Hari I (Minggu, 20 April 2014)
Kami berkumpul di kontrakanku di Sultan Adam pagi hari sekitar pukul sembilan. Saat ini kami hanya memegang satu snorkel set (masker & pipa) yang kupinjam malam sebelumnya dari Bang Fadil. Rencananya kami akan meminjam satu lagi dari Adit. Tapi karena Adit baru ada di rumahnya kisaran pukul 10, kami harus bersabar menunggu. Ketika pukul 10.40 Adit mengirim SMS bahwa ia sudah ada di rumah, aku dan Tri bergegas ke rumahnya. Selain dua alat snorkel, kami juga membawa satu kacamata renang yang kupinjam dari Yudis.Sebelum berangkat, kami sepakat untuk jalan dengan santai saja. Semua setuju, mengingat beberapa kecelakaan yang menimpa orang-orang terdekat kami akhir-akhir ini. Pukul 11.40, kami berempat berangkat dari kontrakanku dengan dua Yamaha V-ixion: aku menumpang di motor Tri, dan Lutfi membonceng Rofik di motornya. Kedua motor besar tersebut knalpotnya sudah diganti Tri dan Lutfi dengan knalpot yang bunyinya seperti rentetan petasan.
Karena Tri yang lebih mengetahui jalan (ia sering pulang-pergi ke rumahnya di daerah Tanah Bumbu), maka kami berdualah yang memimpin di depan. Ketika sudah keluar dari Banjarmasin, dengan naluri pembalap Tri, serta jalan yang sudah dikuasainya, kami melesat serupa kilat, diiringi Lutfi dan Rofik di belakang, menyalip mobil-mobil besar, menyingkirkan motor-motor lain dengan knalpot meriam kami, dan mengurungkan niat orang-orang yang ingin menyeberang jalan.
Aku berkali-kali memperingatkan Tri. “Asa ganting paparutanku!” (Rasanya ususku mau putus)
Namun ia dan Lutfi seperti kerasukan. Kesepakatan untuk jalan dengan santai seolah tak pernah terjadi.
Para Pembalap |
Hanya 90 menit kami telah sampai di Pelaihari! Kami singgah di sana, shalat (aku menjamak shalat), lalu mencari makan. Warung makan yang kami singgahi ternyata merupakan sarang lalat. Namun karena sudah singgah, kami malas mencari warung lain, dan pasrah menjadi sahabat para lalat.
Pukul 14.15, kami meneruskan perjalanan. Saat itu gerimis mencoba menciutkan nyali kami. Nyali kami tak tergoyahkan, gerimis itu pun menambah amunisi dan perlahan berubah jadi hujan deras. Kali ini nyali kami menciut dan terpaksa berteduh. Karena kami tak ingin membuang waktu, dan keinginan untuk tiba di daerah Kotabaru tak terbendung lagi, kami mengeraskan nyali. Aku dan Lutfi memakai jas hujan (karena hanya kami berdua yang membawanya), Tri mengamankan Canon-nya dalam kantong plastik, dan Rofik terlihat pasrah dengan apapun keputusan kami. Lalu kami kembali meneruskan perjalanan meski hujan deras menyemprot kami dari langit. Kami juga singgah di bengkel untuk memperbaiki rem belakang motor Tri (ini singgah karena masalah motor Tri yang pertama, setelahnya kami akan lebih sering lagi singgah karena sumber masalah yang sama: motor Tri).
Dua Yamaha V-ixion itu masih melesat dengan kecepatan terbaiknya, pukul 16.20 kami memasuki Kabupaten Tanah Bumbu, dan pukul 18.30, kami sampai di Kota Batulicin. Di Mesjid At-Taqwa kami singgah untuk membasuh diri, shalat dan istirahat sejenak.
Pelabuhan Penyeberangan Batulicin tidak jauh dari mesjid tersebut. Pukul 19.30 motor kami bergerak ke sana. Tiket menyeberang untuk satu motor harganya Rp 25.000. Sambil menunggu keberangkatan fery, kami menyantap mie instan di warung dekat pelabuhan tersebut. Kami memilih mie instan karena yakin harganya murah. Tapi keyakinan kadang memang tidak berguna, terlebih saat di pelabuhan.
Tepat setengah sembilan malam, kami telah tiba di seberang, di Pelabuhan Tanjung Serdang, di Pulau Laut, bagian terbesar dari Kabupaten Kotabaru. Ini pertama kalinya untukku (juga Lutfi dan Rofik) menginjakkan kaki di pulau ini, sesuatu yang selalu kuangankan sejak bertahun-tahun silam. Tujuan kami semakin dekat! Namun di sini pun kami juga harus bertahan sejenak, memperbaiki motor Tri yang kembali minta perhatian.
Tidak jauh dari pelabuhan, jalan bercabang dua, ke utara merupakan arah ke Kota Kotabaru, ibukota Kabupaten Kotabaru, sedang ke selatan menuju Lontar dan Teluk Tamiang, lokasi gugusan terumbu karang yang akan kami kunjungi itu berada. Namun karena sudah malam, kami berbelok ke kiri, menuju kota Kotabaru (ini sebenarnya sudah kami rencanakan dan memang masuk destination perjalanan kami).
Kami sampai di pusat Kota Kotabaru, Siring Kota, yang terletak tepat di depan Kantor Bupati Kotabaru pukul 21.40. Di sini kami cukup lama bertahan.
Haru Biru Kotabaru |
Meskipun kami sudah berencana akan ke kota ini, kami belum memutuskan dengan pasti di mana menginap malam ini. Tri menawarkan di kost temannya, aku menawarkan di pesantren tempat temanku mengajar atau di Pantai Sarang Tiung, sementara Lutfi dan Rofik hanya mengikut bagaimana keputusan kami. Tri cukup setuju dengan usul keduaku, katanya di Pantai Sarang Tiung ada rumah-rumah penginapan yang bisa disewa. Dua teman Tri yang dimaksud datang, demikian pula temanku saat di pesantren dulu yang sekarang sudah menjelma menjadi Ustadz Misnawi.
Tanpa harus berunding, kami tahu Misnawi lebih tulus, ia sendiri yang ‘meminta’ menginap di tempatnya, sementara kedua teman Tri tadi hanya ‘bersedia’.
Pesantren Raudhatul Jannah, pesantren itu berada di Hilir Muara, hanya beberapa menit dari Siring Kota. Pukul sebelas malam kami tiba di sana. Kami dijamu dengan banyak kue kering, buah pampakin, sprite, dan mizone. Temanku si Misnawi tadi rupanya satu-satunya ustadz yang tinggal di pesantren itu karena hanya ia ustadz yang belum berkeluarga.
Misnawi, atau sebaiknya kusebut Ustadz Misnawi, punya kisah hidup yang memukau yang membuatku selalu kagum sampai sekarang. Motor baru yang dipakainya sekarang, dan niatnya menikah tahun depan, semakin menambah kekagumanku padanya. Tapi karena kali ini aku ingin menulis cerita perjalananku, bukan cerita hidup temanku itu, dan lagipula aku tak pandai bercerita, maka cerita tentang Misnawi kita lewati saja.
meluruskan pinggang |
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar