangan.
Tapi aku belum puas. Sekarang, giliranku menyerang balik. "Bisa kan, 'cuma' tujuh tusuk?" Aku memberikan penekanan pada kata cuma.
Ia menjawab pelan, nyaris tidak kedengaran, "Iya, bisa..."
Aku tersenyum, tapi tertawa dalam hati. Lain kali, akan kucoba memesan 5 tusuk saja... []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar