"Aku mau pamer, sekarang aku lagi makan nasi kuning..." seorang teman mengirim pesan lewan BBM yang disertai foto. Sama sekali bukan hal penting. Tapi dia teman yang 'penting'.
Saat itu aku juga sedang makan nasi kuning, tapi tidak kukatakan. Karena itu juga bukan sesuatu yang penting. Alih-alih, kubalas pesan itu dengan "Sejauh pengalamanku, tidak ada nasi kuning seenak yang di pondok."
"Ada apa dengan nasi kuning di pondok?" tanyanya.
Lalu kuceritakanlah secara singkat padanya.
Dan ini adalah versi lengkapnya, yang sebenarnya juga bukan sesuatu yang penting untuk dibaca.
Saat itu aku juga sedang makan nasi kuning, tapi tidak kukatakan. Karena itu juga bukan sesuatu yang penting. Alih-alih, kubalas pesan itu dengan "Sejauh pengalamanku, tidak ada nasi kuning seenak yang di pondok."
"Ada apa dengan nasi kuning di pondok?" tanyanya.
Lalu kuceritakanlah secara singkat padanya.
Dan ini adalah versi lengkapnya, yang sebenarnya juga bukan sesuatu yang penting untuk dibaca.
***
Sudah menjadi tradisi, acara perpisahan di pondok kami diadakan dengan meriah. Yang artinya, perlu dana besar. Untuk jas (lengkap dengan celana, kemeja, dasi dan kaus kaki), konsumsi, peralatan, dan tetek bengek lainnya. Demi memenuhi semua keperluan itu, maka jauh sebelum acara perpisahan yang hanya satu hari itu (bahkan hanya beberapa jam), selama satu tahun penuh, sejak kami berada di kelas tiga aliyah, kami sibuk mengumpulkan uang.
Apapun yang bisa, kami lakukan. Menjaga kantin di sore hari, menghadiri salat fardhu kifayah (kami menyebut ini "bisnis mayat"), jualan majalah (yang ini tidak mendatangkan margin sama sekali, yang ada justru bangkrut), kerja sama mendatangkan gerobak mie ayam (hal ini mendapat sambutan luar biasa, menciptakan barisan antrian sepanjang lapangan basket), dan, jualan nasi kuning.
Nasi kuning ini kami memesannya di luar pondok, kami ambil setelah magrib, dan menjualnya ba'da shalat isya, pada jam makan malam. Nasi Kuning Malam, demikian istilahnya (menu nasi kuning sebenarnya identik dengan sarapan). Makan malam di pondok jarang sekalinya menunya enak. Maka kehadiran sebungkus nasi kuning, dengan lauk sepotong daging ayam masak habang , sungguh sesuatu yang sangat menggiurkan. Sebungkus harga 5.000. Harga yang mahal untuk kantong santri. Jadi, hanya kalangan santri 'elit' yang bisa menikmatinya. Awal bulan, 100 bungkus akan habis dengan cepat. Namun awal bulan hanya berlangsung singkat. Seringkali, hingga pukul 10 malam, masih ada puluhan bungkus yang belum laku. Nasi kuning yang tersisa ini tidak bisa dijual keesokan harinya karena pasti sudah basi. Alhasil, jika jam sudah menunjuk angka 10 dan nasi kuning masih tersisa banyak, pilihan terbaik adalah menjualnya dengan harga murah. Awalnya 4.000. Jika masih tetap tidak habis, turun lagi jadi 3.000, jika masih juga tersisa, turun lagi jadi 2.500.
Nah, pada saat-saat seperti itulah, giliran santri-santri 'non-elite' merasakan kebahagiaan serupa. Bahkan melebihi yang dirasakan santri-santri 'elite'.
"Mampus kau beli duluan, dengan 5.000 kami bisa beli 2 bungkus!" Emoticon yang tepat barangkali adalah lidah menjulur.
Namun bagaimanapun, nasi kuning malam tetap memberi kebahagiaan (meski juga acapkali diiringi penderitaan batin), dan tetap saja, bagaimana pun rasanya, tak akan ada yang mampu menandingi kenikmatan si nasi kuning malam.
Apapun yang bisa, kami lakukan. Menjaga kantin di sore hari, menghadiri salat fardhu kifayah (kami menyebut ini "bisnis mayat"), jualan majalah (yang ini tidak mendatangkan margin sama sekali, yang ada justru bangkrut), kerja sama mendatangkan gerobak mie ayam (hal ini mendapat sambutan luar biasa, menciptakan barisan antrian sepanjang lapangan basket), dan, jualan nasi kuning.
Nasi kuning ini kami memesannya di luar pondok, kami ambil setelah magrib, dan menjualnya ba'da shalat isya, pada jam makan malam. Nasi Kuning Malam, demikian istilahnya (menu nasi kuning sebenarnya identik dengan sarapan). Makan malam di pondok jarang sekalinya menunya enak. Maka kehadiran sebungkus nasi kuning, dengan lauk sepotong daging ayam masak habang , sungguh sesuatu yang sangat menggiurkan. Sebungkus harga 5.000. Harga yang mahal untuk kantong santri. Jadi, hanya kalangan santri 'elit' yang bisa menikmatinya. Awal bulan, 100 bungkus akan habis dengan cepat. Namun awal bulan hanya berlangsung singkat. Seringkali, hingga pukul 10 malam, masih ada puluhan bungkus yang belum laku. Nasi kuning yang tersisa ini tidak bisa dijual keesokan harinya karena pasti sudah basi. Alhasil, jika jam sudah menunjuk angka 10 dan nasi kuning masih tersisa banyak, pilihan terbaik adalah menjualnya dengan harga murah. Awalnya 4.000. Jika masih tetap tidak habis, turun lagi jadi 3.000, jika masih juga tersisa, turun lagi jadi 2.500.
Nah, pada saat-saat seperti itulah, giliran santri-santri 'non-elite' merasakan kebahagiaan serupa. Bahkan melebihi yang dirasakan santri-santri 'elite'.
"Mampus kau beli duluan, dengan 5.000 kami bisa beli 2 bungkus!" Emoticon yang tepat barangkali adalah lidah menjulur.
Namun bagaimanapun, nasi kuning malam tetap memberi kebahagiaan (meski juga acapkali diiringi penderitaan batin), dan tetap saja, bagaimana pun rasanya, tak akan ada yang mampu menandingi kenikmatan si nasi kuning malam.
NB: Di tahun berikutnya setelah angkatan kami lulus, biaya perpisahan ditanggung pondok, sehingga santri yang akan lulus tidak perlu lagi patungan dan mencari uang sepanjang tahun.
Entah, apakah sekarang masih ada nasi kuning malam di pondok.
Entah, apakah sekarang masih ada nasi kuning malam di pondok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar