Hari II (Senin, 21 April 2014)
Setelah shalat subuh berjamaah di mushalla pesantren dan membereskan barang-barang, kami pamit dengan Misnawi, tepat pukul 6 pagi. Tujuan berikutnya sebelum ke Teluk Tamiang adalah mengejar sunrise di Pantai Sarang Tiung. Bisa mati penasaran aku kalau sudah ke Kotabaru tapi tidak ke pantai itu.Hanya perlu 15 menit dari pesantren Raudhatul Jannah menuju Pantai Sarang Tiung. Sepagi ini cuma kami berempat pengunjung pantai tersebut. Sayang, sunrise yang kami kejar keindahannya sedikit berkurang oleh awan yang menutupinya.
Di pantai itu juga ada dermaga yang terbuat dari batu dan semen. Kami banyak mengambil foto di sana.
Setelah puas foto-foto di sana selama satu jam, kami mencari sarapan, kemudian melanjutkan perjalanan ke tujuan utama kami, Teluk Tamiang. Roh para pembalap kembali merasuki Tri dan Lufti. Dengan kecepatan setan, kami melaju menyusuri wilayah barat Pulau Laut melewati jalan yang penuh kelokan, tanjakan, dan turunan tanpa mengurangi kecepatan. Aku seperti berada di sirkuit motogp.
Kami singgah sebentar untuk mengambil foto dengan background gunung. Dan singgah cukup lama di dermaga yang menurut kami sangat-sangat eksotis. Tempat itu sangat nyaman, terlebih setelah perjalanan yang melelahkan. Aku bahkan sempat baca novel The Virgin Suicides yang kubawa. Saat itu masih pagi, tidak bisa kubayangkan bagaimana indahnya tempat ini saat matahari tenggelam. Baru setelah 30 menit di sana kami kembali melanjutkan misi.
Kini sirkuit motogp telah berubah menjadi sirkuti grasstrack. Menurut informasi kawan sekelas kami, Amat, yang merupakan penduduk asli Lontar dan sebenarnya sangat ingin ikut dalam perjalanan ini namun karena ada halangan sehingga tak bisa ikut, katanya jalan ke Teluk Tamiang tidak lagi separah dulu. Informasi itulah yang membuat kami tidak menduga kalau ternyata jalannya banyak rusak walaupun masih bisa dilewati. Roh pembalap yang merasuki Tri dan Lutfi terpaksa hengkang.
Jalan semakin bertambah parah dan menuju fase gawat darurat. Kami singgah di sebuah kios dan berbincang-bincang dengan bapak pemiliknya yang ramah. Orang sini memang terkenal ramah-ramah, dan gadisnya cantik-cantik.
“Makin ke sana jalannya makin parah. Yang kalian lewati itu belum ada apa-apanya.”
Kami ngeri.
“Anak-anak sini yang sekolah ke Lontar, sebelum jam 5 harus sudah berangkat supaya tidak terlambat. Kalau kami ke Lontar pakai motor setengah pakai, baut-bautnya harus dikencangkan dulu, soalnya sampai sana pasti sudah longgar.”
Kami tertawa.
“Saya dengar tadi, di sana beberapa mobil amblas dan tidak bisa lewat.”
Kami bergidik.
“Tapi ya, kalian coba saja dulu. Kalau pakai motor mungkin masih bisa.”
Kami semangat.
Saat meneruskan perjalanan, ternyata kata-kata pemilik kios tadi bukan sekadar bualan. Sirkuit grasstrack berubah jadi sirkuit motocross. Kami berkali-kali berhenti karena kelelahan dan karena motor Tri kembali cari masalah. Jalan baru membaik ketika memasuki daerah Lontar.
Hingga pukul 14.10 kami akhirnya memasuki Desa Teluk Tamiang, itu pun setelah berkali-kali bertanya jalan dengan warga sekitar. Seperti yang sudah direncanakan, kami mencari rumah kepala desa. Ternyata rumah kepala desa tepat di bibir pantai. Kami sampai di rumah beliau pukul 14.25, dan dijamu Apri, anak si kepala desa karena saat itu beliau sedang tidak di rumah. Kami mengutarakan tujuan kami dan berkenalan dengan Apri. Umurnya tak jauh beda dengan kami, dan baru tahun tadi menamatkan kuliah di STMIK Indonesia Banjarmasin.
“Aku punya teman di STIKES Muhammadiyah, namanya Amat.”
“Rahmad Khairin?” tanyaku.
“Ya, ya.. Betul. Teman main bulu tangkis. Dia orang Lontar.”
“Dia teman sekelas kami,” terangku.
Aku ingat, saat beberapa bulan yang lalu aku mengatakan pada Amat akan ke Teluk Tamiang, ia memberitahuku bahwa anak kepala desa Teluk Tamiang adalah temannya, namun saat itu aku tak terlalu peduli.
Kami juga bertanya di mana bisa menginap, Apri menjawab bahwa itu gampang saja, bisa di rumahnya, atau di rumah sebelah. Rumah sebelah itu kosong karena baru saja dipakai menginap teman-temannya di kampus yang baru pagi tadi pulang.
Dengan Apri, kami mendiskusikan jadwal selama di sana. Karena lokasi-lokasi terumbu karang yang bagus harus dijangkau dengan kapal, sedangkan sewa kapal dihitung per hari, maka kami baru akan menyewa kapal nelayan besoknya. Sebenarnya, aku sangat ingin ke tempat-tempat terumbu karang yang bagus siang itu juga, namun yang lain menolak dengan berbagai alasan. Aku tahu, tujuan mereka ke sini memang hanya untuk foto-foto, bukan snorkeling. Karena kami tidak ada yang punya plastik pelindung HP dari air, apalagi kamera underwater, maka tentu saja mereka tidak terlalu semangat snorkeling, tidak seperti aku.
Setengah empat sore, sehabis ngobrol-ngobrol dengan Apri sambil melepas lelah, kami snorkeling di pesisir pantai yang ada di belakang rumah pembakal. Di sana juga banyak terumbu karang, namun tidak bagus dan rapat. Tak apa, itu pun sedikit menghibur. Jadwalku benar-benar berantakan gara-gara mengajak orang yang salah.
Selesai snorkeling yang tak memuaskan itu, kami foto-foto dengan anak-anak di sana sembari menikmati matahari terbenam di dermaga.
Malamnya, usai magrib, kami dijamu makan malam di rumah kepala desa. Hidangannya luar biasa nikmat, seperti di restoran, kendati aku juga belum pernah makan di restoran. Beginilah makanan penduduk sini setiap hari....
Kami menginap di rumah sebelah. Aku tidur lebih dulu sementara teman-temanku yang lain jalan-jalan di sekitar desa.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar