Sabtu, 03 Mei 2014

Memang Tidak Pintar (Catatan tentang Ujian Tengah Semester)

Senin
Aku pulang ke rumah. Ibu bertanya apakah hari ini tidak ada kuliah. Kujelaskan bahwa mulai hari ini hingga empat hari ke depan adalah minggu tenang, sebelum Ujian Tengah Semester.
Sebenarnya bukan itu penyebab aku pulang ke rumah, melainkan kondisi keuanganku yang habis, bahkan minus, gara-gara beberapa hari sebelumnya jalan-jalan ke Teluk Tamiang. Tapi aku tak perlu menjelaskan itu pada Ibu, Ibu sudah tahu tanpa aku harus mengatakannya.
“Jangan lagi jalan-jalan! Menghabiskan uang! Belajar, nanti tidak bisa menjawab soal ujian! Jangan jalan-jalan lagi, ya! Jangan jalan-jalan!”
Inggih, Ma,” jawabku.

Selasa
Seperti setiap kali pulang ke rumah, aku mengambil sebuah novel tipis yang mungkin untuk diselesaikan dalam satu hari dan membacanya. Kali ini aku membaca The Old Man and The Sea karya masterpiece Ernest Hemingway yang, tentu saja, masuk dalam 1001 Books You Must Read Before You Die. Aku membacanya dari pagi, dan selesai sore.
Karena sepanjang hari kuhabiskan hanya membaca novel, Ibu kembali berang. “Kalau mau ulangan itu belajar, jangan baca ‘buku cerita’ terus!”
“Catatannya di kontrakan, Ma. Ulun mau ke Banjarmasin, tapi tidak ada uang.” Sebenarnya, kalau aku memang ingin belajar, bisa saja mencari bahannya dengan mencolok modem.
Lalu Ibu kembali memulai ceramahnya, soal gajian, soal bagaimana cara beliau berhemat, soal pentingnya hemat, dan soal jangan jalan-jalan.

Rabu
Rencana aku ke Banjarmasin siang, atau sore. Menunggu waktu itu, aku kembali membaca novel, kali ini Women at Point Zero (Perempuan di Titik Nol) karya penulis hebat Mesir, Nawaal El Saadawi yang juga masuk list 1001 Books You Must Read Before You Die, berkisah tentang pelacur yang akan dihukum gantung.
Lalu siangnya, sebelum novel itu selesai kubaca, Ayah memberiku uang untuk beberapa hari (bukan untuk sebulan karena belum tanggal gajian) dan Ibu menyiapkan sekantung beras dan beberapa butir telur bebek untuk makanku di kontrakan nanti.
Sore hari, aku kembali ke kontrakan. Hujan. Berteduh di Handil Bakti di rumah saudaraku, dan malamnya barulah aku tiba di kontrakan. Aku tahu, Ibu memintaku cepat kembali ke kontrakan agar aku bisa belajar, tapi karena UTS masih dua hari lagi, aku bersantai saja malam ini.

Kamis
Dari pagi hingga sore, aku masih belum belajar. Malas, itu saja. Baru sehabis shalat ashar aku ke kontrakan temanku, Rizky, untuk melengkapi materi yang harus dipelajari. Di kontrakan Rizky, aku justru main catur, hingga hampir magrib. Baru pada malam harinya aku sedikit membaca-baca materi. Tidak terlalu banyak, karena kemudian aku tertidur.

Jumat
Ini adalah hari yang berat, hari pertama dari dua hari Ujian Tengah Semester. Tapi aku tetap tersenyum sebelum ujian berlangsung meskipun aku tidak begitu siap.
“Aku memang tidak pintar,” kataku pada Rizky, “tetapi selalu beruntung.”
Ada dua mata kuliah yang diujikan hari ini, Keperawatan Gawat Darurat, dan Disaster Nursing. Hal yang tak terduga terjadi pada soal mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat. Ada dua dosen yang mengajar pada mata kuliah tersebut, Pak Zaenal dan Pak Imanuddin. Karena Pak Imanuddin jarang masuk, dan beliau tidak memberikan materi (beberapa hari perkuliahan beliau hanya berupa diskusi), kami tentu hanya mempelajari bahan Pak Zaenal. Ternyata, soal yang diujikan hanya soal Pak Imanuddin. Aku tertawa, karena merasa beruntung dengan tidak menghabiskan banyak waktu membolak-balik materi Pak Zaenal.
***
Sehabis shalat Jumat, aku ke rumah saudaraku, meminjam uang untuk membayar uang setor buku pada Bang Harie yang sudah habis kubelanjakan. Menggali lobang untuk menutup lobang lain. Siang ini aku memang berencana ke Banjarbaru meskipun besok masih ada ujian. Selain untuk menyetor uang buku dan mengembalikan buku-buku titipan Bang Harie yang tersisa (aku dulu jualan buku, banyak kawan yang menitip bukunya padaku untuk dijualkan, Bang Harie adalah salah satu yang paling banyak menitip, karena ia ‘pernah’ punya penerbitan, pernah punya toko buku, dan punya banyak buku-buku yang juga titipan), aku akan menghadiri acara lounching novel Kak Nanda, Kebisingan Hati, di halaman PUSTARDA Banjarbaru jam empat sore. Yang kedua inilah tujuan utamanya, karena saat Kak Nanda mengundang, aku sudah berjanji akan datang.
Saat akan berangkat, suara Ibu kembali terdengar di telingaku, “Jangan lagi jalan-jalan! Belajar!”
Lalu hujan turun, lebat, seolah alam juga berada di pihak Ibu. Aku bisa saja menerobos hujan, aku biasa melakukannya. Tapi itu akan membuat basah sekardus buku-buku titipan Bang Harie.
Lewat jam empat sore, barulah hujan mereda. Aku tetap berangkat. Masih sempat. Ini soal janji. Dan memang benar, begitu aku tiba di Kopi Kepo di halaman PUSTARDA Banjarbaru, acara baru memasuki sesi bincang-bincang dengan peserta. Bang Hari berada di samping Kak Nanda sebagai moderator. Tentu saja, karena Bang Harie-lah manajer para novelis yang berada di bawah naungan On-Off Solutindo.
Usai acara, aku mengobrol dengan Bang Harie soal buku titipan dan uang setoran. “Tapi karena uang ulun tidak banyak, sekarang ulun baru bisa setor separuhnya, Bang.”
Bang Harie bilang tak apa.
“Gimana novelmu?” tanyanya.
Aku hanya bisa tertawa getir menanggapinya.
Bang Harie juga memintaku membantunya malam ini mengangkut rak buku bekas taman bacaan beserta komik-komiknya yang baru saja ia borong.
Aku seharusnya pulang secepatnya, tapi tak mungkin menolak permintaan Bang Harie. Jadilah malam ini aku layaknya kuli kasar.
Pelajaran moral nomor 1: melanggar larangan orangtua bisa mengakibatkan kau menjadi pekerja kasar yang bahkan tidak digaji.
Perlu dua kali balik untuk mengangkut semua komik dan 5 raknya dengan mobil pick-up. Tiga rak bisa diangkat oleh dua orang, namun dua sisanya, 4 orang saja kewalahan. Dan kami hanya mengangkatnya 3 orang, aku, sopir pick-up, dan Bang Harie yang bertubuh mungil. Bukan hal aneh jika rak itu tidak stabil di tangan kami saat menaikkannya ke dalam pick-up. Sialnya, Gendhis, anak Bang Harie yang ikut menonton, berada tepat di lokasi rak itu akan jatuh. Gendhis hanya tertawa-tawa. Bang Harie sebagai seorang Ayah tentu memarahi anaknya karena Gendhis tak mau ketika disuruh menjauh. Beruntung, rak itu tidak roboh. Secara fisik, Gendhis selamat, namun entah dengan psikologisnya setelah Bang Harie marah sedemikian rupa. Sekali lagi, ini hari yang berat, sungguh-sungguh berat, juga dalam makna yang sebenarnya.
Pekerjaan itu baru selesai menjelang jam 11 malam. Meski kebanyakan komik, ada juga beberapa novel dari dua pick-up buku tersebut. Aku meminta dua novel, Nemesis karya Agatha Christie, dan Omera karya Mario Puzo. Dari wajahnya, kulihat Bang Harie tidak ikhlas. Tapi dua novel tersebut tetap kubawa. Bahkan dua novel tersebut tidak akan lunas membayar tenagaku malam ini.
Lewat dini hari barulah aku tiba di kontrakan. Aku belajar sebentar, sebagai ucapan maafku pada Ibu karena melanggar pesannya, kemudian tertidur sampai pukul 3 pagi. Aku tak bisa tidur lagi kemudian karena efek kopi yang kuminum saat di rumah Bang Harie tadi. Aku mandi, shalat isya, kemudian belajar.
Aku membuat semacam kerpean tentang Keperawatan Kritis, karena menurutku materi pelajaran akan lebih meresap jika ditulis, tidak hanya dibaca. Beruntung bila catatan tersebut nantinya bisa dijadikan contekan.
Catatan tersebut selesai ketika sampai waktu subuh. Aku shalat subuh, mencharge ponsel di colokan di luar kamar, lalu tidur, dengan damai...

Sabtu
Saat aku terbangun, cahaya matahari yang menerobos lewat jendela telah memenuhi kamarku. Aku gelagapan. Aku segera keluar kamar untuk meraih ponsel. Ada beberapa panggilan tak terjawab dan dua sms dari Tri, menanyakan di mana aku, dan memberitahukan bahwa ibu pengawas ujian sudah masuk. Namun yang penting ialah jam di ponselku: sudah pukul 10!
Aku cepat mencuci muka, mengganti baju, mengeluarkan motor dari gudang, lalu memacunya sekencang mungkin. Ada dua mata kuliah yang diujikan hari ini, yang pertama Keperawatan Kritis, pukul 8.30, dan yang kedua Keperawatan Transkultural, pukul 10.00. Aku jelas tak bisa mengikuti yang pertama, dan hanya bisa berharap tidak terlambat untuk yang kedua.
Kontrakanku yang sekarang cukup jauh dengan kampus, paling cepat 20 menit baru bisa sampai. Sepanjang jalan, aku mengutuki diriku sendiri. Andai ada Ibu di dekatku, aku akan berlutut memohon maaf padanya.
Pelajaran moral nomor 2: jangan tidur di subuh menjelang ujian.
Aku tiba di ruang ujian. Beruntung Ibu Isna, dosen yang mengawas ujian di ruanganku masih mau memberikan soal ujian. Ia dosen baru, dan sangat baik. Saat aku duduk, ia memanggil lagi. “Kenapa jam pertama tadi tidak masuk?” tanyanya.
“Ketiduran, Bu,” jawabku.
“Ini, kerjakan sekalian.” Ia menyerahkan soal ujian jam pertama: Keperawatan Kritis.
Aku senang sekali. Kuucapkan terimakasih padanya. Masalahku teratasi dengan kebaikannya yang luar biasa!
Kedua soal mata kuliah itu berupa soal essai, aku tidak yakin mampukah aku menyelesaikan keduanya dengan waktu yang hanya tersisa sedikit ini. Dengan dosen pengawas sebaik itu, tanpa pikir panjang kukeluarkan kerpean yang telah kubuat, dan mulai menyalin.
Ibu Isna duduk jauh di belakang, tak akan melihat apa yang kulakukan. Saat Ibu Isna mulai berjalan-jalan untuk mengambil lembar jawaban yang telah selesai, aku menutup kerpeanku, dan mengerjakan soal Keperawatan Transkultural. Aku tak punya catatan tentang mata kuliah ini, dan soal memang berupa hasil pemikiran, bukan hapalan atau ingatan. Dengan waktu yang hampir habis, aku menjawab seadanya. Lalu ketika Ibu Isna di belakang, aku kembali melanjutkan menjawab soal-soal Keperawatan Kritis. Saat itulah, tahu-tahu Ibu Isna sudah ada di belakangku untuk meminta kartu ujian dan menyerahkan absen untuk ditandatangani. Aku cepat menutup kerpean itu di balik kertas-kertas yang lain. Namun terlambat, Ibu Isna sudah melihatnya.
Ia mengambil semua kertas-kertas di mejaku, mengambil kertas contekanku dan mengembalikan yang lain setelah kartu ujianku ia tandatangani.
“Kerjakan sendiri sisanya, ini Ibu ambil,” katanya tanpa ekspresi. Kebaikannya yang luar biasa padaku justru kunodai, siapa yang tidak marah?
Keperawatan Keritis apa 4 soal. Aku sudah nyaris menyelesaikan 3 soal padahal, tapi itu tidak akan ada artinya lagi. Dengan pelanggaran yang kulakukan, tidak akan ada nilai untukku. Lalu kujawablah yang sisanya dengan seadanya.
Pelajaran moral nomor 3: berhati-hatilah saat membuka contekan di ujian, meskipun pengawasnya baik.
Ketika mengumpulkannya ke meja Ibu Isna, aku hanya bisa tertunduk.
“Ini tidak Ibu kembalikan,” katanya padaku sambil memegangi kertas catatanku tadi, wajahnya masih tanpa ekspresi. Kemudian, ia tersenyum. “Tenang, tidak akan Ibu laporkan...”
Aku terlonjak, tenggorokanku seperti tercekat. Aku terdiam dan tak bisa berkata-kata.
“Terimakasih bu, terimakasih..., terimakasih banyak...,” kataku akhirnya. Hanya itu yang bisa kukatakan.
Aku berjalan keluar ruangan. Teman-temanku yang sudah lebih dulu keluar asyik berbincang-bincang di bangku.
“Aku tadi berencana mau ke kontrakanmu setelah ini, kukira kamu kenapa-kenapa, ternyata ketiduran!” sungut Tri, ia memang teman yang bisa diandalkan.
Aku tidak memberitahunya bahwa aku ketiduran, tapi rambut dan wajahku yang berantakanlah yang mengatakannya.
“Aku sudah berpikir yang macam-macam...” kali ini Reno.
Lalu kuceritakan tentang soal Keperawatan Kritis yang tetap diberikan Ibu Isna. Mereka tidak berkomentar karena sudah tahu soal itu. Lalu kuceritakan lagi soal catatanku yang kedapatan namun tidak dilaporkan. Mereka langsung menyumpah-nyumpah! Aku hanya bisa tertawa.
“Terbukti kata-katamu, Zian...,” kata Rizky, saat sumpah-serapah itu mereda. “Memang tidak pintar, tetapi selalu beruntung!” []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar