Hari III (Selasa, 22 April 2014)
Dermaga Teluk Tamiang |
Pagi ini kami sarapan di warung dan harganya sangat murah. Setelah itu Pak Kepala Desa menjamu kami dengan kue dan teh hangat. Apri, anak kepala desa, menjelaskan bahwa kapal nelayan yang akan disewa sudah siap. Sewanya 200 ribu, dan kami malas menawar.
Tujuan pertama ialah mercusuar peninggalan Belanda yang ada di puncak Pulau Tanjung Kunyit. Setengah sembilan pagi kami naik kapal dan tepat pukul sembilan kami sudah landing di Pulau Tanjung Kunyit.
Pulau Tanjung Kunyit |
Selama setengah jam kami tracking hingga sampai di mercusuar.
Selain mercusuar, bangunan-bangunan di sekitarnya juga peninggalan Belanda. Bangunan-bangunan tersebut dibiarkan sebagaimana adanya. Ada seorang penjaga di sana. Kami meminta izin untuk naik ke mercusuar.
Mercusuar Tanjung Kunyit |
Bangunan sekitar mercusuar Tanjung Kunyit |
Lelah kami terbayar saat berada di atas mercusuar, pemandangan luar biasa menakjubkan terhampar di sekeliling kami. Dari atas sini, kita bisa melihat pulau-pulau yang ada di sekitar.
Aku tak butuh waktu lama di sini, tujuan utama ke Teluk Tamiang ialah snorkeling. Tapi Tri dan Lutfi justru menjadi budak kamera. Jika terlalu lama di sini, kami, tepatnya aku, tak akan bisa berlama-lama menikmati keindahan bawah laut Teluk Tamiang yang terkenal itu, karena Lutfi mendesak ingin cepat pulang. Katanya, ayahnya mau ke Banjarmasin dan ia harus menjemput ayahnya. Oleh karena itulah aku tak bisa membuang-buang waktu.
Mereka juga ingin cepat pulang karena kata mereka, saat malam tadi berbincang dengan warga, katanya di perjalanan kalau malam ada rampok. Tapi lihatlah apa yang Tri dan Lutfi lakukan, menghabiskan waktu hanya untuk bernarsis ria di depan kamera!
Satu jam kemudian, barulah kami turun.
“Itu WC peninggalan Belanda bro, kalian tak ingin foto di sana juga ya?” kataku. Tapi rupanya mereka tidak tersindir, dan justru kembali foto-foto sehingga perjalanan turun tertunda sekian lama.
Saat kami sudah kembali ke kapal, kapal tersebut membawa kami mengitari Pulau Tanjung Kunyit menuju gugusan terumbu karang. Ketika sudah sampai lokasi yang dimaksud, aku langsung menceburkan diri dengan alat snorkel. Dan, waw! Terumbu karangnya sungguh sangat menakjubkan!
Terumbu karang di sini besar-besar dan berlapis-lapis hingga ketinggian 2 meter. Aku tak bisa membayangkan waktu yang dibutuhkan terumbu-terumbu karang tersebut hingga bisa sebesar ini.
Selama dua jam kami snorkeling di sana. Jujur, itu rasanya belum memuaskan. Kapal kemudian membawa kami ke gugusan terumbu karang yang lain, di sekitar Pulau Semut, namun di sana airnya keruh, jadi kami kemudian kembali ke darat. Perjalanan dua hari dibayar dengan 2 jam snorkeling! Semua ini gara-gara dua orang pribumi yang sudah dijajah kamera itu!
Pukul 13.30 kami sampai kembali ke rumah kepala desa. Kami numpang mandi, lalu kembali dijamu makan. Kali ini hidangannya jauh lebih nikmat dari malamnya. Seekor ikan, entah apa namanya, berukuran besar, dan dimasak dengan dengan cara apa, terhidang di hadapan kami. Ini restoran bintang lima, man!
Kami pulang pukul 15.30 dan tak sempat ke Tanjung Tengah karena cerita rampok yang mereka dengar tadi malam. Ini bagian yang sangat kusesalkan. Di Tanjung Tengah-lah padahal terumbu karang yang jauh lebih bagus dengan banyak warna. Dan menurut seorang teman, pantai di sana sangat indah.
Setengah tujuh malam, kami sampai di Pelabuhan Tanjung Serdang dan istirahat sejenak di sana. Satu jam berikutnya barulah kami naik fery penyeberangan.
Malam itu kami menginap di Batulicin, di tempat keluarganya Tri, di salah satu kamar karyawan Klinik Alfi Azhar. Kamar yang sempit tidak mengurangi nyenyaknya kami tidur malam itu.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar