Kamis, 31 Juli 2014

Pagi, Kopi, Puisi

selamat pagi,
untuk kenangan yang teraduk dalam secangkir kopi
dan kata yang terdiam di sebait puisi

Rabu, 30 Juli 2014

Senja dan Gerimis

Kamu hanya mencintai senja dan gerimis
Sementara ia harus menjadi malam
Dan aku harus menjadi hujan

Aku,

Aku, cinta yang paling diam
Tertidur dalam rindu yang paling malam

Selasa, 22 Juli 2014

Untukmu Seluruh Nafas Ini

Hari ini, aku melihat cinta...
***
"Ibu di Marabahan? Kalau iya, ulun ke sana," demikian pesan singkat yang kukirim pada Bu Ninin.
"Iya, di Marabahan." Jawaban itu kuterima agak lama setelah pesan yang kukirim.
Bu Ninin selalu senang jika aku mengunjunginya. Ia juga sudah tahu, hanya ada dua hal yang membuatku mengunjunginya, sedang bahagia, atau sedang menderita. Dan biasanya yang kedua. Kali ini, seperti biasanya, yang kedua.
Entahlah, ingatanku sudah kabur tentang sejak kapan aku akrab dengan Bu Ninin. Yang pasti, ia sudah seperti ibu sendiri. Meski kadang menjengkelkan, aku tahu ia menyayangiku layaknya anak sendiri. Ke rumahnya, aku seperti ke sebuah surga kecil. Di sana ada Pak Bambang, suami Bu Ninin, yang sudah kuanggap ayah sendiri. Ada Fawwaz dan Aqila yang kuanggap layaknya adik sendiri.
Berangkatlah aku sore tadi dari Banjarmasin ke Marabahan. Sempat mampir ke rumah untuk shalat ashar dan menyimpan buku-buku yang baru kubeli.
Aku sudah beberapa bulan tidak lagi ke Marabahan. Ke sana biasanya untuk menukar buku-buku jualan yang tersisa di koperasi SMAN 1 Marabahan sekaligus mengambil uang dari buku-buku yang laku terjual. Tapi karena sekarang aku sudah berhenti jualan buku, ke Marabahan pun tidak sesering dulu lagi. Harus ada keperluan lain selain hanya berkunjung jika aku ke Marabahan. Kali ini keperluan lain itu adalah mengantarkan 10 eksemplar buku Episode Luka yang baru terbit untuk minta dijualkan.
Ternyata, jalan dari Sungai Gampa sampai ke kota Marabahan rusak parah. Banyak lobang di sana-sini. Lobang-lobang itu biasanya diuruk batu. Dan akibatnya, debu tebal menggumpal sepanjang bahu jalan. Beruntung aku memakai masker, masker pemberian seseorang yang kupikir cukup peduli denganku.
Sekitar pukul lima sore, aku tiba di rumah Bu Ninin, di surga kecil itu. Kami mengobrol. Menjelang berbuka, kami (aku, Bu Ninin, Pak Bambang, Aqila, dan Fawwaz) menuju salah satu warung yang paling terkenal di Marabahan. Sialnya, saat kami tiba warung itu penuh, kebanyakan oleh siswa-siswi SMP murid Pak Bambang sendiri. Kami menuju warung lain, tapi ternyata warung itu tutup. Akhirnya, kami ke warung di pinggir jalan yang cukup sederhana. Aku tentu tak masalah, sebab aku memang menyukai tempat-tempat yang sederhana.
Nah, di warung inilah, aku melihat wujud cinta itu....
Saat kami menikmati hidangan, seorang pengamen datang dengan gitarnya, lalu dengan suaranya yang keren menyanyikan lagu "Seluruh Nafas Ini". Lagu syahdu dengan suara yang indah.
Pengamen ini tidak sendirian. Ia ditemani istrinya, istrinya yang sedang bunting. Sang istri inilah yang membantu mengambilkan uang dari para pendengar lantunan suaminya. Aku benar-benar tersentuh. Bisa kupastikan mereka pasangan baru menikah yang sedang berjuang mencari uang demi kelahiran anak pertama. Sungguh romantis. Sebuah seni menghadapi hidup yang keras. Sebuah momen puitik yang mungkin tidak akan bisa kulupakan.
Aku ingin mengeluarkan uang, tapi ternyata Bu Ninin sudah menyiapkan uang lima ribu rupiah sehingga aku urung. Sementara suaminya menyanyi dan memetik gitar, Pak Bambang bertanya pada istri pengamen itu berapa bulan kandungannya. Aku tidak terlalu jelas mendengar jawabannya. Pak Bambang bahkan juga menawari untuk makan bersama, tapi ia menolak dengan halus. Mereka pamit saat lagu itu diselesaikan. Lagu yang mengingatkanku pada seseorang yang pernah mengatakan padaku: bagaimanapun, tulang rusuk akan kembali pada pemiliknya....
***
Kami kembali ke rumah Bu Ninin. Shalat magrib. Lalu tidak berapa lama Dhea datang menemuiku. Sebelumnya Bu Ninin memang memberitahu Dhea bahwa aku ada di rumahnya, dan Dhea memintaku memberi kabar kalau sudah kembali dari warung.
Rumah Dhea tidak jauh dari rumah Bu Ninin, dengan berteriak pun bisa saling menyapa. Dhea juga sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, adik sendiri. Ia murid Bu Ninin saat SMA. Dengan Dhea pun aku lupa sejak kapan aku akrab. Mungkin sejak ia masih tahun pertama di SMA yang saat itu berarti aku baru kuliah. Tentu saja, Bu Nininlah yang menjadi jembatan aku kenal dengannya, juga dengan murid-murid Bu Ninin yang lain. Saat ini Dhea sudah kuliah, di Semarang, jurusan (kalau tak salah) teknik tata kota. Baru sekitar satu minggu ini ia pulang. Kami lama tidak ketemu, tentu ia kangen denganku, demikian pula aku. Aku dan Dhea selalu saling mengolok; ia mengolok penyakit jomblo akutku, sementara aku dengan sadis mengolok pacarnya yang kakak tingkatku di kampus, yang menurutku terlalu tua buatnya, dan sangat potensial untuk tidak setia.
Itu ada sejarahnya. Dulu saat pertama kenal, Dhea naksir aku, demikian kata Bu Ninin. Dan lewat Bu Ninin pula kujelaskan bahwa aku tidak mau menjalin hubungan asmara dengannya, cukup kakak-adik saja. Lagipula, ia terlalu muda buatku. Lalu kemudian ia dapat pacar, kakak tingkatku di kampus. Karena itulah barangkali ia selalu mengolok-olok kejombloanku ini. Mungkin maksudnya: kakak sih dulu nggak mau sama aku, jadinya kakak jomblo terus.
Tadi, perang itu kembali berlangsung, yang kumenangkan melalui serangan terakhirku, "Kakak memang jomblo, Dik, tapi banyak yang sayang. Kamu punya pacar, tapi tidak disayangi pacarmu!"
***
Jam delapan malam aku pulang ke rumah. Jalanan yang rusak seperti menegaskan bahwa hidup memang keras. Sementara aku merasa seperti debu yang beterbangan itu, begitu tidak berarti. Tapi setidaknya perasaanku sudah agak baikan, agak.  Dan sepanjang jalan, lagu "Seluruh Nafas Ini" seperti terus melantun di telingaku....


Jika memang dirimulah tulang rusukku
Kau akan kembali pada tubuh ini
Ku akan tua dan mati dalam pelukmu
Untukmu seluruh nafas ini

Jika memang kau terlahir hanya untukku
Bawalah hatiku dan lekas kembali
Kunikmati rindu yang datang membunuhku
Untukmu seluruh nafas ini
Untukmu seluruh nafas ini

Untukmu seluruh nafas ini...


Senin, 21 Juli 2014

Episode Luka

kumpulan cerpen Episode Luka


Judul: Episode Luka (Kumpulan Cerpen)
Penulis: Aliansyah Jumbawuya, Ervina Rahiem, Fajriah Amini, Hidayah, Isfiyatul Khoiroh, Jalindarussari, Khoiriyyah Azzahro, M. Fadhilah Arsyad, Martha Krisna, Ninin Susanti, Noor Hafizah Uhdiyati, Rahmada Devi, & Zian Armie Wahyufi
Penerbit: Penakita Publisher (Juli 2014)
Tebal: x + 138 halaman
Harga: Rp 35.000,- (Pemesanan sms 089673157485)

Buku ini sebelumnya sudah terbit, dicetak dengan stensilan, layout sendiri, desain sendiri, cetak sendiri, jilid sendiri (dan jual sendiri)...
Karena tak pengalaman, dan saat itu tujuannya memang mau cari pengalaman mencetak buku sendiri, hasilnya pun cukup mengenaskan. Halaman-halamannya terlepas hanya dalam hitungan hari. Tapi itulah pengalaman. Benar-benar pengalaman!
"Kalau Yayasan H.B. Jassin melihat ini mungkin mereka pada nangis," celetuk Pak Aliansyah.
Cetakan edisi stensilan tersebut tentu saja sekarang sudah tidak ada lagi. Dulu mencetak hanya sedikit, yang saya lupa jumlahnya. Tiap penulis membantu menjualkan 5 eksemplar.
Tapi anehnya, beberapa penulis masih menanyakan ke saya apakah buku tersebut masih tersedia. Mungkin karena ada temannya yang ingin beli, atau tersebab punyanya sudah rusak akibat penjilidan yang seadanya itu tadi. Entahlah... Dan pemodal, pak Aliansyah, ternyata memang bermaksud mencetaknya lagi, dengan lebih profesional, dengan kualitas yang mungkin akan lebih baik.
Dan... inilah cetakan terbaru itu. Senang sekali jika ada yang berminat membelinya, apalagi jika ada yang mau bantu memasarkannya.

Kamis, 10 Juli 2014

Pesan Singkat

"Teruslah menunggu.
Ada ruang-ruang yang harus kamu tempati."


11.7.2014

Rabu, 09 Juli 2014

Kunat

Aku punya beberapa bekas luka yang tidak pernah hilang, orang Banjar menyebutnya kunat. Setiap kunat memiliki ceritanya sendiri. Namun ada salah satunya yang tak bisa kulupakan, yaitu cerita tentang kunat di jari tengah tangan kananku. Cerita yang meneguhkan keyakinanku bahwa aku memiliki nyawa ganda.
Kunat tersebut kudapat ketika aku masih kelas empat SD. Waktu itu, di rumahku, aku dan temanku Mansyah sedang bermain. Sebagai anak-anak kampung yang selalu bahagia, benda apa saja bisa kami jadikan mainan. Mainan kami kali itu adalah seutas kabel yang telah rombeng.
Di antara teman-temanku, Mansyah adalah yang terkenal paling kuat. Dengannya, aku biasa mengadu keberanian. Siang itu, kami akan beradu ketahanan dari listrik. Kami sebenarnya sama-sama tahu bahwa listrik akan menyetrum, dan penampilan orang kesetrum pun kami tahu seperti yang biasa kami tonton di televisi: rambut berdiri tegak, wajah gosong, telinga dan hidung mengeluarkan asap. Tapi karena itu hanya di televisi, kami tidak terlalu percaya. Kami berteori, listrik rumahan tidak akan seberbahaya itu. Yang bisa mengakibatkan hal demikian hanyalah setruman petir. Dan kami akan membuktikan teori kami.
Aku tidak ingat lagi siapa yang pertama memunculkan ide bodoh itu. Yang kuingat, salah satu ujung kabel itu kemudian kami colokkan langsung ke colokan listrik. Lalu Mansyah, sebagai orang yang berani, menyentuhkan ujung yang lain ke telapak kakinya.
"Nyetrum! Nyetrum!" teriak Mansyah sambil menjauhkan ujung kabel itu dari kakinya. Wajahnya tampak senang karena merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan.
Aku takjub. Ternyata listrik rumah juga bisa nyetrum, meskipun tidak menjadikan rambut tegak, wajah gosong, serta telinga dan hidung mengeluarkan asap.
Segera kuraih ujung kabel itu dan menggenggamnya, ingin merasakan kesenangan yang sama seperti yang dirasakan Mansyah. Sambil memegang ujung kabel itu, aku berdiri, berjalan, lalu menyanyikan lagu, "Spiderman, Spiderman.... Spiderman, Spiderman...."
Entah mengapa, dalam pikiranku, sengatan listrik akan mengakibatkan seseorang menjadi seperti Spiderman, memiliki kekuatan seperti Spiderman. Waktu itu sepertinya aku tidak tahu kalau Spiderman mendapatkan kekuatannya karena sengatan laba-laba jenis khusus, bukan sengatan listrik.
Kemudian, sebelum lagu itu kurampungkan, aku segera tertarik oleh kekuatan yang tidak bisa kulihat. Aku langsung jatuh terduduk. Tubuhku bergetar sendirinya. Tangan kananku masih menggenggam kabel itu, sementara tangan kiriku menggenggam tangan kananku. Kaki tertekuk seperti orang kedinginan. Tubuhku tidak bisa digerakkan!
Samar kudengar suara Mansyah, "Alah, jangan bagaya, Mi! (Alah, jangan bercanda, Mi)"  katanya dengan wajah santai.
Aku tidak bisa mengeluarkan suara, tubuhku masih tidak bisa kugerakkan, dan gemetar tubuhku semakin kuat.
Karena aku tak menjawab, wajah santai Mansyah berubah jadi wajah tegang. "Bujuran kah, Mi?! (Beneran ya, Mi?)"
Lalu, ditariknya kabel itu dari tanganku. Gemetar tubuhku mereda. Beberapa saat kemudian aku bisa menggerakkan tubuhku kembali. Kubuka tangan kiriku yang sebelumnya memegang tangan kananku. Telapaknya melepuh. Lalu kubuka tangan kananku. Melepuh dan penuh darah. Luka paling besar ada di jari tengah. Mansyah terdiam melihat semuanya itu.
Hari itu, aku berhutang nyawa pada Mansyah.
***
Orangtuaku, yang kemudian mengetahui tindakan bodohku itu, bukannya mengasihaniku, tapi justru memarahiku.
Aku juga ingat, sore harinya, merasa aku sudah baikan, aku ikut teman-temanku yang berenang di sungai depan rumah kami. Dari atas jembatan, aku langsung melompat. Begitu sudah di dalam air, tubuhku kembali kaku, mungkin karena listrik yang masih tertinggal di badanku. Aku nyaris tenggelam. Aku gugup. Dengan sekuat tenaga, kugerakkan tanganku semampunya. Butuh kekuatan luar biasa hingga akhirnya aku bisa sampai di tepian. Aku langsung berjalan, kembali ke rumah. Besoknya, aku tak masuk sekolah.
***
Setelah kejadian siang itu, berbulan-bulan, aku fobia terhadap kabel dan listrik, terhadap semua benda yang berhubungan dengan listrik. Aku tidak berani menyalakan televisi, lampu, kipas angin. Aku takut dengan benda-benda elektronik yang mempunyai kabel. Aku tidak berani dekat dengan kabel apapun, meski itu tidak tersambung dengan listrik. Aku bahkan tidak berani berjalan di bawah kabel listrik yang menjuntai dari tiang listrik ke rumah. Aku benar-benar trauma. Kondisiku itu dimanfaatkan oleh kakakku yang biasanya jengkel denganku. Dengan kabel dari benda-benda elektronik, ia menakut-nakutiku. Aku biasanya langsung lari. Atau kalau ia tidak ingin aku mengganggunya, Kakak biasanya membentangkan kabel kipas angin di depan pintu kamar, sehingga aku tak bisa keluar.
Semua itu berlangsung cukup lama. Entah berapa bulan, atau mungkin tahunan. Ibu memintakan air penawar pada orang pintar, tapi hal itu tetap tidak membantu.
***
Aku telah sembuh dari luka bakar sengatan listrik itu, juga dari fobia terhadap kabel dan listrik. Tapi bekas luka itu, kunat itu, masih tersisa. Dengan kunat itu, aku yang masih anak-anak terbantu untuk membedakan mana kanan dan mana kiri. Sebab ketika aku ragu, aku tinggal mencari kunat itu dengan jempol, maka itulah kanan. Bahkan sampai sekarang, ketika aku bingung mana sebelah kanan mana sebelah kiri, kedua jempol tanganku akan menelusuri jari-jari yang lain, mencari di sebelah mana kunat itu.[]

Minggu, 06 Juli 2014

Teriakan Bisu Tiga Lelaki

Teriakan Bisu Tiga Lelaki

Oleh: Nailiya Nikmah JKF

Menuangkan isi hati ke dalam bentuk puisi terkadang menjadi pilihan terbaik bagi siapa saja. Tidak terkecuali bagi tiga orang lelaki (Imam Budiman, M. Ansyar dan Zian Armie Wahyufi) yang mengumpulkan puisi-puisinya dalam buku Teriakan Bisu (TB) terbitan Tahura Media , 2012. Ada dua kemungkinan yang ingin disampaikan ketiganya melalui teriakan bisunya. Pertama, mereka sebenarnya sedang ingin berteriak tetapi mereka tidak punya suara (:kekuatan) untuk berteriak sehingga yang terjadi adalah mereka menyunyikan teriakan tersebut menjadi baris-baris puisi yang sepi. Kemungkinan kedua, mereka berceloteh, berteriak lewat puisi-puisi tersebut namun sejatinya mereka “bisu”. Hal ini diakui oleh Zian secara tersurat dalam epilog buku TB, " …maka setidaknya, buku inilah teriakan kami selanjutnya, meski kami hanyalah orang-orang "bisu"".
Di antara beragam hal yang diteriakkan oleh Zian dkk dalam TB, pembaca dapat menemukan “orangtua” sebagai salah satunya. Anak lelaki berbicara tentang orangtua. Adakah keunikannya jika dibandingkan dengan pembicaraan oleh anak perempuan? Para orangtua biasanya lebih lembut dan halus perangainya ketika berbicara dengan anak perempuannya tapi tidak dengan anak laki-laki. Saat anak perempuan menangis, ayah pasti kelimpungan mencari sapu tangan untuk mengusap air matanya tapi saat anak lelaki menangis, ayahnya akan berkata, “simpan tangismu, anak laki nggak boleh cengeng!
Ada empat puisi tentang orangtua dalam TB. Puisi tersebut adalah Bapak (hlm 24) dikarang oleh Imam Budiman; Puisi untuk Orangtuaku (hlm 47) dikarang oleh M. Ansyar; Krak! (hlm 59) dan Kampung Batu (hlm 65) dikarang oleh Zian Armie Wahyufi.
Puisi “Bapak” didominasi oleh bunyi-bunyi ringan dan lembut seperti e dan i. Misalnya pada kata semburat, manapun, menimpa, sebelumnya, setumpuk, permata, menuduhnya, tersenyum, membahagiakan dan diam. Lambang bunyi dapat dihubungkan dengan suasana jiwa (Tarsyad, 2011:15). Bunyi yang ringan dan lembut melukiskan suasana yang sendu. Hal ini terkait dengan makna umum puisi “Bapak” yang menggambarkan kesedihan aku lirik ketika tahu bapaknya ingin menikah lagi yang disebutnya dengan ibu baru.
Gaya bahasa klimaks terdapat pada larik “…dan ketika ia singgah dalam jangka waktu relatif singkat, sangat sebentar/ dirinya pun terengguti ketidakadilan yang entah dengan siapa ku/ harus menuduhnya.” Gagasan-gagasan yang diungkapkan mengandung urutan pikiran yang semakin meningkat kepentingannya. Di sini terdapat pula ungkapan yang perifrasis, yaitu mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan. “Jangka waktu relatif singkat, sangat sebentar.” Seharusnya cukup “waktu yang singkat” atau “sangat sebentar”. Keduanya tidak perlu digunakan bersamaan.
Gaya bahasa yang antitesis juga terdapat dalam “Bapak”. “…meski keinginan diri menolak keras…/aku diam.” Antitesis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan (Keraf, 2002:126). Gagasan “ingin menolak keras” dibenturkan dengan gagasan “diam”. Semua itu karena Imam terpaksa. Untuk keterpaksaan itu, Imam pun mengeluh /huh! Entah apa jadinya!/. Lihat juga catatan di akhir puisi Imam.   “Keterpaksaan, Juli 2011”
Pada puisi “Puisi untuk Orangtuaku” terdapat gaya bahasa kiasan persamaan/ simile. Gaya bahasa ini adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain (Keraf, 2002:138). /Itulah ketakutanku Ayah, Ibu/ yang datang bak gelombang besar/. Ansyar begitu takutnya terhadap orangtuanya sampai ia menyamakan ketakutannya dengan gelombang besar. Gelombang yang siap menggulungnya.
Puisi berikutnya berjudul “Krak!” ditulis oleh Zian. Puisi ini mengingatkan kita pada gaya puisi Sutardji Calzoum Bachri. Penggunaan gaya bahasa repetisi yang berupa anafora pada “Kau tulis” menjadi ruh puisi “Krak!”.
Gaya aliterasi juga mewarnai puisi ini. Gaya aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud pengulangan konsonan yang sama (Keraf, 2002: 130). Pada puisi “Krak!” terdapat pengulangan konsonan k di tiap barisnya. Terdapat kata sajak, jejak, serak, berontak, gejolak, bentak, sorak, teriak, sesak, Bapak, Anak, sentak, gertak, benak, jarak, hentak, gerak, detak, retak, kelak, tebak, hendak dan tidak.
Semua kata yang mengandung pengulangan konsonan k tersebut ditulis menggunakan huruf kecil pada huruf pertamanya, kecuali pada kata Bapak dan Anak. Ini menyiratkan bahwa ada yang penting yang terjadi antara bapak dan anak. Kedua kata ini pun diletakkan di tengah baris, yang menyiratkan poros persoalan pada puisi ini adalah bapak dan anak.
Berdasarkan teori lambang bunyi Semi dalam Tarsyad (2011:15), konsonan k termasuk dalam kelompok bunyi yang ringan. Bunyi yang ringan melukiskan suasana sendu. Krak! adalah bunyi yang ditimbulkan oleh sesuatu yang patah atau belah.  Dengan tanda seru di sampingnya menyiratkan bunyi tersebut cukup keras. Di balik kegaduhan bunyi Krak! tersimpan unsur kesenduan. Biasanya sesuatu yang patah akan menimbulkan kesedihan mendalam, terlebih apabila yang patah itu adalah sekeping hati.
Puisi “Kampung Batu” dimulai Zian dengan melempar sebuah pertanyaan. “Buat apa kau datang ke kampungku”. Pertanyaan ini menimbulkan kode teka-teki secara struktur. Zian seolah-olah meragukan urgensi orang lain untuk datang ke kampungnya.
Pada puisi ini terdapat repetisi kata batu dan debu. Bunyi vokal a dan u serta bunyi konsonan b dan d termasuk dalam kelompok bunyi-bunyi yang berat. Bunyi yang berat melukiskan perasaan jiwa yang tertekan dan gelisah (Semi dalam Tarsyad, 2011:15). Zian menyimpan perasaan tertekan dan gelisah karena persoalan-persoalan yang bisa membuatnya termasuk dalam kategori anak durhaka. Anak durhaka tentunya akan menjadi batu seperti Malin Kundang di Sumatra (atau menjadi gunung seperti Angui di banua kita). Lalu batu itu pun akan jadi debu. Anak durhaka akan sia-sia hidupnya.
Sebenarnya Zian anak terakhir yang belum jadi batu. Seperti katanya “…Sisa aku di sini – yang juga telah durhaka, menunggu jadi batu dan debu/…/ Mama-abah pergi umrah”. Sayangnya Zian pun kelak akan jadi batu. Akan tetapi ada peluang sebenarnya untuk Zian. “…Mama-abah pergi umrah” Kalimat ini menyiratkan harapan untuk Zian. Bisa saja ketika umrah itu orangtuanya khusyuk berdoa untuk Zian. Bukankah doa di Baitullah sering terkabul? Meski begitu, Zian tetap tertekan dan gelisah. Untuk itu ia ma- anyaki lagi.” Jadi, masih tertarik datang ke kampungku?”
Puisi-puisi yang bicara tentang orangtua ini bertemakan suasana keterpaksaan. Zian dkk terpaksa menuruti kehendak orangtua, tak berani membantah, lama-kelamaan hal ini membuat mereka memilih “bisu”. Pada puisi “Bapak”, Imam Budiman tidak suka bapaknya menikah lagi tetapi demi melihat bapaknya tersenyum, ia terpaksa menyetujuinya dan memilih untuk diam. Pada puisi “Puisi untuk Orangtuaku” Muhammad Ansyar juga terpaksa tak bisa jujur karena ia takut terhadap kemarahan ayah ibunya. Dengan melankolis, Ansyar mengakui bahwa hatinya begitu rapuh. Kemarahan orangtuanya membuatnya tidak merasa bebas. Ia juga tak bisa melihat keramaian dengan jelas. Dengan kata lain, hidupnya selalu sepi. Pada puisi “Krak!” Zian dengan tegas mendeskripsikan perseteruan antara anak dengan Bapak. Zian ingin memberontak tapi bapaknya balas membentak. Ketika Zian menyentak, bapaknya balas menggertak. Ujung-ujungnya Zian merasa ada yang retak karena tiap kehendaknya selalu tidak sama dengan kehendak Bapak. Agaknya puisi ini terhubung dengan puisi “Kampung Batu”. Dalam “Kampung Batu” Zian akhirnya mengakui bahwa ia pun telah berani melawan orangtuanya. Ia melakukan kedurhakaan – mengikuti seluruh orang di kampungnya – justru di saat orangtuanya sedang mendekatkan diri kepada Tuhan-Nya. Secara berlawanan Zian juga ingin mengemukakan bahwa masih ada setitik harapan dari doa dan ampunan orangtuanya. Tapi sepertinya menjadi batu sudah terlanjur menjadi ancaman yang menakutkan bagi dirinya. Zian merasa ia pasti akan membatu pula. Zian tidak sendiri, orang sekampung bahkan telah lebih dulu menjadi batu. Ternyata “bersuara” pun akan berujung pada diam. Seperti diamnya batu-batu yang terbuat dari anak durhaka.
Puisi-puisi tadi mengingatkan saya pada puisi Arief Rahman Heriansyah yang berjudul “Sajak Ayah; Pada Pernyataan Ngarai Sastra” dalam buku Balian Jazirah Anak Ladang (2011:5-6).
Puisi tersebut berisi suara hati Arief tentang ayahnya: “…/kemudian saatnya menjadi bisu/ bisu yang tertahan di kemudian…// dalam sajak Ayah; mengapa terlalaikan oleh cinta/ dalam sajak Ayah; hempaskanlah apapun maksud baikmu/ dalam sajak Ayah; aku selalu menggenggam fatamorgana/ dalam sajak Ayah; mengapa bingkisan tua itu masih terkatup rapat?...// …dalam luka aku menggores sajak/ pada langit buram yang tak kumengerti”. Sama seperti Zian dkk, Arief pun menjalani saat-saat menjadi bisu.
Diksi-diksi seperti hasrat, mimpi, imaji, dikontraskan dengan tak bernyali menjelaskan apa yang disebut dengan fatamorgana. Suasana sedih mewarnai puisi ini dari awal sampai akhir. Arief bahkan merasa perlu menegaskan kelukaan hatinya dengan memberi catatan pada puisinya tersebut, “*Ayah; kehendakmu goreskan sakit hatiku, bagaimanapun aku tetap mencintaimu…
Jurang yang menganga antara orangtua dan anak; ketidakterampilan dalam berkomunikasi, kerap menutupi maksud baik orangtua terhadap anaknya. Akhirnya ada anak yang merasa terpaksa menuruti semua keinginan orangtuanya. Artinya, ia mau saja menepiskan keinginan dirinya sendiri demi berbakti pada orang tua dan menelan konsekuensinya: hati yang terluka. Ada juga anak yang memilih berontak – lalu durhaka. Sementara Zian dkk terkatung-katung antara keduanya. Akhirnya mereka memilih berteriak lewat puisi. Uniknya, puisi-puisi tentang orangtua tersebut didominasi oleh sosok orangtua laki-laki. Imam menyebutnya “Bapak”. Ansyar dan Arief menyebutnya “Ayah”, Zian menyebutnya “Bapak” dan “Abah”. Adakah misteri yang tak bisa ditemukan jawabannya antara ayah dan anak laki-laki?

(Media Kalimantan, Minggu, 30 Desember 2012)

Sabtu, 05 Juli 2014

Malam Sebelum Ia Mati

Malam aku bertemu dengannya ialah malam pertama kalinya aku bercinta. Aku mengingatnya sebagai malam yang tidak hujan, di mana pada bulan itu nyaris setiap malam selalu turun hujan. Bertahun-tahun setelahnya, saat tidak terhitung lagi berapa kali aku tidur dengan seorang wanita, aku tahu bahwa malam itu adalah malam terbaik yang pernah ada. Itu juga menjadi malam terakhir aku bertemu dengannya, hingga malam kemarin, ia mengetuk pintu rumahku dan aku membukakan pintu. Andai hari ini ia tidak mati, mungkin aku tidak akan mengingat malam kemarin sejelas ini.
"Kopimu masih ada kan?" tanyanya sambil tersenyum, cantik sekali.
Aku balas tersenyum dan mempersilakannya masuk. Ia mengikutiku saat aku berjalan ke dapur dan langsung menarik kursi makan lantas mendudukinya. Aku membuat kopi dua cangkir.
“Bagaimana kuliahmu?” tanyaku.
“Tidak naik semester,” jawabnya ringan.
“Aku tidak terkejut.” Kami tertawa.
"Aku kemari ingin mengembalikan bukumu," katanya sambil membuka tas, merogoh dalamnya, dan mengeluarkan sebuah novel: The Virgin Suicides, karya Jeffrey Eugenides. Novel tentang gadis-gadis yang memutuskan bunuh diri.
Sudah bertahun-tahun yang lalu, tapi tentu saja aku masih mengingatnya. Aku ingat semua buku koleksiku serta siapa-siapa yang meminjamnya.
Kuletakkan di hadapannya secangkir kopi yang baru kubuat sementara yang satu kupegang. Kutarik kursi di hadapannya dan duduk di sana. "Kupikir kamu tak akan mengembalikannya. Itu salah satu novel kesayanganku."
Ia meraih cangkir kopi di hadapannya, mencium aromanya, cukup lama, sebelum kemudian mencecapnya. "Memangnya ada novel yang tidak kamu sayangi?" Lalu ia tertawa, dan aku tersenyum.
"Sebenarnya, beberapa aku bahkan tidak berniat untuk membacanya,” kataku. Lalu kuhirup kopiku.
Ia menyusul menghirup kopinya, satu tegukan. “Ah, tetap saja kamu lebih menyayangi mereka ketimbang wanita!” Ia merengut. Aku suka ia saat merengut, karena saat itu ia justru tampak lebih cantik.
Lalu hening. Mataku tenggelam dalam cangkir kopi dan sesekali memandanginya yang juga sedang menatap cangkir kopinya. Kami saling berpandangan. “Kamu...” kata kami bersamaan untuk kemudian saling tersenyum.
“Kamu duluan,” kataku.
“Tidak, kamu saja yang duluan,” pintanya.
“Kamu saja,” kataku.
“Ah, kamu memang sialan dan tidak pernah mau mengalah,” umpatnya.
Aku tertawa.
“Kamu sekarang dengan siapa?”
Aku sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Aku diam sejenak. Kulihat ia seperti tidak sabar dengan jawabanku. “Tidak dengan siapa-siapa,” kataku akhirnya sembari tersenyum.
Ia kembali merengut. “Dulu kamu juga bilang begitu, nyatanya ada foto cewek di dompetmu.”
“Aku tidak pernah menduga kamu melihat foto di dompetku waktu itu.”
“Aku ingin lebih kenal lelaki yang tidur denganku.”
“Aku selalu bertanya-tanya kenapa kamu tidak pernah ke sini lagi selama bertahun tahun. Rupanya itu jawabannya.”
Aku bangkit mengambil dompetku di kamar dan album foto keluarga dalam lemari. “Dia adik kandungku,” kataku sambil mengeluarkan foto itu dari dompetku dan meletakkannya di hadapannya. Kemudian kuletakkan juga album foto tadi di hadapannya. “Kalau tidak percaya, kamu bisa melihat-lihat isinya.”
Ia mengambil album foto itu dan membolak-balik isinya. Ia hanya bisa terdiam saat melihat foto-foto itu.
“Kamu memang sialan!” Lalu ia tertawa. “Sekarang giliranmu!”
Aku diam sejenak, menunggu ia menatapku.
“Kamu cantik sekali.”
“Apa?” Matanya melebar.
“Kamu cantik sekali!”
“Sudahlah, kamu jangan merayuku lagi.” Ia memalingkan wajah. Wajahnya merona, cantik sekali.
Aku memegang tangannya, kemudian menggenggamnya erat. “Aku kangen kamu, selalu.”
Ia kembali menatapku. “Kamu memang sialan...”
Dan kami berciuman. Lama.
***
Aku sedang menyantap makan siang yang kumasak sendiri ketika kabar kematiannya kuterima. Teman yang dulu memperkenalkan aku dengannya meneleponku, menceritakan kejadiannya; ia melompat dari kamar apartemennya di lantai 10. Ketika itu aku langsung teringat perbincanganku dengannya malam kemarin, saat kami usai bercinta.
“Aku tidak menstruasi selama beberapa bulan setelah malam itu.”
Aku langsung bangkit begitu mendengar itu, memandangi wajahnya untuk mencari tanda-tanda bercanda. Namun aku tidak menemukannya. “Kamu serius?” tanyaku.
Ia tidak menjawab dan malah melanjutkan ceritanya. “Aku tahu kamu tidak akan siap waktu itu mendengarnya, tapi aku jauh lebih tidak siap.”
Ada jeda. “Aku pergi ke dokter, lalu menggugurkannya...” Butiran bening mengalir dari sudut matanya.
Aku tidak tahu harus berkata apa.
Ia kemudian menghapus pipinya yang basah dan mencoba tersenyum. “Hei, novel yang kupinjam itu ternyata memang bag...”
Aku cepat memeluk dan menciumnya. “Kamu harusnya cerita... harusnya cerita... Aku akan mendatangi orangtuamu, melamarmu, menikahimu...”
“Sudahlah... Itu sudah berlalu. Aku sudah melaluinya. Lagipula, sekarang kudengar pacarmu banyak. Aku takut kamu akan jarang tidur di rumah bila kita memang sudah menikah.” Ia tertawa. Matanya kembali basah.
Aku kembali memeluknya, erat.
***
“Aku akan secepatnya mendatangi orangtuamu.” Hanya itu yang bisa kukatakan ketika mengantarnya keluar rumah.
Ia membuka pintu taksi. “Aku tidak akan memintamu memegang kata-katamu,” jawabnya sebelum ia masuk dan menutup pintu taksi.
Aku kembali ke dalam rumah. Saat aku berjalan ke dapur untuk membuat kopi, aku melihat secarik kertas di meja makan. Novelku yang harusnya masih di sana tidak terlihat lagi. Aku tersenyum, pasti pesan bahwa ia kembali meminjamnya. Kuambil kertas itu lalu membacanya.
Kamu bahkan tidak bertanya di mana rumah orangtuaku!
***
Sekarang aku tahu di mana rumah orangtuanya. Aku bertanya pada temanku di mana rumah orangtuanya dan pergi ke sana untuk menghadiri proses pemakaman.
Bunuh diri karena kembali tidak naik semester. Demikian keluarganya menjawab ketika aku bertanya penyebab kematiannya. Tidak ada yang mengerti, bahwa akulah yang membunuhnya.[]

Sultan Adam, 28 April 2014

(Lelaki Dilarang Menangis, Penakita Publisher, Juni 2014)
(Radar Banjarmasin, Minggu, 26 Juli 2014)

Rabu, 02 Juli 2014

Zian, Cerpenis Harapan


Zian, Cerpenis Harapan
Oleh: Sainul Hermawan

Sudah lama saya tidak mengikuti perkembangan cerita pendek di Kalimantan Selatan sejak sibuk mengkaji tradisi lisan. Akhir-akhir ini saya kembali mengikutinya setiap akhir pekan di dua media yang saya anggap memiliki reputasi cerpen yang relatif bermutu untuk dibaca karena diredakturi oleh sastrawan.
Pada 26 Februari 2012, kedua media cetak yang berbeda tersebut memuat dua cerpen yang berbeda pula tetapi ditulis oleh seorang penulis yang sama: Zian Armie Wahyufi. Kedua cerpen itu cukup mencengangkan dalam hal pencapaian kekuatan penceritaan dan pendayagunaan bahasa yang efektif, efisien, dan puitis. Ia memiliki keberanian untuk menjadikan cerita berjalan mengikuti keinginan cerita, bukan keinginan dirinya sebagai penulis. Ia tidak berpretensi menjejalkan moral dirinya kepada pembaca tetapi mengajak pembaca mendialogkan moral cerita dengan moral pembaca. Dengan cara ini ia tampak sangat paham bahwa cerpen bukan pelajaran agama, pelajaran akidah dan akhlak, peta penunjuk jalan, atau resep makanan siap saji. Cerpen adalah dunia yang penuh kemungkinan.
Cerpen “Secangkir Kopi Air Mata”-nya yang menjadi pemenang harapan ketiga dalam kontes cerita pendek yang diselenggarakan Radar Banjarmasin dan MGR pada 2011 dan dimuat di Radar Banjarmasin pada 26 Februari 2012 (halaman 5) menunjukkan talenta Zian yang cukup dapat diharapkan. Kekuatan cerpen ini terletak pada kemampuan penulisnya untuk mendialogkan yang global dengan yang lokal, dan menerjemahkan puisi ke dalam prosa. Cuplikan lirik lagu dengan sadar dijadikan sebagai foreshadowing tentang apa yang akan terjadi: perpisahan dua insan yang sangat saling mencintai. Bukan cuma itu, lirik lagu pun dijadikan titik akhir untuk melakukan flashback. Dengan teknik tersebut, apa yang akan dan telah terjadi bisa terus dikenang.
Kedua, sudut pandang yang dipilihnya pun menarik, yakni menggunakan sudut pandang “akuan”. Siapa aku dalam cerpen ini disajikan secara bertahap sebagai jangkar perhatian agar pembaca terus mengikuti cerita sampai akhir. Aku dalam cerpen ini adalah seorang perempuan, yang tanpa rencana berkenalan dengan lelaki di Taman Air Mancur Banjarbaru, di Tadarus Puisi pada bulan Ramadan. Lelaki itu penyuka puisi yang berjanji ingin menikahinya. Tetapi keinginan itu tak tercapai. Kemudian ia datang ke Mingguraya untuk memberikan ciuman perpisahan. Mungkin ini yang menjadikan cerpen yang secara bahasa sangat menarik ini terpaksa harus berada di posisi pemenang harapan karena dari segi tema sudah sangat biasa, yakni tentang cinta yang tak sampai.
Namun dari segi penggunaan bahasa cerpen ini sangat segar. Misalnya, cuplikan berikut ini:
Tapi cinta kita tak seperti warung-warung di Mingguraya, selalu ada yang datang setiap kali ada yang pergi meninggalkan. Puluhan malam telah menelikungkan sebuah ketidakpastian. Aku tak bisa seperti pendar cahaya lampu, seperti ketika awal dinyalakan oleh janjimu. Percayalah, aku ingin menangis saat wajahmu mulai gerimis....
Cuplikan ini hanya secuil contoh dari keseluruhan diksi-diksi Zian yang sangat puitis. Ungkapan tersebut tentu merupakan penemuan yang relatif sulit dan memerlukan perenungan sebelum memilih diksi-diksi menjadi penyampai suasana yang dianggapnya paling tepat. Memang sangat tepat dan tetap terikat pada lirik puitis yang mengawali dan mengakhiri cerpen ini.
Contoh lain yang cukup menarik adalah ini:
Dapat kulihat jelas wajahmu seperti puisi sedih yang menyimpan bait-bait irisan luka. Tanpa kata, di mataku kau menjelma menjadi puisi yang berserak. Tapi kau harus tahu, seperti dulu, aku tak pernah mengerti tentang puisi.
Sayangnya, logika cerpen ini bisa dianggap jadi agak terganggu oleh pembaca tertentu saat ungkapan ini dinyatakan oleh tokoh aku yang tak pernah mengerti tentang puisi. Namun, bisa saja ungkapan “tak pernah mengerti tentang puisi” juga merupakan strategi kreatifnya yang bertolak dari logika bahasa: berpura-pura tidak mengerti. Bukankah dalam situasi tertentu kita bisa menjumpai orang yang tiba-tiba mengaku tak mengerti tentang Banjarbaru padahal setiap saat orang itu melakukan yang terbaik untuk kota itu, atau sebaliknya ada pula orang-orang sok paham tentang kota itu tetapi tak setitik pun kebaikan dilakukannya untuk kemajuan kota itu. Zian telah menunjukkan kemungkinan tersebut.
Di samping tema, mungkin penggunaan sudut pandang yang tampak “keseleo” di bagian akhir turut jadi penyebabnya. Namun, cara itu dipilih dengan sengaja untuk membuat akhir yang absurd dan membuat pembaca bertanya-tanya.
Aku terus berlari tanpa menoleh saat kau berteriak memanggil namaku. Di sudut taman air mancur, aku berteriak memanggil namanya. Kenapa kau pergi?
Sebelum ungkapan ini muncul, Zian telah memberikan sinyal bahwa tokoh aku yang perempuan itu telah memiliki atau dimiliki oleh lelaki lain sebagai buah keputusan yang lahir dari masa-masa penuh ketakpastian. Jika tak ada konteks kemungkinan adanya orang ketiga, maka ungkapan tersebut bisa keliru. Jika ungkapan tersebut bisa kita benarkan, maka Zian memang ingin membuat akhir terbaca rumit. Kemungkinan pertama, perempuan itu lari, lelaki itu memanggil namanya. Perempuan itu memanggil nama lelaki yang lain. Lelaki itu pergi meninggalkannya. Jadi, dia kehilangan keduanya. Kemungkinan kedua, saat aku memanggil nama orang ketiga, lelaki pesantren itulah yang pergi. Kemungkinan lain, hanya Zian yang tahu.
Sebagai sebuah strategi menutup cerpen, tentu cara ini sangat menarik. Atas pertimbangan itu, cerpen Zian sebenarnya layak menjadi juara pertama tanpa ingin bermaksud melecehkan keputusan dewan juri yang terhormat. Pemuatan pertimbangan dewan juri atas keputusannya sangatlah bermanfaat bagi publik sastra Kalsel, apa pun hasilnya, dengan demikian peserta dan pembaca mendapatkan pelajaran tentang bagaimana dasar-dasar penilaian dewan juri. Mungkin di tempat lain hal semacam itu tidak biasa dilakukan tapi bukankah memang tidak ada gunanya latah pada ketiadaan? Dengan mencatatkan pertimbangan penilaian kita, kita belajar bersama menyongsong atmosfer cerpen Kalsel yang lebih dewasa dan bermartabat, paling tidak dalam lingkungan Kalsel sendiri. Saya yakin kita bisa kalau mau.
Cerpen Zian yang lain, “Jalan Pulang”, pada hari yang sama hadir di Media Kalimantan (halaman A5). Cerpen ini terbagi dalam lima segmen. Cerpen beralur linier ini menceritakan tokoh aku, orang Sungai Raya, Barito Kuala, yang insyaf dan ingin berdamai dengan orangtuanya. Cerpen ini menggunakan sudut pandang “kamuan” yang fungsinya sama dengan fungsi “dia-an” (pada sebagian segmen satu dan dua), sudut pandang “akuan” (pada segmen tiga sampai lima), dan “dia-an” (antara lain di sebagian segmen dua). Ya, pendeknya Zian menggunakan teknik multinarator. Bagi pembaca tertentu, perubahan narator yang terlalu cepat tetapi bukan sebagai strategi cerita yang memiliki implikasi makna, tentu melelahkan pembaca.
Kelancaran narasi Zian dalam cerpen ini belum diikuti kemampuan untuk terhindar dari tema klise. Misalnya, menjadikan tokoh ustadz sebagai tokoh pengubah perilaku tokoh utama dengan pesan-pesan moral yang jamak.
Saya sangat menikmati cerpen-cerpen Zian yang secara kebahasaan sangat bagus dan cerdas, tetapi pada unsur-unsur tema, ide cerita, sudut pandang, dan alur, Zian perlu terus menjelajahi kemungkinan-kemungkinan baru karena hanya dengan terbuka pada kritik dari pembacanya, karyanya akan semakin baik. Zian punya potensi besar untuk menjadi penulis fiksi yang hebat!

Pondok Cina, Depok, 11.03.2012

(Radar Banjarmasin, Minggu, 18 Maret 2012)

Pesantren, Santri dan Karya Tulisnya

Pesantren, Santri dan Karya Tulisnya

Oleh: Harie Insani Putra

Empat tahun lalu, tepatnya 20 Agustus 2007, dua anak muda ‘berpeci’ punya mimpi besar. Mereka ingin mendirikan forum yang bergiat di dunia penulisan. Akh, bukankah forum semacam ini sudah banyak dan tidak lagi termasuk mimpi besar?
Dua anak muda berpeci itu adalah M. Noor dan Zian Armie Wahyufi. Saat itu mereka masih belajar di Pondok Pesantren Al Falah, Banjarbaru. Nah, kemarin (15 April 2011) ustadz Hadi sudah menyampaikan uneg-unegnya di hadapan para santri dalam acara peluncuran buku kumpulan cerpen Forum Pena Pesantren (FPP) yang berjudul “Tembok Suci” diterbitkan oleh minggurayaPRESS. “Aktivitas dunia penulisan di pondok pesantren memang belum tumbuh subur. Padalah, aktivitas menulis sudah dilakoni para ulama-ulama terdahulu dan karya-karya mereka menjadi acuan belajar pada santri,” kata ustadz Hadi di Ponpes Al Falah Putera.
Apakah M. Noor dan Zian sedang ingin menjawab sekaligus membuktikan sesuatu kepada ustadz Hadi lalu memproklamirkan FPP di Ponpes Al Falah? Entahlah. Toh ada rentang waktu yang jauh saat FPP didirikan dengan apa yang diucapkan ustadz Hadi. Atau jangan-jangan dua anak muda ‘berpeci’ tadi sudah memiliki pemikiran yang sama.
Terlepas dari itu, untuk membiasakan sesuatu, apalagi urusan menulis, memang butuh perjuangan dan pengorbanan sekaligus dukungan. Dengan jumlah anggota seadanya, dengan kondisi dan pun seadanya, FPP merangkak tumbuh menyebarkan karya tulis mereka lewat buletin bernama “Literasi”. Buletin dengan cetak fotokopian dalam jumlah terbatas itu mereka sebar. Wilayah penyebarannya pun terbatas di beberapa pesantren yang siap bekerjasama dalam hal distribusi. Itu pun tidak cari untung berupa materi, yang penting tersebar dan terbaca. Maka bisa ditebak, setiap kali ingin terbit, anggota FPP harus mengorbankan uang jajan mereka demi menerbitkan “Literasi”. Untungnya, semangat ‘mengorbankan uang jajan’ itu tidak pernah mereka permasalahkan demi sama-sama maju, sama-sama berkarya.
Waktu terus berjalan, regenerasi FPP terus melaju. Kepercayaan diri dalam menghasilkan karya tulis bisa dilihat dari seringnya karya mereka tercetak di berbagai media massa di Kalsel. Rentetan perjalanan itu, dari buletin ke media cetak lalu menjadi buku adalah suatu prestasi yang membanggakan. Saya pikir inilah mimpi besar itu, sebuah forum yang mampu mencetak generasi penulis dengan karya-karya yang bisa dibanggakan.
Sederet cerita di atas hanyalah tentang FPP yang termaknai laiknya sebuah organisasi. Lantas bagaimana dengan kualitas karya mereka? Siapapun berhak menilai. Tapi ada beberapa hal yang perlu dicatat adalah, sekalipun mereka di dalam sana (pesantren), jika memungkinkan, sesuatu yang ada di luar hampir-hampir tak pernah mereka tinggalkan. Mereka terus belajar dan belajar. Jika di luar sana ada pengetahuan tentang dunia tulis-menulis, makan akan mereka kejar. Memang begitulah seharusnya ‘rumus jitu pintar menulis’. Jka tak salah informasi, bukankah hampir-hampir di Kalsel ini tak ada pelajaran menulis di sekolah? Sebuah pelajaran yang memang khusus mengajarkan anak didiknya agar kelak pandai menulis. Jangankan hal itu, sanggar-sanggar penulisan pun tampaknya minim. Pun jika ada, belum bisa maksimal dan hanya sayup-sayup terdengar.
Begitulah. Keberadaan FPP atau sejenisnya memang sangat diperlukan. Saya rasa tidak hanya di pesantren, tapi juga penting diadakan di tiap-tiap sekolah. Dari sana kita bisa berharap banyak, semoga kelak akan muncul barisan penulis handal. Akhirnya, selamat kepada Forum Pena Pesantren. Imagination is more important than knowledge, begitu karya Albert Einstein. [] hariesaja@gmail.com

(Radar Banjarmasin, Minggu, 17 April 2011)

Ketika Besar Nanti, Aku Ingin Menjadi Seperti Ayah

Orangtuaku adalah orang yang terhormat di kampung, Ayah seorang kepala desa, dan Ibu memiliki kios di depan rumah. Orang-orang sering mendatangi Ayah untuk membicarakan sesuatu. Sering kulihat mereka selalu pulang dengan memberikan uang pada Ayah sebagai tanda terimakasih. Kios kami, yang dijaga oleh Ibu, tak pernah sepi dari pembeli, karena letaknya tepat di pinggir jalan raya. Paling tidak, orang singgah untuk mengisi bensin.
Di belakang rumah kami membentang sebuah sungai, entah di mana ujungnya. Sungai itu tidak terlalu besar, tapi orangtuaku selalu melarangku berenang. Kata mereka, di sana ada buaya. Aku pun tak bisa berenang saat masih kecil. Orangtuaku juga tidak pernah mengizinkan aku main sepak bola. Kata mereka, itu akan membuatku sakit. Tapi yang lebih membuatku jengkel adalah aku tidak pernah dibelikan mainan. Mereka selalu beralasan tidak punya uang. Maka mainan yang aku punya hanyalah sebuah radio rusak yang kutemukan di gudang serta bola kasti yang hanyut di sungai dan tersangkut di antara rerumputan.
Saat mulai sekolah, pelajaran pertama ialah tentang cita-cita. Kata Bu Suratmi, setiap orang harus punya cita-cita. Lalu ia meminta kami masing-masing menyebutkan cita-cita kami. Ketika sampai pada giliranku, aku bingung. Aku tidak tahu apa cita-citaku.
Bisa saja sebenarnya aku meniru jawaban Yudi, ingin jadi pilot. Toh jawabannya itu juga meniru jawaban Ihin. Tapi itu artinya aku berbohong, karena aku tidak ingin jadi pilot. Terlalu repot. Atau meniru jawaban Marsini, cita-citanya ingin jadi guru. Tapi kalau kujawab seperti itu aku juga berbohong, sebab aku juga tidak ingin jadi guru. Guru tidak pernah ada yang kaya. Jawaban Arifin sebenarnya cukup keren, jadi dokter. Katanya, biar bisa menolong orang. Tapi aku juga harus berbohong kalau kujawab seperti itu karena aku tidak ingin jadi dokter. Dokter pasti harus selalu melihat darah, sedangkan aku takut darah. Kalau Jumanto, katanya ia ingin jadi nelayan supaya setiap hari bisa melihat laut. Kampung kami memang jauh dari laut, dan di sini tentu tidak ada yang jadi nelayan. Tapi setahuku nelayan juga tidak ada yang kaya. Kalaupun aku harus berbohong, aku tidak akan meniru Jumanto.
Tapi aku tidak akan berbohong walau bagaimanapun, karena kata Ayah kita tidak boleh berbohong. Aku bertanya pada Ayah kenapa kita tidak boleh berbohong, Ayah hanya bilang pokoknya kita tidak boleh berbohong. Ibu yang kemudian memberi penjelasan, kata Ibu berbohong itu tidak baik, dan yang tidak baik itu akan membuat kita nanti masuk neraka. Jadi aku lebih baik menjawab tidak tahu karena aku memang belum tahu apa cita-citaku daripada nanti aku masuk neraka. Aku pernah membaca buku tentang siksa neraka. Ah tidak, maksudku melihat-lihat gambarnya. Nah, di gambarnya itu neraka sangat mengerikan. Ada yang ditusuk dari kepala sampai pantat, ada yang dibakar, ada yang diadu, dan kalau yang berbohong itu lidahnya ditarik panjang-panjang lalu dipotong, tumbuh lagi, dipotong lagi. Benar-benar mengerikan.
Tapi karena aku sekolah, sedikit demi sedikit akhirnya aku mengetahui bahwa orangtuaku sering membohongiku. Dengan sekolah, aku tahu kalau main bola ternyata justru membuat tubuh bugar, demikian kata Pak Ali, guru olahraga di sekolah.
Aku juga tahu kalau ternyata di sungai tidak ada buaya. Aku tahu ketika pulang sekolah aku diajak teman-temanku berenang di sungai. Jelas aku menolak.
“Nanti dimakan buaya,” kataku.
Mereka langsung menertawakanku. “Di sungai sini mana ada buaya!”
Aku tetap ngotot. Seperti kata Ayah, di sungai ada buaya. Tanpa diduga, mereka mendorongku sangat kuat hingga aku tercebur ke sungai. Awalnya aku panik, karena aku belum bisa berenang. Beruntung masih di pinggir sehingga tidak dalam. Saat teman-temanku ikut menceburkan dirinya aku jadi tenang. Ternyata, di sungai memang tak ada buaya!
Kutebak, orangtuaku dulu melarang aku berenang di sungai dan bermain bola karena tidak mau repot menjagaku. Untungnya aku sekarang sudah sekolah, yang artinya aku sudah besar, jadi orangtuaku tidak perlu lagi memikirkan bagaimana menjagaku.
Aku juga tahu mereka sebenarnya punya banyak uang, tapi terlalu pelit untuk membelikanku mainan (aku kenal istilah pelit itu dari Bu Dewi, guru agama). Tapi aku diam saja. Ayah akan langsung marah kalau aku teriak-teriak atau menangis. Atau melakukan apa saja yang tidak disenanginya.
Tapi Ayah dan Ibu tetap saja suka membohongiku. Ibu mengatakan baju yang ia belikan adalah baju paling bagus, tapi sebenarnya baju itu sangat jelek, seperti baju orang tua. Ayah mengatakan tidak bisa mengantarku ke pantai, karena katanya ia sibuk, padahal ia seharian hanya bermain-main dengan ayam-ayam peliharaannya. Kebohongan mereka sangat kelihatan.
Karena aku sekolah, maka aku semakin pintar, setidaknya dalam hal berhitung. Aku lebih sering mengamati Ibu dan Ayah. Aku menguping pembicaraan Ayah dengan para tamunya, atau pembicaraannya lewat ponsel. Saat itu ada orang datang dari kota menanyakan soal tanah. Tanah itu bukan milik Ayah, tapi telah dititipkan pemiliknya kepada Ayah jika ada yang ingin membeli. Kepada orang kota tadi Ayah mengatakan harganya lima puluh juta. Orang kota tadi menawarkan empat puluh lima juta. Ayah berjanji akan membicarakan hal itu pada pemiliknya, kemudian mereka saling bertukar nomor ponsel sebelum orang kota itu pamit. Saat orang tadi pulang ke kota, Ayah menelepon seseorang, dan mengatakan bahwa ada yang menawar tanah dengan harga empat puluh juta.
Aku sering juga menyimak pembicaraan Ibu lewat para pembeli kios. Ibu bercerita pada para pembelinya kalau aku dan Ayah lahap sekali makan jika dengan sambal cap burung pipit. Bahkan kata Ibu, kami pernah tidak makan dengan lauk, hanya dengan sambal cap burung pipit. Kami makan dua piring, cerita Ibu. Padahal, aku dan Ayah tidak ada yang suka dengan sambal itu. Cuma Ibu yang nafsu makannya bertambah dengan sambal itu. Para pembeli itu tanpa pikir panjang langsung membeli sambal cap burung pipit.
Kupikir, Ibu dan Ayah sebenarnya adalah pembohong hebat. Dari mereka, aku juga menyadari bahwa berbohong itu menguntungkan. Aku memulai kebohonganku pada teman-temanku, aku berhasil. Dan selanjutnya pun selalu berhasil. Erma mengembalikan buku yang baru satu hari ia pinjam di perpustakaan sekolah karena kukatakan penjaga perpustakaan mencari buku itu, padahal karena aku ingin membacanya juga. Despi membuang permen lolipop yang baru ia beli sebelum sempat membuka plastiknya karena kuberitahu kalau permen itu mengandung ganja. Pak Pardi yang memberitahuku, kataku agar ia percaya. Despi langsung percaya. Permen yang ia buang itu kuambil, kataku supaya tidak ada yang memakannya. Permen itu akan kuserahkan pada ayahku yang kepala desa, tambahku. Pulang sekolah, permen itu kumakan.
Setelah banyak temanku berhasil kukelabui, barulah aku berani berbohong pada orangtuaku. Pada Ibu aku minta uang jajanku dilebihkan untuk beli buku gambar. Uang itu kubelikan snack. Saat pulang, Ibu menanyaiku mana buku gambarnya, dengan wajah murung kujawab uang itu tercecer. Ibu memarahiku karena aku tidak hati-hati, tapi itu tak apa. Yang penting Ibu percaya dengan ceritaku. Aku tidak berani minta apa-apa pada Ayah, nanti ia marah. Aku cuma membohonginya ketika aku pulang sore, kujelaskan bahwa ada kerja kelompok. Ayah percaya. Aku sebenarnya bermain domino seharian di rumah temanku.
Kemampuan berbohongku terus kuasah. Aku terus menggali ide-ide baru untuk kebohongan. Aku juga mempersiapkan kebohongan-kebohongan untuk situasi tertentu. Tapi ada saatnya ketika aku lupa mengerjakan PR karena seharian memanjat pohon rambutan dan aku tidak punya kebohongan yang dipersiapkan. PR itu berupa tugas mengarang. Teman-temanku mengumpulkan buku PR mereka ke meja guru. Pada jam istirahat Bu Sarniah memanggilku ke ruang guru. Ia menanyakan mana tugasku.
Aku tidak akan mengatakan bahwa tugasku tertinggal di rumah. Itu akan membuatnya menyuruhku pulang ke rumah sebentar untuk mengambil tugas itu. Lalu dengan spontan aku mulai bercerita. Kuceritakan, kemarin sore tugas itu sudah selesai kukerjakan. Aku ingin minta komentar tentang karanganku itu pada Ayah dan Ibu, tapi mereka sama-sama sibuk. Lalu aku pun bersepeda, membawa buku PR-ku ke rumah Kak Wahyu di seberang sungai. Kak Wahyu anak kuliahan, pasti ia bisa memberiku masukan supaya karanganku jadi lebih bagus. Karena sudah terlalu sore, aku bersepeda dengan kencang. Saat menyeberangi jembatan, tiba-tiba ada kucing di hadapanku. Aku langsung mengerem. Sepedaku berhenti mendadak, aku terpelanting. Beruntung aku tidak jatuh ke sungai dan hanya mengalami sedikit lecek. Kuperlihatkan luka lecek di tumit dan sikuku karena jatuh dari pohon rambutan. Lalu cerita kulanjutkan. Aku langsung bangkit dan mencari buku PR yang tadi terlepas ketika aku terpelanting. Ternyata buku itu kulihat jatuh ke sungai. Buku itu hanyut dan tak mungkin lagi kuselamatkan. Begitulah ceritanya, Bu, kataku.
Bu Sarniah terdiam, setelah cukup lama ia kemudian bertanya kenapa tidak aku kerjakan lagi saja malam harinya.
Kujelaskan kalau setiap malam aku ke surau untuk mengaji, dan biasanya langsung tertidur sepulang dari surau karena kelelahan. Sebelum Bu Sarniah bertanya lagi kenapa tidak pagi tadi saja kukerjakan sebelum berangkat sekolah, kujelaskan lagi bahwa pagi pun aku tidak bisa mengerjakan PR karena harus membantu Ibu menyapu rumah dan mencuci piring.
Ketika aku selesai bercerita Bu Sarniah kembali terdiam seperti tengah berpikir. “Kamu pengarang yang hebat,” katanya akhirnya. Aku tidak paham betul apa maksudnya pujian itu. Aku hanya bisa berbaik sangka bahwa Bu Sarniah tetap memberikanku nilai. Ia lalu mempersilakanku keluar.
Esoknya, Bu Sarniah memintaku ikut lomba mengarang antar SD se-kecamatan. Aku menang. Tentu saja, karena aku menjiplaknya dari karya pengarang hebat yang aku yakin para panitia belum pernah membacanya. Aku dapat banyak hadiah atas juara satu itu.
Saat kelas enam, di hari terakhir kami sekolah sebelum ujian, wali kelas kami, Pak Pardi membicarakan soal cita-cita. Aku jadi ingat ketika kelas satu dulu, di hari pertama sekolah, wali kelas kami yang waktu itu adalah Bu Suratmi juga membicarakan soal cita-cita. Seperti Bu Suratmi dulu, Pak Pardi juga meminta kami masing-masing menyebutkan cita-cita kami. Tapi tidak seperti dulu, kali ini aku sudah punya jawaban yang pasti. Ketika tiba giliranku, dengan mantap kukatakan: ketika besar nanti, aku ingin menjadi seperti Ayah. []

Sultan Adam, 28 Juni 2014

(Media Kalimantan, Minggu, 29 Juni 2014)
(Harapan 3 Lomba Cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan XI Tahun 2014 di Kabupaten Tapin)
(Bawin Balian: Kumpulan Cerpen Aruh Sastra Kalimantan Selatan XI Kabupaten Tapin 2014, Writing Revolution, 2014)